Oleh: Qathunnada Assyifa Shabrina
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Adanya putusan MK yang mutuskan tentang usia dan pengalaman untuk Capres dan Cawapres nyatanya mengundang banyak sekali kontroversial, karena berkaitan dengan lembaga kepresidenan dan lembaga yudisial. Mulai dari konflik kepentingan hingga tindakan melampaui wewennag terjadi dalam perkara putusan ini.
Dari Ps 17 ayat (5) UU kehakiman sudah dijelaskan bahwa jika ada majlis hakim dan panitera yang memiliki hubungan keluarga dan kepentingan langsung atau tidak langsung terhadap perkara yang ditangani harus keluar atau mengundurkan diri. Lalu hadirnya ketua MK sekaligus Paman Gibran rakabuming yang menjadi subyek Putusan 90 ini, dinilai ada tindakan konflik kepentingan yang melibatkan mahkamah konstitusi. Selain itu adanya legal standing dari pemohon yang sulit untuk diterima namun lolos untuk kualifikasi MK yang terkenal ketat terhadap legal standing dan pembuktian jika adanya kerugian konstitusional atau kerugian karena pasal-pasal dalam undang-undang. Sehingga tidak masuk akal, jika seorang yang bukan siapa-siapa dan tidak memiliki legal standing yang pas, permohonannya dikabulkan oleh Mahkamah.
Hadirnya julukan Mahkamah Keluarga, telah menujukkan bahwa mahkaman konstitusi gagal berdiri sebagai lembaga kehakiman yang tahan terhadap godaan intervensi, baik berupa kekuasaan maupun kekayaan, baik dari koalisi atau karena hubungan keluarga.
Berawal dari permohonan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqib sekaligus pengagum kepala daerah Surakarta yaitu Gibran Rakabuming Raka. Alasan adanya permohonan yang diajukan oleh tsaqib tidak lain adalah mengenai deskriminasi usia atau “ageisme”, yang berawal dari pandangan bahwa orang yang lebih tua atau senior dianggap lebih mampu dan bisa dalam menjadi kepala daerah. Sehingga yang lebih muda atau junior sering kali diaggap tidak layak atau belum bisa untuk menggantikan pihak yang lebih tua. Namun dengan itu permohonan tsaqib yang tercatat dalam lembar putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengundang banyak sekali kontrversial. Sehingga dikhawatirkan berpengaruh pada posisi MK sebagai penegak hukum di Indinesia.
Pada Pasal 169 huruf q UU 7/2017 dianggap mencederai UUD 1945 karena adanya deskriminasi dari penggolongan umur yang seharusnya diberikan kesempatan dan hak yang sama dalam berpolitik. Sehingga dikeluarkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 untuk menguji ketentuan Pasal 169 huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal ini terkait dengan batas minimal calon presiden dan calon wakil presiden yaitu 40 tahun. Namun dalam putusan tersebut menyebutkan capres/cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai Gubernur, DPR/DPD, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.
Dari putusan ini dinilai adanya konflik kepentingan, pelampauan wewenang, inkonsisten dan alasan tidak logis karena penambahan persyaratan yang seharusnya tidak berkaitan dengan usia. Ditambah lagi, kecurigaan karena adanya permohonann dari pemohon dan putusan dari MK yang keluar mendekati batas akhir dari pendaftaran capres/cawapres untuk pemilu 2024 kelak.
Konflik kepentingan (conflict of interest), dari putusan MK 90/PUU-XXI/2023 mengundang anggapan publik tentang adanya konflik kepentingan menjelang Pemilu 2024. Secara terang-terangan hal ini dilakukan antara ketua MK dan Presiden RI, yang termuat dalam perkara a quo yang dianggap membuka peluang dan jalan bagi putra sulung Presiden RI sekaligus keponakan ketua MK sendiri, yang diusung menjadi calon wakil presiden.
Hal ini dikarenakan pada gugatan-gugatan sebelumnya, tidak ada keterlibatan ketua MK karena sejak awal menyebutkan tidak ingin mengambil keputusan, karena takut adanya konflik kepentingan, lalu hakim lain yang terkait sepakat untuk menolak permohonan tersebut. Namun pada gugatan terbaru ini ketua MK hadir dan beberapa hakim lainnya tiba-tiba bersikap mendukung alternative yang dimohonkan oleh pemohon. Adanya keterkaitan hubungan keluarga antara Ketua MK dengan yang diduga sebagai subyek dari Putusan MK 90/2023 ini membuat publik curiga terkait konflik kepentingan antar keluarga ini, seharusnya sesuai dengan ketentuan UU 48/2009 Pasal 17 (5) yang menyebutkan bahwa adanya kewajiban bagi hakim atau panitera untuk mengundurkan diri dari persidangan bila memiliki kepentingan langsung atau tidak langsung.
Melampaui wewenang, dalam Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 secara tidak langsung telah mengambil peran DPR dan Presiden dalam kewenangan legislasi. Puusan MK yang membuka peluang bagi Calon Kepala Daerah maju menjadi Calon Presiden ataupun Calon Wakil Presiden walaupun belum 40 tahun ini dianggap melampaui wewenang. Adanya Open Legal Policy (kebijakan hukum terbuka) yang dimuat dalam putusan MK 90/2023 ini yang memuat tentang alternative bagi Capres atau Cawapres meimbulkan kontroversial, karena Open legal Policy merupakan dasar kewenangan dari pembuat Undang-Undang, yaitu DPR dan Presiden.
Inkonsistensi dan tidak logis, dalam Putusan MK dapat terlihat lewat adanya penghapusan batas usia pencalonan Capres dan Cawapres. Karena pada Putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang menolak adanya uji materi dalam Pasal terkait batas minimal Capres dan Cawapres. Putusan ini cenderung konsisten dalam perkara yang sejenis. Namun sebaliknya, untuk Putusan 90/PUU-XXI/2023 justru mengubah alur dari putusan sebelumnya, hal ini dianggap berlawanan. Karena pada putusan 29-51-55/PUU-XXI/2023 memuat tentang penghapusan persyaratan batas usia dalam pencalonan Capres/ Cawapres. Sedangkan dalam putusan 90/PUU-XXI/2023 justru memuat alternative persyaratan pengalaman menjabat bagi Capres/ Cawapres yang belum memasuki usia 40 tahun.
Adanya alasan penambahan persyaratan alternatif ini termasuk tidak logis, karena alternative yang diberikan berupa pengalaman menjabat yang tidak memiliki hubungan sigmifikan dengan batas minimal usia yang terteras sebelumnya, dan juga diduga hal ini tidaklah memuat alasan hukum yang jelas dan menimbulkan prasangka bahwa putusan ini hanya untuk memperbaiki permohonan yang memiliki kecacatan dalam substansinya.
Pada dasarnya yang perlu diingat bahwa, adanya Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk menjadi wadah bagi persoalan-persoalan politik agar dapat terselesaikan secara hukum dan mmiliki fungsi utama untuk menguji materi undang-undnag dan peraturan perundang-undnagan yang berkaitan dengan konstitusi. Namun dengan adanya Putusan 90/PUU-XXI/2023 dinilai memiliki politisasi Mahakamah Konstitusi, karena terpengaruhi oleh politik. Putusan ini dianggap memiliki pengaruh politik karena tidak memiliki kekonsistenan dan tidak adanya pertimbangan-petimbangan aspek hukum secara obyektif.
Pada kesimpulannya, perlu diketahui bahwa Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 ini sangat mengandung hal-hal yang bertentangan dengan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal-hal yang bertentangan ini lah yang kemudian bisa menjadi penyebab batal atau tidak sahnya suatu putusan. Terkait Putusan ini, nyatanya suatu putusan MK bersifat final dan mengikat. Sehingga suatu putusan ini tidak bisa dibatalkan. Namun, sesuai Pasal 17 ayat (6) UU tentang kehakiman menyatakan bahwa, ketika terjadi sebuah pelanggaran dari ketentuan maka putusan bisa dinyatakan tidak sah, dan kepada yang bersangkutan haruslah dikenakan sanksi administratif atau pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Diperjelas lagi, putusan ini bisa menjadi tidak sah, jika ditemukannya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim yang memutuskannya.
Lalu bagaimana jika seorang hakim konstitusi memiliki kepentingan dalam memutuskan perkara? Jelas hal ini mengancam integritas dan interpredensi lembaga peradilan, terlebih lagi itu adalah mahkamah konstitusi. Hakim yang bersangkutan jelas melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim tentang ketidak berpihakan dan netralitas dalam memutuskan perkara. (*)