Oleh: Ir Fajar Alam
Dosen Program Studi Teknik Geologi UMKT
Kalimantan Timur telah lama menarik perhatian warga Eropa era kolonial karena kekayaan bahan tambangnya. Upaya ekstraksi bahan tambang di wilayah minim penduduk, membuat pemerintah era Hindia Belanda maupun era Republik Indonesia mengupayakan pasokan pekerjanya berasal dari wilayah padat penduduk, seperti Jawa atau tenaga ahli dari perusahaan lain yang sejenis untuk optimasi kegiatan ekstraksi di wilayah yang baru diproduksi.
DE Groot pada 1863 telah menulis potensi bahan tambang melalui Notes on the Mineralogy and Geology of Borneo and the Adjacent Islands" yang dimuat pada Quart. Journal of the Geo. Soc, termasuk keberadaan batu bara yang ditulisnya pada tahun yang sama, “Verslag over de Borneo-steenkolen''. Hooze pada dua laporan terpisahnya tahun 1886 dan 1887 menjelaskan tentang penelitian batu bara di wilayah Berau dan Kesultanan Kutai Kertanegara, dilanjutkan Posewitz tahun 1892 yang secara komprehensif membahas potensi bahan galian di Kalimantan dalam bukunya: “Borneo: Its Geology and Mineral Resources”.
Revolusi industri di Inggris pada pertengahan abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19, membuat Belanda yang pada kurun tersebut tekun mengupayakan kegiatan budi daya agraria (teh, kopi, kina, tembakau, tebu, jati), meluaskan kegiatannya hingga ekstraksi bahan tambang.
Hal tersebut kemudian diawali dengan kegiatan penambangan batu bara di Pengaron, Kalimantan Selatan, pada 1849. Di Kaltim, penambangan batu bara pertama ada di Palaran, Samarinda, pada kurun 1861–1872. Disusul di Loa Kulu, Kutai Kartanegara, era 1888 dengan perusahaan bernama Oost Borneo Maatshappij (OBM) termasuk wilayah sekitarnya seperti Perjiwa, Loa Tebu, Loa Bukit (Kutai Kartanegara). Penambangan minyak pertama masa Hindia Belanda tercatat di Majalengka, Jawa Barat, pada 1871, dan menghasilkan 6.000 liter minyak dari empat sumur produksi yang ada. Di Kaltim, penambangan minyak mulanya dilakukan di Sangasanga, Kukar, lalu disusul di Balikpapan pada kurun waktu yang sama, yakni 1897. Pada perkembangannya, ditemukan lapangan gas alam raksasa pada Februari 1972 di Muara Badak (Kutai Kartanegara) oleh Huffington Company (Huffco) setelah penemuan lapangan Arun (Aceh) pada Oktober 1971 oleh Mobil Oil. Huffco kemudian berubah nama menjadi Virginia Indonesia Company (Vico) dan kini disebut sebagai Pertamina Hulu Sangasanga.
Temuan bahan tambang di Kaltim memerlukan banyak pekerja yang tak mungkin hanya mengandalkan penduduk setempat. Perusahaan batu bara OBM di Loa Kulu membuat bangsal pekerja untuk pekerja yang didatangkan dari Jawa, selain asrama dan rumah kopel untuk pekerja asal Eropa berstatus “single on site” maupun yang boleh membawa anggota keluarganya. Bangsal pekerjanya tak ada lagi, beralih fungsi menjadi ladang pisang dan tanah kosong. Asrama dan rumah kopel sebagian masih lestari, dan dimanfaatkan masyarakat untuk tempat tinggal. Pekerja asal Jawa diyakini setidaknya berasal dari dua wilayah: Magelang (Jawa Tengah) dan Ponorogo (Jawa Timur). Ketika tak lagi tinggal di bangsal, banyak pekerja asal Magelang menempati kawasan dusun Lobang Batu, Desa Loh Sumber, Kecamatan Loa Kulu. Sementara pekerja asal Ponorogo, banyak menempati Desa Ponoragan, Kecamatan Loa Kulu.
Kebiasaan membuat tempe oleh masyarakat Jawa, berkembang di Loa Kulu, utamanya diyakini berasal dari Dusun Lobang Batu. Bahan baku kedelai yang direbus, dicampur ragi kemudian dibungkus daun pisang, didiamkan sehari agar terbentuk hifa dan bisa dimakan. Tempe daun Loa Kulu menjadi bagian dari kuliner khas kawasan ini, warisan budaya dari pekerja tambang zaman Hindia Belanda asal Jawa yang turun-temurun hingga kini.
Kegiatan penambangan batu bara selain terpusat di Loa Kulu, juga berkembang di wilayah lain, yakni Kesultanan Kutai Kertanegara pada masa Hindia Belanda. Satu di antaranya di Loa Tebu, 10 kilometer sebelah utara Tenggarong, pusat Kesultanan Kutai Kertanegara. Bangsal pekerja dan kantor tambang dibangun tak jauh dari dermaga setempat. Kegiatan perekonomian strategis di Kalimantan Timur tak hanya menarik migran Hindia Belanda, tapi juga dari India.
Ragam kelompok masyarakat dari India merantau ke banyak tempat di Balikpapan, Sangasanga, Paser, Samarinda, hingga Kota Bangun. yang kemudian memilih wirausaha di Loa Tebu sejak 1947. Setelah ragam usaha ditekuni, usaha martabak karih menjadi pilihan migran asal India dan bertahan sampai sekarang, oleh generasi kedua dan ketiga (Abdullah dan Siti Maryam, komunikasi pribadi, tahun 2020). Hingga kini, martabak karih Loa Tebu menjadi kuliner khas kawasan Loa Tebu.
Temuan kandungan gas alam di Muara Badak, ditindaklanjuti kerja sama pengolahan untuk menghasilkan liquid natural gas (LNG) dan liquid petroleum gas (LPG), pupuk hingga metanol. Bahan baku gas alam dialirkan pipa untuk diolah di Bontang. LNG atau LPG dikerjakan PT Badak LNG (awalnya bernama PT Badak NGL). Terjadi migrasi pekerja PT Pertamina refinery unit Plaju (Sumatra Selatan) ke PT Badak LNG pada kurun 1976-1980. Pekerja Pertamina unit Plaju atau anggota keluarga yang bertugas di PT Badak LNG membuat pempek sebagaimana dilakukan di wilayah sebelumnya, Palembang (Retno Savitri Nugrahani, komunikasi pribadi, tahun 2023). Pupuk urea dikerjakan PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT). Migrasi pekerja dari perusahaan sejenis untuk percepatan gerak perusahaan menjadi hal wajar. PKT yang didirikan pada 1977 memerlukan dukungan dari perusahaan sejenis yang lebih dulu hadir dan berpengalaman yakni PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) yang telah ada sejak 1959, dan berkantor pusat di Palembang, Sumatra Selatan, sehingga terjadi migrasi pekerja Pusri ke PKT. Dalam perkembangannya, pempek menjadi kuliner populer di Bontang, dan ketersediaannya antara lain ada di koperasi PKT.
Tempe Loa Kulu, martabak karih Loa Tebu dan pempek Bontang adalah kuliner khas daerah di Kalimantan Timur yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari migrasi pekerja pada kawasan kaya bahan tambang. Hal itu menguatkan nilai strategis Kaltim sebagai tempat terbuka bagi akulturasi budaya dan memperkaya khasanah wilayah. (dra/k16)