Perjalanan ke Tibet lebih dari sekadar membawa Arahmaiani Feisal melakukan aktivitas penelitian spiritual. Hampir 14 tahun bergerak untuk ikut menjaga sumber air Asia.
ILHAM WANCOKO, Jakarta
GLETSER Tibet, gletser di dataran tinggi yang dikenal sebagai menara air Asia, penuh dengan ancaman. Es yang mencair dan bisa mengakibatkan banjir hingga diprediksi kering pada 2030.
Padahal, gletser itu yang mengairi danau-danau dan menjadi sumber air dari sejumlah sungai utama di Asia. Sungai Yangtze dan Kuning di Tiongkok. Sungai Mekong yang menghidupi Vietnam, Laos, Thailand, Kamboja, dan Myanmar. Juga, Sungai Gangga dan Brahmaputra di India serta Sungai Indus yang melintasi Pakistan. Perkiraannya, ”menara air” itu menyuplai air untuk 2 miliar orang.
Karena itu, Arahmaiani Feisal, seorang seniman cum aktivis, ingin gletser Tibet terus terjaga. Awalnya, Arahmaiani meneliti ajaran Buddhisme hingga tiba di Tibet pada 2010. Dia memang seorang muslim. Namun, dia mencoba menengahi keyakinan Buddha, Hindu, dan bahkan animisme. Di Tibet, lebih dari 9 ribu kilometer dari Indonesia, Arahmaiani justru menemukan ajaran Borobudur. ”Saya menyebutnya begitu,” ujarnya kepada Jawa Pos pekan lalu.
Ajaran Borobudur itu tertulis lengkap di buku-buku milik biksu Tibet. Pada abad ke-11 hingga ke-12, banyak biksu dari Tibet dan India yang belajar di Borobudur. Salah satu yang membawa ajaran Borobudur tersebut adalah biksu dari Tibet bernama Atisha Dipamkara Srijnana.
Belajar pula dari Muaro Jambi –kini Jambi– yang saat itu menjadi semacam universitas agama Buddha. Muaro Jambi malah jauh lebih tua. Sudah menjadi pusat agama Budha sejak abad ke-7. ”Di Tibet ini, ajarannya tertata dalam buku yang masih lengkap. Tapi, di Indonesia hanya bisa dibaca melalui dinding-dinding Borobudur,” paparnya.
Arahmaiani diminta biksu di Tibet untuk belajar kepada biksu di India. Dari seorang biksu di India inilah, Arahmaiani menemukan ajaran Bhinneka Tunggal Ika. ”Ajaran ini dibawa dari Borobudur ke India, tapi hanya sukses di Nusantara saat itu,” jelasnya.
Bhinneka Tunggal Ika ini yang membuat Nusantara saat itu mampu damai antaragama Buddha, Hindu, dan animisme. Bhinneka Tunggal Ika itulah yang ingin diajarkan ke India pada abad ke-11 dan ke-12. ”Karena sejarahnya, saat Siddharta Gautama mangkat, terjadi pembunuhan massal dan bentrokan antara agama Hindu dan Buddha di sana,” ujarnya.
Setelah belajar kepada biksu di India, Arahmaiani juga mempraktikkan ajaran Bodhisattva. Dengan hasrat kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan pula, perempuan kelahiran Bandung itu memutuskan untuk bergerak melindungi gletser Tibet. ”Cara melindunginya dengan komunitas,” katanya.
Dalam ajaran Buddha, lanjut dia, membentuk komunal atau komunitas dalam melepaskan penderitaan manusia merupakan sebuah kewajiban. Karena itu, bersama komunitas biksu di Tibet, perjuangan menjaga alam itu dimulai. ”Awalnya, memang sangat berat,” ungkapnya.
Targetnya, mulai menghidupkan pertanian organik, mengelola sampah daur ulang, menghidupkan peternakan nomaden, menanam pohon, hingga mengelola sumber air.
Salah satu tantangan paling berat berasal dari pemerintah Tiongkok. Tibet merupakan wilayah Tiongkok yang dibatasi. Arahmaiani berupaya menjaga lingkungan di sana. Namun, pemerintahTiongkok memberikan larangan mendapatkan bantuan luar negeri. ”Itu di awal 2010, tahun pertama di Tibet,” jelasnya.
Artinya, semua kerja lingkungan itu hanya boleh berasal dari pendapatan pribadi Arahmaiani. Perjuangan tidak boleh berhenti. Semua tabungan dan pendapatannya menjadi dosen di Jerman dihabiskan untuk gerakan ini. ”Menjual lukisan juga untuk semua itu,” ungkap perempuan 62 tahun tersebut.
Yang terberat, menghidupkan peternakan nomaden. Sebagaimana di Indonesia, peternakan banyak ditinggal anak-anak muda. Hanya tinggal mereka yang telah berusia tua. ”Peternak nomaden dianggap tidak mampu menghidupi. Tidak keren,” ujarnya.
Padahal, menurut dia, peternakan nomaden menjadi salah satu kunci menjaga gletser Tibet. Kotoran dari ternak yang menyebar itu bisa menyuburkan tanah. Membuat pepohonan kembali rindang. ”Dan, itu membantu sektor pertanian,” kata dia. Saat pepohonan tumbuh subur, suhu udara mendingin, gletser Tibet pun akan terjaga lebih lama.
Karena itu, diperlukan peternakan nomaden. Sapinya khusus sapi gondrong asal Himalaya atau sapi yak. ”Sapinya itu memang tahan dingin, bulunya gondrong,” terangnya.
Satu sapi yak dihargai sekitar Rp 15 juta. Untuk peternakan nomaden, dibutuhkan sekitar 24 sapi yak dan modal Rp 360 juta. ”Tapi ya, dari mana? Saya tiket Indonesia–Tibet dan semua biaya juga pribadi,” paparnya.
Jalan terjal itu akhirnya terlampaui. Arahmaiani meminta bantuan sebuah komunitas asal Jepang. Mereka mau membantu dan sudah sering tercatat membantu di negara Tiongkok. ”Saya sebenarnya khawatir juga nanti dilarang pemerintah Tiongkok. Tapi, akhirnya didiamkan saja,” ujarnya.
Setelah bertahun-tahun, kini pemerintah Tiongkok justru mendukung. Mereka membuat pasukan pohon. Sebuah pasukan yang bertugas menanam pohon di Tibet. ”Bahkan menanam pohon di seluruh daratan Tiongkok,” jelasnya.
Lewat puluhan hingga ratusan diskusi, terjadi transfer ilmu kepada anak muda Tibet. Kini banyak anak muda Tibet yang ingin kembali menjalani tradisi beternak nomaden. ”Menjadi warga yang bebas merdeka,” katanya.
Hidup sebagai peternak nomaden Tibet sempat dianggap tidak berguna. Namun, begitu mengetahui betapa pentingnya untuk gletser, untuk pertanian, dan untuk keselamatan 1,5 miliar–2 miliar warga Asia, pandangan itu berubah. ”Anak muda Tibet kembali ke hidup leluhurnya,” jelasnya.
Hingga 2023, Arahmaiani berjuang menjaga gletser Tibet. Sudah hampir 14 tahun dia menjaga menara air Asia itu tidak meleleh akibat pemanasan global. ”Namun, sepertinya saya mulai harus turun ke negeri sendiri, Indonesia,” ujarnya.
Di negeri kelahirannya itu, dia memandang bahwa terjadi praktik-praktik penghancuran alam yang tidak terkira. ”Saya punya rencana fokus ke Indonesia,” ungkap perempuan yang tinggal di Jogjakarta tersebut. Tentu saja sebuah kabar baik untuk perjuangan menjaga alam Nusantara tetap lestari. (*/c14/fal)