Air berwarna cokelat dan berbau amis terpaksa digunakan warga Perumahan New Bumi Citra Lestari (BCL) setiap hari. Warga perumahan di Kelurahan Loa Bakung, Kecamatan Sungai Kunjang, tak punya pilihan.
SAMARINDA - Kolam eks tambang yang juga tempat pembuangan limbah domestik menjadi satu-satunya sumber air bagi 300 kepala keluarga di perumahan tersebut. Parahnya setelah hujan, air berubah hitam layaknya seduhan kopi.
Warga Perumahan New BCL, Selly, yang tinggal sejak 2022 lalu mengaku tidak pernah menggunakan air dari keran untuk memasak, minum, atau mencuci makanan. Ia selalu membeli air galon untuk keperluan tersebut. “Airnya sangat kotor bercampur tanah dan lumpur, berbau seperti bau pesing dan comberan,” ujarnya kepada Kaltim Post, Jumat (22/9).
Ia sempat menunjukkan air yang mengalir dari keran di rumahnya. Airnya kuning kecokelatan dan agak berbau. Menurut Selly, kondisi ini adalah versi terbaik yang pernah digunakan. “Kalau habis hujan, airnya bisa hitam seperti kopi. Kadang-kadang juga ada cacing-cacing di dalamnya,” katanya.
Selly mengatakan bahwa air tersebut berasal dari danau yang juga merupakan pembuangan limbah air rumah tangga Perumahan BCL. Air tersebut dipompa dan difilter, kemudian dialirkan ke tiap rumah tangga di daerah perumahan tersebut.
“Walaupun sudah difilter, kualitas air sangat tidak layak untuk digunakan,” tuturnya. Siklus air hanya berputar di danau tersebut, kondisi danau itu juga tidak terawat. Terlihat banyak semak belukar dan tumbuhan air yang menutupi danau yang akhirnya malah menjadikan danau itu seperti lapangan.
Danau tersebut bahkan tidak layak disebut sebagai sumber air. Selly mengaku saat pertama kali keluarganya menggunakan air tersebut, salah seorang anaknya sampai terjangkit penyakit kulit, bernanah dan bisul. Sampai-sampai ia harus membeli antiseptik agar air tersebut dapat digunakan.
Namun, jika harus menambah pengeluaran untuk membeli antiseptik tiap bulan, jelas memberatkan keluarganya. Belum lagi dengan kenyataan air yang kotor itu dihargai Rp 14 ribu per kubik. “Sebulan bisa sampai Rp 250 ribu. Menurut saya lebih mahal daripada air PDAM,” keluhnya.
Namun, mau tidak mau keluarganya harus beradaptasi dengan keadaan air tersebut. Ia berharap, pemerintah daerah segera menyambungkan pipa PDAM (Perumdam) Tirta Kencana ke perumahan mereka agar dapat mengakses air bersih.
“Kami sudah sering mengadukan masalah ini ke pihak perumahan maupun pemerintah setempat tapi belum ada hasil yang nyata. Kami merasa tidak dianggap sebagai warga negara yang berhak mendapatkan layanan dasar, seperti air bersih,” ungkap Selly dengan nada sedih.
Baharudin yang tinggal di Blok D, Perumahan New BCL menyebut kondisi air buruk ini baru dirasakan sekitar dua tahun terakhir. Sehari-hari dia menambah pasokan air bersih di rumahnya dengan membeli air tandon sekitar Rp 160 ribu untuk 1.500 liter.
“Tidak sampai seminggu habis. Air dari perumahan untuk keperluan lain. Kami juga membayar sekitar Rp 200 ribu per bulan,” ucapnya.
Kunjungan Wali Kota Samarinda Andi Harun membawa angin segar. “Warga berharap ada sambungan air PDAM. Kalau pun membayar untuk sambungan baru, kami siap,” ucapnya. (kri/k16)
NASYA RAHAYA
[email protected]
DENNY SAPUTRA
@dennysaputra46