SETELAH dari Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara (Kukar), Jelajah Budaya Kaltim 2023 melanjutkan perjalanan ke Desa Pela. Desa yang masuk wilayah administrasi Kecamatan Kota Bangun, Kukar itu berada di pesisir Danau Semayang. Yang terkenal sebagai salah satu desa wisata untuk melihat mamalia langka, pesut mahakam.
Sayangnya, rombongan sore itu tidak bisa melihat pesut. Kepala Desa Pela Supyan Noor menyebut, sudah beberapa bulan terakhir, kondisi air Sungai Mahakam surut. Siklus itu biasa terjadi di pertengahan tahun. Selama itu, pesut jarang muncul di desa mereka. Kalau pun ada yang melihat disebut sebagai keberuntungan.
“Kalau surut begini, pesut lebih memilih ke arah hilir. Kemarin, ada datang dari peneliti luar negeri juga datang, sayang tiga hari di sini mereka tidak bisa menjumpai pesut,” ungkap Supyan yang sudah 10 tahun memimpin Desa Pela.
Sore itu, rombongan diajak melihat matahari terbenam. Sebagai desa wisata, saat ini warga Desa Pela disebutnya masih mengandalkan sektor perikanan sebagai mata pencarian. Adapun turis yang datang membantu di sisi ekonomi lewat penyewaan kapal, penginapan, dan hasil kerajinan masyarakat setempat. Termasuk ikan asin yang jadi buah tangan produksi nelayan.
“Kami bersyukur sejak 2017 lalu ditetapkan sebagai desa wisata, Desa Pela menunjukkan perkembangan. Banyak bantuan dari pemerintah dan perusahaan masuk ke sini. Mulai infrastruktur jalan jembatan sampai perahu buat warga,” ujarnya.
Pada 2018, dibuat peraturan desa untuk bisa melindungi ekosistem danau dan sungai sekitar Desa Pela. Melarang warga untuk menggunakan alat modern, jaring troll, memasang renggek melintas sungai, penggunaan setrum dan racun untuk menangkap ikan. Pasalnya, praktik ini pernah menjadi keresahan yang mengancam kehidupan pesut. Kini banyak masyarakat nelayan yang memilih membuat keramba untuk budidaya ikan seperti patin dan nila.
“Terbitnya Peraturan Desa Pela Nomor 2/2018 sangat positif. Penggunaan alat terlarang sudah hampir tidak ada lagi di desa ini. Namun, di desa lain masih banyak. Dan mereka kadang sampai ke sini. Karena itu, kami juga punya pengawas. Kerja sama dengan pihak kepolisian dan Dinas Perikanan untuk penindakannya,” jelas Supyan.
Peraturan itu juga berkaitan dengan pelestarian pesut mahakam. Karena Desa Pela sendiri masuk sebagai kawasan konservasi. Sehingga, kata Supyan, pihaknya punya tanggung jawab agar pasokan makanan untuk makan pesut tetap tersedia. “Dari penelitian terakhir, pesut yang biasa ‘bermain’ di Desa Pela ini ada 17 ekor. Dari total sekitar 60-an ekor pesut mahakam,” tambahnya.
Dari Desa Pela, berakhir perjalanan Jelajah Budaya Kaltim 2023, Jumat (28/7). Setelah melihat kerajinan dan proses pembuatan ikan asin, pukul 10.00 Wita, rombongan kembali ke kapal untuk kembali ke Samarinda.
EKOSISTEM BUDAYA
Salah satu tantangan eksistensi kebudayaan Kaltim adalah keterlibatan generasi muda untuk melestarikannya. Selain itu, dukungan pemerintah lewat program dan kebijakan, dan sektor swasta lewat CSR disebut mampu membuat budaya Kaltim tidak hanya lestari, namun menjadi penopang ekonomi daerah.
Wakil Ketua X DPR RI Hetifah Sjaifudian menjelaskan, DPR RI telah menerbitkan Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017. Dalam UU diatur hal-hal terkait upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan dan pembinaan kebudayaan yang harus dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
“Sebelumnya, juga kita sudah ada UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 yang mewajibkan upaya pelestarian cagar budaya yang berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan,” sebut wakil rakyat dari Kaltim itu.
Kata politikus Golkar itu, tugas DPR memastikan UU tersebut dilaksanakan dengan baik dan difasilitasi dalam bentuk anggaran maupun program. Sehingga, mampu membangun ekosistem budaya.
“Apalagi ada IKN (Ibu Kota Nusantara). Itu tantangan bagaimana akulturasi budaya menjadi penting. Jangan sampai justru budaya lokal kalah dengan budaya yang datang dari luar. Karena itu membangun ekosistem budaya Kaltim dalam membangun IKN sangat penting,” terang Hetifah.
Kata dia, dengan adanya desa-desa berbasis budaya, maka tidak hanya sebagai bentuk melestarikan budaya, namun juga pendorong ekonomi kreatif masyarakat setempat dan Kaltim lebih luas. Karena itu, segala faktor yang menghalangi kemajuan daerah tersebut harus segera diminimalisasi. Utamanya soal akses.
“Saya baru berjumpa dengan puluhan kepala desa. Termasuk Desa Pela. Memang ada keluhan soal akses. Di satu sisi, lewat susur sungai menjadi salah satu kearifan, namun harus ada pilihan jalur darat. Ini yang kini masih jadi kendala,” ungkapnya.
Dirinya pun sudah mendorong kepada pemerintah dan kementerian, konektivitas akses menuju desa wisata di Kaltim bisa ditingkatkan. Mulai dari penerbangan, jalur darat dan air sampai pada sarana dan prasarananya dan keselamatan. Karena bagi turis, baik lokal maupun mancanegara, kemudahan akses dan keselamatan jadi salah satu pertimbangan untuk mengunjungi daerah wisata yang dituju.
“Saya sudah sampaikan ke Pemprov Kaltim sampai ke Pak Sandi (Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno) agar akses ke tempat wisata ini bisa semakin dibenahi. Di satu sisi sekali lagi tugas DPR memastikan UU tersebut dilaksanakan dengan baik dan difasilitasi dalam bentuk anggaran maupun program,” sebutnya. (rom/k15)