Ketekunan Hesti Hendalastuti Rachmat dan tim membuat keruing direvisi dari daftar pohon punah. Kini bisa dijumpai di Kebun Raya Cibinong. Tapi, Hesti tetap berharap bisa dilakukan penanaman ulang di pulau tempatnya berasal nun di Samudra Hindia sebelah barat Sumatera.
M. HILMI SETIAWAN, Kab Bogor
DARI pulau tempat King Kong berada di Samudra Hindia, pohon yang sebelumnya dianggap punah itu ditemukan. Sebagian anakannya dibawa, dikonservasi, dan kini bisa dijumpai di Kebun Raya Cibinong, Kabupaten Bogor.
”Mari kita doakan semoga bisa tumbuh sehat,” kata Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko saat mengikuti penanaman Dipterocarpus cinereus, pohon langka tersebut, di Kebun Raya Cibinong pada 22 Mei lalu.
Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi BRIN Henti Hendalastuti Rachmat dan tim yang berada di balik keberhasilan penyelamatan pohon dengan kayu keras jenis meranti yang sering disebut dengan keruing atau lagan bras tersebut. Dari status extinct in the wild (punah di alam liar) yang sudah dua dekade disandang ke critically endangered.
”Diawali dari laporan teman-teman eks LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang melakukan ekspedisi sekitar 2013 lalu ke Pulau Mursala,” katanya kepada Jawa Pos.
Mursala yang berada di Samudra Hindia sebelah barat Sumatera, sekitar 1 jam dengan kapal motor dari Pandan, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, adalah pulau yang identik dengan air terjun yang airnya langsung jatuh ke laut. Keindahan pulau itu membuatnya dipilih jadi lokasi syuting produksi Hollywood, King Kong, yang dirilis pada 2005.
Henti menceritakan, 10 tahun lalu itu, tim LIPI yang sekarang jadi BRIN menuturkan, ada pohon Dipterocarpus cinereus di Mursala. Tapi, mereka belum berhasil membawa materi genetik pohon tersebut.
Akhirnya, di tahun itu juga, Henti yang saat itu masih peneliti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama tim mengunjungi pulau tersebut. ”Harus menginap di sana. Menginap di rumah warga,” kenangnya.
Penghuni Mursala berasal dari Nias. Tapi, jumlah mereka tak banyak. Tantangan lain adalah ancaman malaria. Hesti mengenang beberapa anggota timnya sempat ada yang terjangkit. Bahkan, ada yang sampai tidak sadar selama empat hari.
Pada kunjungan tersebut, Henti dan timnya berhasil membawa pulang 20 bibit pohon Dipterocarpus cinereus. Dia harus patuh pada aturan, tidak boleh membawa seluruh anakan atau bibit tanaman yang dilindungi, apalagi saat itu masih berstatus punah.
Bibit tersebut kemudian ditanam di area konservasi tanaman milik KLHK. Waktu itu bibit yang dia bawa dari Pulau Mursala berukuran sekitar 20 cm. Dia sengaja memilih bibit yang tidak terlalu tinggi supaya mudah untuk memperbanyak di area tanam.
Tanaman tersebut memiliki biji yang khas. Dilengkapi dengan beberapa sayap. Pada usia tertentu, biji pohon Dipterocarpus cinereus lepas dan terbang sampai ke tanah. Kemudian secara alami menjadi kecambah dan tumbuh membesar. ”Tanaman ini sangat berbeda dengan jenis meranti lainnya,” kata dia.
Di antara perbedaannya, untuk bibit meranti pada umumnya, pada umur 3 bulan sudah bisa dikeluarkan dari sungkup dan ditanam di lahan terbuka. Adapun Dipterocarpus cinereus butuh waktu yang cukup lama di dalam sungkup. ”Menunggu dua tahun, baru bisa dikeluarkan dari sungkup,” kata Henti.
Dengan kondisi seperti itu, Henti dan tim memutuskan untuk melakukan ekspedisi kedua ke Mursala, sekitar 2–3 tahun setelah ekspedisi pertama. Tujuannya mengambil bibit pohon yang lebih banyak lagi. Akhirnya diambil sebanyak 40 bibit.
Untuk perbanyakan (propagasi), bibit yang sudah diambil itu langsung distek di bagian pucuk. Pada tanaman sejenisnya, proses stek umumnya butuh waktu 12 minggu untuk berakar. Tetapi, tanaman Dipterocarpus cinereus membutuhkan waktu sekitar enam bulan baru bisa keluar akar. ”Itu yang membuat jumlah tanaman ini di alam aslinya sangat terbatas,” kata Hesti.
Sebagai kelompok kayu meranti, Dipterocarpus memiliki ciri khas kayu yang sangat kuat. Oleh masyarakat setempat, pohon ini diambil kayunya untuk dijual ke pengepul.
Saat ini pohon Dipterocarpus cinereus hasil dari ekspedisi dapat tumbuh dengan sehat. Tingginya ada yang mencapai 2,5 meter. ”Mudah-mudahan setelah bisa diperbanyak, dapat dilakukan penanaman ulang Dipterocarpus cinereus di tempat asalnya di Mursala,” harapnya.
Agar Mursala juga tetap terjaga kelestarian dan keindahannya. Jadi, setelah King Kong, siapa tahu ada tamu Hollywood lain yang bakal datang. (*/c9/ttg)