Kasus Kekerasan Kepada Anak di Kalsel Meningkat

- Selasa, 5 Oktober 2021 | 12:02 WIB
Grafis: koko
Grafis: koko

BANJARBARU - Kasus kekerasan terhadap anak di Banua tahun ini cukup tinggi. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Kalsel mencatat, hingga kini sudah ada 100 lebih laporan yang mereka terima.

Jumlah itu menurut Kepala Dinas PPPA Kalsel, Husnul Khatimah dipastikan bisa bertambah. Karena masih banyak kasus kekerasan yang tidak dilaporkan ke mereka.

Husnul mengungkapkan, ada berbagai jenis kekerasan terhadap anak di Kalsel. Diantaranya, kekerasan fisik, psikis dan seksual. "Ada juga kekerasan dalam bentuk penelantaran dan perebutan hak asuh anak, karena orang tua mereka bercerai," ungkapnya.

Faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan anak sendiri menurutnya, cukup banyak. Bisa disebabkan oleh lingkungan, pendidikan, ekonomi hingga pernikahan dini. "Seperti halnya pandemi saat ini. PHK bisa jadi salah satu faktornya," jelasnya.

Ditanya terkait kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2020, Husnul mengaku datanya kurang tahu. “Datanya saya kurang tahu, kalau bicara data kita harus pas ya, jangan meleset,” ujarnya.

Kasus kekerasan anak di masa pandemi, bebernya memang semakin meningkat. Lantaran, anak-anak belajar secara daring di rumah.  “Kesulitan dalam belajar  akan menimbulkan emosi orang tuanya. Apalagi ditambah dengan faktor ekonomi dan lain-lain,” paparnya.

Karena itulah, dia meminta masing-masing organisasi perangkat daerah berusaha untuk meningkatkan pembelajaran atau memberikan edukasi kepada orang tua dalam pengasuhan anak.

Sementara itu, Koordinator Program Studi Psikologi FK Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Sukma Noor Akbar menilai, data mengenai kekerasan pada anak sebenarnya seperti fenomena gunung es. Karena menurutnya, kejadian sebenarnya lebih banyak daripada data yang dilaporkan.

"Informasi-informasi mengenai kemudahan dalam melaporkan kekerasan pada anak bisa jadi yang membuat data jumlah kekerasan semakin tinggi, sehingga perlu diapresiasi kinerja dinas terkait," nilainya.

Tingginya kekerasan yang dialami oleh anak sendiri kata dia, dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya, masih berlangsungnya pandemi Covid-19 yang berdampak pada psikologis di lingkungan keluarga. Serta, ekonomi yang mengalami penurunan dan banyaknya angka PHK.

"Selain itu, intensitas pertemuan yang tinggi di rumah antara anak dan orangtua yang mengalami permasalahan ekonomi bisa mengakibatkan emosi yang tinggi, sehingga pelampiasan dengan melakukan kekerasan ke anak," jelasnya.

Di samping itu, menurutnya peran orangtua yang buruk dalam mengelola pendidikan anak secara daring menggunakan HP, sehingga anak menjadi ketergantungan dengan HP juga bisa mengakibatkan kekerasan pada anak menjadi rentan.

"Keluarga menjadi faktor penting di sini. Orangtua perlu juga memahami psikologi perkembangan anak dan tidak memaksakan kehendak di luar fase-fase perkembangannya," ujarnya.

Dia menyampaikan, kekerasan tidak dianjurkan dalam mendidik anak. Karena hal ini bisa menyebabkan anak meniru perbuatan orangtua yang mendidik dengan cara kekerasan pula saat sudah berkeluarga. "Disamping itu, bisa menyebabkan traumatik bahkan depresi pada anak," ucapnya.

Oleh karena itu, Ketua Himpunan Psikologi Wilayah Kalsel ini meminta kepada masyarakat agar tergerak hatinya untuk melaporkan ke UPTD perlindungan anak dan perempuan atau polisi jika melihat kekerasan pada anak. "Sebab anak adalah masa depan kita, jangan sampai anak juga menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari," pungkasnya. (ris/by/ran)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB

Januari hingga Maret, 7 Kebakaran di Balangan

Selasa, 26 Maret 2024 | 15:35 WIB
X