Sektor pertanian di Banua selama 2021 cukup memprihatinkan. Badan Pusat Statistik (BPS) Kalsel mencatat, produksi padi di Banua tahun lalu turun sekitar 11,65 persen atau sebanyak 133,99 ribu ton gabah kering giling (GKG) dibandingkan 2020.
Melalui rilisnya, Kepala BPS Kalsel, Yos Rusdiansyah mengatakan, produksi padi di Banua sepanjang Januari hingga Desember 2021 cuma sekitar 1,02 juta ton GKG. Padahal tahun sebelumnya tercatat sebesar 1,15 juta ton GKG. Dia menyebut, produksi padi tertinggi pada 2021 terjadi pada bulan Agustus, yaitu sebesar 219,64 ribu ton GKG. Sedangkan, produksi terendah pada Desember: hanya 2,63 ribu ton GKG.
“Sementara itu, produksi padi tertinggi pada 2020 terjadi pada Agustus dan produksi padi terendah di bulan Januari,” sebutnya. Disampaikan Yos, ada tiga kabupaten/kota dengan total produksi padi tertinggi pada 2021. Yaitu, Kabupaten Barito Kuala (221.360 ton), Kabupaten Banjar (169.163 ton), dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (120.731 ton). “Sedangkan tiga daerah dengan produksi padi terendah adalah Kabupaten Balangan (16.553 ton), Kota Banjarmasin (8.882 ton), dan Kota Banjarbaru (3.337 ton),” ucapnya.
Terkait penurunan produksi padi, dia mengungkapkan, pada 2021 terjadi di beberapa wilayah seperti Kabupaten Banjar, Kabupaten Hulu Sungai Utara, dan Kabupaten Tanah Laut. “Di sisi lain, terdapat beberapa kabupaten/kota yang mengalami peningkatan produksi padi, seperti Kabupaten Balangan dan Kota Banjarbaru,” ungkapnya.
Menurutnya, penurunan produksi padi tersebut disumbang oleh penurunan luas panen yang terjadi pada Subround Januari-April yang sebesar 7,11 ribu hektare (15,22 persen) dan Subround Mei-Agustus yang sebesar 38,66 ribu hektare (25,06 persen).
“Di sisi lain, peningkatan produksi padi hanya terjadi pada Subround September-Desember 2021, yaitu sekitar 8,27 ribu ton GKG (2,21 persen) dibandingkan periode yang sama pada 2020,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Selatan Syamsir Rahman menyebut, berdasarkan perhitungan BPS produksi padi Kalsel tahun lalu memang hanya sekitar 1,1 juta ton. “Karena BPS menghitung berdasarkan sampel,” sebutnya.
Namun apabila dihitung menggunakan perhitungan mereka secara keseluruhan dari data kecamatan. Syamsir menyebut, produksi padi mencapai 2 juta ton. “Tapi, kita pakai perhitungan BPS saja,” sebutnya.
Dia menegaskan, walaupun tahun lalu produksi padi Kalsel mengalami penurunan, namun tetap surplus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kalsel. “Kalau dikonversi ke beras, 1,1 ton padi menjadi 830 ribu ton beras. Sedangkan kebutuhan 4,3 juta jiwa masyarakat Kalsel sekitar 400 ribu ton, berarti masih surplus 430 ribu ton,” tegasnya.
Faktor lainnya, kata dia, yakni mahalnya harga pupuk. Padahal produksi padi sangat bergantung dengan pupuk. “Pupuk sekarang sangat mahal, sementara alokasi yang diberikan pemerintah untuk pupuk subsidi terbatas,” katanya.
Selain itu, Syamsir menyebut, petani selama ini terbiasa menggunakan pupuk kimia. Sehinga berpengaruh ke kualitas tanah. “Ini harus kita ubah beralih ke pupuk hayati yang ramah lingkungan dan tidak menyebabkan pencemaran, tapi produksi bisa bersaing,” sebutnya.
Faktor berikutnya yang mempengaruhi penurunan produksi ujar dia, turunnya harga padi setiap kali musim panen. Hal ini membuat semangat petani turun. “Ini sedang kita pelajari, bagaimana ada bantuan dari pemerintah agar pada saat panen ada subsidi harga. Kalau harga tetap stabil maka petani lebih bergairah menanam,” pungkasnya. (ris/by/ran)