Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Kalsel di DPR RI yang memindahkan ibu kota provinsi dari Banjarmasin ke Banjarbaru menuai polemik. Dianggap sebagai “operasi senyap”, karena tak ada konsultasi dengan Pemko Banjarmasin. Nyaris lolos dari perhatian publik. Bagi yang tak puas, Borneo Law Firm membuka posko pengaduan. Ujungnya adalah judicial review atau hak uji materi.
“Kami membuka posko aduan untuk gugatan ke Mahkamah Konstitusi,” kata Direktur Borneo Law Firm, M Pazri, (25/2) siang. Posko itu berada di Jalan Hasan Basri Nomor 37, Banjarmasin Utara. “Berada di kantor kami,” tambahnya. Sembari menunggu pengaduan, Pazri membentuk tim yang bertugas menghimpun dan mempelajari data terkait pemindahan ibu kota tersebut.
Ditanya soal peluang, Pazri mengutip pasal 73 dan pasal 72 UU Nomor 12 Tahun 2011. Bahwa ada jangka waktu 30 hari sebelum presiden membubuhkan tanda tangan sejak RUU itu disahkan DPR. Jika tak kunjung diteken dalam tempo itu, karena sudah disepakati bersama, maka RUU itu menjadi UU yang wajib diundangkan.
“Setelah diundangkan, baru kami bisa mengambil tindakan,” terangnya. Secara historis, Provinsi Kalsel berdiri pada 1 Januari 1957 dengan dasar UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kalsel, Kalbar dan Kaltim.
Terjadi pada zaman Gubernur Rudy Ariffin dan Wagub Rosehan NB yang memimpin untuk periode 2005-2010. “Sudah sesuai dengan visinya Pak Rudy dan Pak Rosehan yang terpilih waktu itu,” ujar politikus PPP itu. (gmp/az/fud)