Dwi Restu
Jurnalis Kaltim Post
SEJAK ditetapkan sebagai ibu kota negara pada 2019, Kaltim bak mendapat “durian runtuh”. Pun dengan provinsi-provinsi tetangga. Sana-sini menggeber pembenahan. Banyak yang optimistis, namun ada pula yang pesimistis. Beragam pola isu IKN turut “digoreng”. Penentuan di Kaltim disebut-sebut ada unsur kepentingan ini dan itu.
“Kaltim seperti lari kencang”. Begitu awal kalimat pembuka diskusi di ujung petang beberapa hari lalu. Saya dan beberapa kawan seprofesi menganggap debat kami adalah perbincangan menata Samarinda beberapa tahun yang akan datang. Bahkan, diskusi kami juga terkadang menyajikan informasi baru. Dari yang pembahasan gaji seorang polisi, dilema antara menikah atau rumah, kehidupan malam, sampai kebijakan-kebijakan pimpinan daerah. Ibarat kata, membahas hal receh sampai yang isinya “daging” semua. Bicara banjir, bosan. Orang Samarinda pasti sudah tak asing dengan kalimat, Ikam hanyarkah di Samarinda. Artinya, Anda barukah di Samarinda. Bahkan, sampai dibuatkan stiker di chat media sosial.
Satu pembahasan serius yang kami obrolkan adalah kereta api. Untuk yang satu ini, Kaltim memang harus “gigit jari”. Karena memang belum ada. Apalagi Samarinda. Namun, beberapa waktu lalu, wacana mengudara. Skytrain atau kereta layang (kalayang). Bukan barang mudah dan murah. Perencanaan dan kajian memang harus benar-benar matang. Apakah benar-benar butuh. Saya meyakini, cepat atau lambat, memang dibutuhkan. Bukan sekadar menatap IKN, tapi menunjang segala hal. Itu juga bukan simsalabim. Pemkot harus “berkeringat” sih kalau kalayang itu benar-benar ingin diwujudkan.
Karena secara pribadi saya merindukan kereta api. Saya bahkan menceritakan singkat ketika masih kecil. Semarang, Kendal, tepatnya di Cepiring, daerah kelahiran ibu saya. Di sana saya pertama melihat kereta. Saat itu usia belum genap 5 tahun. Kereta pertama yang saya lihat adalah kereta angkut yang membawa tebu. Karena Cepiring dulu memang dikenal sebagai pabrik gula yang cukup besar. Setiap hari pemandangan itu tersaji. Kereta angkut itu berjalan pelan.
Soal kereta memang rasanya susah lepas dari ingatan. Saat gubernur Kaltim masih Awang Faroek Ishak (AFI), sempat muncul di benak saya, Kaltim bakal punya kereta api. Namun, medio 2018 di ujung-ujung masa jabatan AFI, project kerja sama dengan Rusia itu terhenti. BUMN Rusia di bidang perkeretaapian Russian Railways “cabut”. Di era Pak Isran Noor, wacana itu dilanjutkan. Bahkan mendapat sambutan apik.
Jujur, saya tidak ingin wacana itu lagi-lagi menguap. Merancang ini dan itunya, menjajaki sana-sini, tapi tak jelas wujudnya. Bukan sekadar kereta api dekat IKN saja yang dibangun, harapan besar kalayang benar-benar bisa diwujudkan di Samarinda. Siapa yang tak bangga. Saya pun mulai berandai-andai. Jika itu terwujud, Samarinda bukan sekadar kota penyangga. Samarinda bisa jadi New York atau Causeway Bay-nya Indonesia. Apalagi, wacana kalayangdi Samarinda juga akan terkoneksi ke BIGmall. Dalam benak saya, pemerintah artinya sudah mempertimbangkan potensi keuntungan yang lebih dari megaproyek itu. Dan pastinya, warga enggak perlu menunggu air surut (Jalan DI Panjaitan) saat banjir ketika hendak bertolak ke Bandara APT Pranoto.
Namun, rasa-rasanya harus realistis juga sih. Kocek yang disiapkan sudah pasti tidak sedikit. Memang harus gotong royong untuk mewujudkannya. Namun, tetap husnuzan (berperasangka baik) ke pemerintah. Entah terwujud atau tidak, namun adanya kereta api menandakan pertumbuhan dan perkembangan Kaltim, khususnya Samarinda semakin maju.