Undang-Undang tentang Provinsi Kalsel sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Diterbitkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai UU Nomor 8 Tahun 2022 pada 16 Maret lalu. Borneo Law Firm (BLF) masih mengumpulkan bukti dan dokumen yang diperlukan. “Kalau tidak ada halangan, insyaallah pada akhir Maret berkasnya sudah final,” kata Direktur BLF, Muhammad Pazri kepada Radar Banjarmasin.
Dalam UU tersebut, ibu kota provinsi resmi dipindahkan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru. Pasal pemindahan itulah yang hendak digugat. Lewat judicial review atau hak uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam hal ini, posisi BLF ditunjuk sebagai kuasa hukum oleh Forum Kota Banjarmasin (FKB). “Beberapa hari yang lewat, bersama FKB, kami terus mematangkan strategi,” tambahnya. Dari pengumpulan bukti hingga pendataan saksi untuk menggambarkan betapa ugal-ugalannya pengesahan UU tersebut.
“Dugaannya ugal-ugalan. Ingin kilat. Segala cara dihalalkan agar UU ini cepat selesai. Tanpa memperhatikan kebutuhan daerah dan partisipasi masyarakat,” jelasnya. Dibeberkannya, semasa masih berbentuk rancangan, ada 58 pasal. Tapi saat disahkan, tersisa hanya delapan pasal. Pemindahan ibu kota disebutkan dalam pasal 4.
Pazri bertanya-tanya mengapa dua wali kota tak dilibatkan dalam pembahasannya. Publik pun tak diberi tahu. “Semakin janggal karena dokumen RUU-nya juga sulit diakses di laman DPR RI,” tukas advokat muda itu. Dia juga heran, mengapa Pemprov Kalsel dan DPRD sampai sekarang tak kunjung mengeluarkan pernyataan atas polemik ini. “Kami optimis, MK bakal membatalkannya. Sebab banyak kejanggalan dalam UU ini,” pungkasnya. (gmp/at/fud)
