Oleh: Syahrul Karim
(Anggota KPU Balikpapan 2019-2024)
SEKIRA lima bulan lagi, tepatnya 14 Februari 2024, masyarakat Indonesia akan menggunakan hak politik. Memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPD, DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Sejak pemilihan umum dilaksanakan secara langsung pada 2004 tingkat partisipasi pemilih tidak lagi di atas angka 90 persen seperti pada pemilu sebelumnya, saat Orde Baru dan pascareformasi tahun 1999.
Berdasarkan data KPU RI, partisipasi pemilih tahun 2004 sebesar 84,7 persen, tahun 2009 turun menjadi 71 persen, selanjutnya Pemilu 2014 kembali naik menjadi 75,11 persen dan pemilu terakhir 2019 naik di angka 81,69 persen meskipun pelaksanaannya di tengah bencana Covid-19.
Pasca-Pemilu 2014 dan setelah ditetapkan UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum maka pelaksanaan pemilu tahun 2019 dilakukan secara bersamaan, yakni memilih presiden dan wakil presiden sekaligus memilih anggota legislatif. Hal yang sama juga diterapkan pada Pemilu 2024.
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengajak masyarakat melihat lebih jauh tingkat kualitas pemilih dalam menggunakan hak politik pada pemilu tahun 2019 dan bagaimana kualitas pemilih pada Pemilu 2024. Salah satu tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah menyosialisasikan penyelenggaraan pemilu kepada masyarakat sejak dimulainya hingga selesainya tahapan pemilu.
KPU secara kelembagaan yang melaksanakan seluruh rangkaian tahapan pemilu paling lambat 20 bulan sebelum hari pemungutan suara menyadari, bahwa perlu dukungan dan partisipasi tiap warga negara ikut ambil bagian dalam seluruh pelaksanaan tahapan pemilu, terutama penggunaan hak politik pada hari pemungutan suara. Ini didukung dengan terbitnya PKPU 9/2022 tentang Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Di mana menekankan pada hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu.
Hak tersebut adalah diseminasi informasi pemilu, meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban dalam pemilu, serta meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu. Namun, wajib menjunjung tinggi prinsip netralitas atau nonpartisan seperti melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu, tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan, bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar, serta memberikan kemudahan bagi kelompok rentan dan penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam pemilu.
Jamak diketahui, bahwa ukuran kesuksesan pemilihan umum selalu didasarkan pada angka matematis tingkat partisipasi. Yakni warga yang sudah terdaftar di dalam daftar pemilih tetap (DPT) datang ke tempat pemungutan suara (TPS) menggunakan hak pilih atau mencoblos di hari pemungutan suara. Namun, jika dikaitkan dengan kualitas pemilih dalam konteks penggunaan surat suara maka kita bisa melihat lebih jauh data hasil pemilu tahun 2019 pada surat suara tidak sah pemilih. Data KPU Kota Balikpapan menunjukkan hasil rekapitulasi pemungutan suara untuk seluruh tingkatan pemilihan, di mana surat suara presiden dan wakil presiden paling rendah surat suara tidak sah, hanya 1,9 persen dari jumlah keseluruhan pemilih.
Berbeda halnya dengan pemilihan anggota legislatif. Surat suara DPD paling tinggi tidak sahnya di antara surat suara legislatif lainnya. Mencapai 19 persen. Selanjutnya surat suara DPR RI dan DPRD provinsi hampir sama 17 persen. Sedangkan surat suara tidak sah paling rendah adalah DPRD Kota sebesar 7 persen.
Kondisi ini menunjukkan ada banyak pemilih datang ke TPS hanya untuk mencoblos beberapa surat suara kendati diberikan lima surat suara oleh petugas KPPS. Kecuali pemilih yang tidak masuk dalam kategori lima surat suara seperti kategori pindah memilih (DPTb) dengan alasan tertentu yang diatur dalam PKPU 7/2022. Di antaranya menjalankan tugas di tempat lain pada hari pemungutan suara, tugas belajar dan pindah domisili.
Surat suara yang tidak coblos tersebut secara langsung dinyatakan invalid atau tidak sah pada saat dilakukan penghitungan. Hal ini membuktikan pemilihan calon anggota legislatif kalah pamor dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Faktor paling utama adalah penyuguhan informasi secara masif pemilihan presiden dan wakil presiden. Tidak dimungkiri hampir seluruh ruang media, baik ranah digital ataupun media massa, lebih banyak disajikan informasi paslon pilpres. Sementara, pemberitaan pemilihan anggota legislatif sangat minim pada caleg DPD, DPR RI dan DPRD provinsi bahkan DPRD kabupaten/kota. Tidak lain karena paslon presiden dan wakil presiden hanya hitungan jari.
Minimal dua paslon. Sehingga, masyarakat sangat mudah mengenali paslon presiden dan wakilnya. Dan juga presiden merupakan jabatan nomor wahid dengan kekuasaan besar dimilikinya yang menjadikannya isu strategis oleh media mainstream hingga menghiasi media sosial. Sementara, terdapat banyak sekali calon anggota legislatif dari berbagai partai politik. Misalnya saja di Balikpapan ada sekitar 650 bacaleg dari 17 parpol memperebutkan 45 kursi di DPRD kota. Dibutuhkan waktu banyak untuk mencari tahu profil seluruh caleg tersebut.
Sama Pentingnya Pilpres dan Pileg
Masyarakat harusnya memahami, penyelenggaraan pemilu presiden dan legislatif adalah sama pentingnya. Pilpres untuk memilih presiden dan wakil presiden yang akan menangani masalah pemerintahan, pileg untuk memilih wakil rakyat yang menangani persoalan di legislatif, yaitu membuat regulasi, kebijakan anggaran dan fungsi pengawasan. Regulasi menjadi dasar aturan hukum dalam tata kelola pemerintahan bernegara. Pemahaman lainnya, pemilu merupakan saluran yang menghubungkan publik ke pemerintahan.
Fungsi ini menjadi kebutuhan rakyat, baik dalam kerangka mengevaluasi maupun mengontrol perilaku pemerintah, kebijakan dan program yang dihasilkannya. Dengan pemilu rakyat dapat memilih wakil-wakil mereka. Wakil-wakil itu menjadi penyambung kepentingan rakyat atas berbagai persoalan yang mereka hadapi. Alasan lainnya, pemilu merupakan salah satu bentuk pendidikan politik rakyat yang bersifat langsung, dan terbuka. Diharapkan bisa mencerdaskan pemahaman politik dan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai demokrasi. Peran itu terutama wajib dilakukan oleh partai politik peserta pemilu berserta individu-individunya (caleg). Penyajian materi peserta pemilu harusnya bersifat konstruktif seperti ideologi, program dan kebijakan sebagai bahan evaluasi pemilih menentukan pilihannya secara tepat agar kelak terpilih anggota legislatif yang mempunyai kapasitas, integritas dan kompetensi. Bukan sebaliknya untuk meraih suara pemilih menggunakan tindakan dengan cara-cara inkonstitusional dan amoral yang hanya merusak tatanan demokrasi.
Politik uang dan politik identitas
Tentunya dalam mewujudkan pemilu berkualitas harus melibatkan partisipasi secara meluas guna membentuk pemahaman atau literasi politik yang memadai. Sehingga, tujuan dilaksanakan pemilu tidak hanya memenuhi aspek prosedural semata, namun yang lebih substansi menjadikan partisipasi dan dukungan rakyat sebagai mandat memperjuangkan aspirasi, visi, dan misi yang menjadikan harapan dan kepentingan masyarakat dalam pelaksanaan pemilu dapat tercapai.
Oleh karenanya, peran serta masyarakat, peserta pemilu, perguruan tinggi, terutama media massa, dapat memberikan porsi yang sama dalam menyajikan informasi pemilu. Tidak terbatas pada pemilihan presiden dan wakil presiden. Harapannya, kesuksesan Pemilu 2024 tidak hanya diukur dari tingkat partisipasi pemilih yang datang ke TPS, tapi juga menjadikan pemilu berkualitas dengan instrumen rendahnya surat suara tidak sah terutama pada pileg. Jika hal ini dapat dilakukan maka kualitas pemilu 2024, baik pilpres maupun pileg semakin baik dibanding Pemilu 2019. Kendati pilihan pemilih dalam bilik suara tetap menjadi hak politik pemilih yang tidak bisa diintervensi oleh siapa pun termasuk golput sekalipun. (far/k15)