Abdul Rohman, Vita Amalia Hidayati, dan Kariza Makanty mengolah minyak jelantah menjadi bahan bakar semipadat yang mudah dibawa ke mana-mana dan ramah lingkungan. Mereka bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Surabaya untuk pengelolaan bank sampah yang berfokus pada jelantah.
SEPTINDA AYU PRAMITASARI, Surabaya
KEBERHASILAN memenangi ajang pertama dua tahun lalu seolah menjadi pembuka pintu kesuksesan bagi inovasi produk olahan limbah minyak jelantah itu. Sesudahnya, inovasi karya tiga mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) tersebut langsung memborong kesuksesan.
Diawali kesuksesan menjuarai Business Plan Youth Sharia Sociopreneurship Competition (YSSC) pada 2021, disusul memenangi Bisnis Realisasi YSSC Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2022. Pada 2023 malah lebih banyak lagi, baik level nasional maupun internasional.
Di antaranya, juara 1 Rise Up 4.0 PT Gama Inovasi 2023, Top 9 Global Student Entrepreneur Award 2023, dan Silver Medal World Young Invention Exhibition 2023. ’’Meski prosesnya panjang, alhamdulillah akhirnya kami bisa memetik prestasi,’’ kata Vita Amalia Hidayati dari Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unair, salah satu dari tiga anggota tim start-up Gelatah Unair.
Dua ’’partner in crime’’-nya adalah Abdul Rohman, juga dari jurusan dan fakultas yang sama dengan Vita, serta Kariza Makanty dari S-2 Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Tiga mahasiswa itu mendirikan start-up Gelatah (Gel Minyak Jelantah) dengan nama perusahaan PT Karya Energi Samimulyo. Di bawah binaan Badan Pengembangan Bisnis Rintisan dan Inkubasi (BPRIN) Unair, produk Gelatah pun telah dihilirisasi.
Gelatah adalah bahan bakar semipadat yang terbuat dari minyak jelantah. Di Gedung Inkubator Bisnis Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, kemarin (11/9), tiga mahasiswa itu tidak hanya memamerkan Gelatah. Tapi, juga dua produk yang saat ini dikembangkan untuk komersialisasi dan sama-sama dari minyak jelantah: sabun dan lilin aromaterapi.
Gelatah ramah lingkungan. Fungsinya, sebagai pemantik api atau penghangat makanan. Produksi tersebut dibuat skala kecil sehingga compact dan mudah dibawa ke mana-mana. ’’Biasanya digunakan untuk penghangat makanan katering dan buat kamping,’’ ujarnya.
Ide itu berawal dari permasalahan limbah minyak jelantah atau minyak goreng bekas pakai yang sering menyumbat saluran air. ’’Sebelumnya, sudah ada beberapa limbah minyak jelantah menjadi sabun. Nah, ternyata limbah minyak jelantah juga bisa menjadi biodiesel,’’ kata Vita.
Gelatah, kata Vita, selain harganya terjangkau, juga tidak ada jelaga dan tahan lama. Ide bisnis tersebut dimulai Vita dkk sejak 2021. Kemudian, riset dan realisasi produk, uji konsumen, pemasaran, hingga kegiatan sosial berlangsung pada Januari sampai September 2022.
Kariza menjelaskan, minyak jelantah yang diubah menjadi biodiesel harus menggunakan katalis. Nah, katalis itu menghasilkan residu. Artinya, ada limbah terbuang.
Akhirnya dia, Vita, dan Abdul menekan residunya dengan katalis heterogen. Setelah menggunakan katalis heterogen, ternyata limbah pengolahan biodiesel sampai 10 persen. Sebanyak 85 persen biodiesel dan 5 persen air. ’’Limbah 10 persen itu tidak dibuang, tapi digunakan untuk membuat sabun. Jadi, limbah kami pure water. Sebab, kami menggunakan prinsip zero waste,’’ ujar chief technology officer (CTO) start-up Gelatah itu.
Pengolahan limbah minyak jelantah itu sendiri awalnya dibuat dengan menggunakan saringan manual. Setelah disaring dua kali, baru dimasukkan ke panci besar. Kini, timnya sudah memiliki mesin yang di-custom sendiri. Setelah itu, diaduk dan ditambahkan beberapa bahan kimia seperti katalis heterogen.
Awal riset tersebut, start-up Gelatah mendapatkan dana senilai Rp 150 juta dari Bank Indonesia (BI). Kemudian, dilanjutkan pilot projecting dengan dana senilai Rp 150 juta.
CEO Start-up Gelatah Abdul mengatakan, saat ini pengembangan Gelatah berhasil mendatangkan omzet rata-rata Rp 15–17 juta per bulan, dengan profit bersih Rp 5–7 juta per bulan. Masih dibutuhkan proses panjang untuk meningkatkan profit karena modal yang dikeluarkan untuk riset hingga menjadi prototipe sangat besar.
Abdul mengakui, cukup banyak kendala yang dihadapi dalam mengembangkan gelatah. Salah satunya, harus bersaing dengan pengepul minyak jelantah yang sudah bekerja sama dengan perusahaan besar.
Timnya pun terjun ke daerah-daerah Madura, juga Surabaya dan Sidoarjo, untuk mendapatkan banyak pasokan minyak jelantah dengan harga yang bisa ditekan. ’’Sekarang kami dapat harga per liter minyak jelantah Rp 5–7 ribu. Rata-rata per bulan, kami suplai minyak jelantah sekitar 1 ton dan diproduksi di rumah produksi di Tambakwedi, Surabaya,’’ ujarnya.
Tim Gelatah Unair juga turun langsung ke lapangan untuk mengedukasi masyarakat. Bentuknya, ada kegiatan pemuda-pemudi jelantah hingga ibu bank jelantah. ’’Saat berkegiatan, kami sekalian mengumpulkan jelantah. Setiap 2–3 liter jelantah, mereka bisa dapat 1 liter minyak goreng baru. Jadi, mereka semangat,’’ katanya.
Saat ini, start-up Gelatah juga bekerja sama dengan Dinas Lingkungan Hidup Surabaya untuk pengelolaan bank sampah yang fokus pada jelantah. Ke depan, timnya juga akan menambah karyawan karena permintaan semakin meningkat. Pasar meluas hingga ke Jawa Tengah dan Jawa Barat. ’’Start-up kami juga pernah ada kunjungan dari Jepang, selain dari Singapura. Yang dari Jepang juga tertarik untuk pengembangan produk,’’ ujarnya. (*/c18/ttg)