Selain kaya sumber daya alamnya, Kaltim juga menjadi salah satu provinsi dedengkot peradaban Indonesia. Melahirkan kekayaan budaya Nusantara.
WAKTU menunjukkan pukul 08.00 Wita. Kaltim Post bersama 139 orang naik ke KM Dahlia F3. Kapal yang menjadi salah satu moda transportasi massal menuju hulu Sungai Mahakam. Dari Pelabuhan Sungai Kunjang, Samarinda, Rabu (26/7), rombongan pun berlayar menuju Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar).
Wajah para penumpang didominasi anak muda. Ada yang masih berstatus siswa SMA/SMK, mahasiswa, guru sampai kelompok muda yang terlibat seni dan budaya di Kaltim. Membawa misi khusus bersama Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIV Kaltim Kaltara. Untuk mengenal dan melestarikan kebudayaan Kaltim dalam tajuk “Jelajah Budaya Kaltim 2023”. Mengunjungi dan menampilkan kebudayaan lokal di sepanjang lokasi yang sudah ditentukan. Selama perjalanan tiga hari dua malam menyusuri Sungai Mahakam.
Di atas kapal dengan dua tingkat itu, rombongan pun mendapatkan asupan semangat dan pengetahuan dari salah satu tokoh budayawan Kaltim Syafrudin Pernyata. Mantan kepala Dinas Pendidikan Kaltim itu menekankan pada pembangunan karakter generasi muda lewat kebudayaan lokal.
“Persoalan membangun bangsa adalah karakter. Dan untuk membangun karakter adalah lewat budaya. Sebuah bangsa meski dijajah, namun kebudayaannya tetap akan ada. Itu identitas sebuah bangsa. Kalau tidak ada budaya, maka bangsa tersebut menjadi nihil,” ungkap Es Pernyata, biasa disapa.
Memang, kini dengan perkembangan zaman dan teknologi, tengah terjadi pergerakan dan pergeseran kebudayaan asli Kaltim. Karena itu baginya, membawa kembali budaya lokal cenderung bersinggungan dengan jati diri pribadi. Karena itu, kepada generasi muda perlu ditanamkan identitas kebudayaan.
“Jangan alergi dengan identitas. Jangan mentang-mentang Kaltim nanti jadi ibu kota negara, logat saja berubah jadi lu, lu, gue, gue. Itu saya pernah kaget dengar penyiar radio lokal pakai bahasa itu,” ujar Es Pernyata.
Di sisi lain, pria yang punya ciri khas topi bertuliskan “World Cup” itu menyinggung kehadiran Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kaltim. Kata dia, IKN bisa jadi pemicu bangkitnya kebudayaan Kaltim ke level yang lebih tinggi. Namun, itu jika dibarengi kepedulian masyarakat sampai pemerintahnya. Jika tidak, maka IKN justru akan menjadi ancaman kebudayaan lokal.
“Ingat, Jepang dan Korea Selatan bisa maju dan dikenal kebudayaannya karena mampu mendesain kebudayaan mereka sebagai faktor pendukung majunya peradaban bangsa mereka,” sebutnya.
Dari Pelabuhan Sungai Kunjang, satu setengah jam kemudian, kapal berlabuh di depan Museum Mulawarman, Tenggarong. Bekas Istana Kerajaan Kesultanan Kukar itu menjadi pemberhentian pertama. Di museum, rombongan dikenalkan berbagai peninggalan benda bersejarah. Lalu, mengunjungi kompleks Makam Kesultanan Kukar dan mendatangi Masjid Jami Adji Amir Hasanoeddin yang dibangun pada 1874 oleh Raja Sultan Sulaiman.
Setelah dari Tenggarong, rombongan melanjutkan perjalanan ke Desa Lekaq Kidau di Kecamatan Sebulu, Kukar. Dari Tenggarong, perjalanan memakan waktu sekitar 3,5 jam dengan kecepatan kapal 15-20 knot.
Sepanjang menyusuri sungai, rombongan juga diperlihatkan betapa Sungai Mahakam memegang peran penting dalam denyut kehidupan dan ekonomi Kaltim. Dari puluhan kapal tongkang pengangkut batu bara dan kayu memadati aliran sungai, sampai kapal pengangkut logistik untuk masyarakat di hulu Mahakam.
KETERBATASAN AKSES
Pukul 14.30 Wita, rombongan tiba di Desa Lekaq Kidau. Desa ini baru berdiri 25 tahun lalu. Berasal dari kelompok Dayak Kenyah yang bermigrasi dari Apau Kayan di utara Kalimantan. Di sisi rombongan belajar sejarah dan melihat penampilan tarian adat masyarakat setempat.
Kepala Desa Lekaq Kidau Dium bercerita. Perjalanan panjang orang Dayak Kenyah dari Apau Kayan dimulai sejak 1925 hingga sampai ke lokasi yang kini disebut Busang. Sebuah kecamatan di Kutai Timur (Kutim) yang terkenal di dunia karena skandal “gunung emas” pada 1997. Dari Busang, sejumlah kelompok suku Dayak Kenyah melanjutkan perjalanan ke selatan. Pada akhir 1997 sampai di lokasi yang kini menjadi Lekaq Kidau.
“Dulu desa ini namanya Danai Indah. Menunjukkan sebuah pemandangan terhadap pria gagah perkasa dan perempuan yang cantik jelita. Namun dalam perjalanannya, diubah oleh tetua adat menjadi Lekaq Kidau, artinya dataran subur yang dipenuhi tumbuhan Kidau,” sebut Dium.
Sejumlah alasan mengapa kelompok masyarakat menetap di Lekaq Kidau. Mulai pengaruh musim kemarau tahun 1997, hingga keinginan untuk dekat dengan akses perdagangan dan pendidikan.
Setelah dua tahun menetap, sebuah kabar beredar sampai ke hulu Mahakam. Akan ada perusahaan kelapa sawit yang akan masuk ke daerah sekitar Lekaq Kidau. Dari kabar itu, ribuan orang sub-suku Dayak dari hulu datang. Membuat desa menjadi sangat ramai. Dium yang kala itu menjadi pencatat administrasi kependudukan menyebut jumlah penduduk mencapai 1.500-an orang.
“Mereka mendengar kalau penghasilan kelapa sawit sangat luar biasa. Makanya mereka datang ke sini untuk menunggu. Sayang, tidak ada pembukaan lahan sawit karena ada yang menghalangi. Yang berdatangan tadi akhirnya banyak yang kembali ke daerah asal mereka,” ucap Dium.
Kini, Desa Lekaq Kidau memiliki 600 penduduk. Tidak hanya dari suku Dayak saja, warganya juga berasal dari suku Jawa, Madura, Banjar, dan Kutai. Kata Dium, mereka hidup saling berdampingan dan aman.
Dium menjelaskan, sebenarnya Desa Lekaq Kidau kaya keberagaman kebudayaan. Sayangnya, sejak dicanangkan sebagai desa wisata oleh mantan Bupati Kukar Syaukani HR pada 2003 lalu, kondisinya jalan di tempat.
Faktor utamanya karena terbatasnya akses. Kini, perjalanan untuk ke desa lebih banyak dilakukan melalui jalur sungai. Sementara, akses darat disebut rusak. “Itu yang membuat banyak wisatawan khususnya asing enggan datang karena jalannya rusak. Kecuali, mereka yang datang menggunakan kelompok tur seperti ini,” ucapnya.
Baru-baru ini saja disebut Dium, akses darat satu demi satu ke Desa Lekaq Kidau lebih baik. Di mana Pemkab Kukar mengalokasikan anggaran untuk penyemenan jalan. Karena itu, masyarakat desa mengancam siapa saja yang berani merusak jalan akan berhadapan dengan mereka.
“Baru di pemerintahan Pak Bupati Kukar Edi Damansyah jalan kami bagus. Jalan ini kami jaga betul. Makanya perusahaan sekitar sudah kami wanti-wanti. Awas jangan sampai rusak jalan satu-satunya yang kami pakai ini,” imbuhnya.
Akses darat dan sungai yang lebih aman menjadi harapan masyarakat Lekaq Kidau. Mereka ingin kondisi desa mereka lebih baik lagi dengan seringnya kunjungan turis. Mengingat, sebagai masyarakat petani, ada waktu di mana mereka tak bisa menggantungkan hidup dari hasil pertanian. Pasalnya, ada waktu ketika Sungai Mahakam pasang. Sehingga, banyak daratan yang tidak bisa ditanami komoditas pangan.
“Di sini banyak petani ladang padi. Panennya hanya setahun sekali. Sulitnya, setiap November sampai Januari itu pasti banjir terus menerus karena sungai pasang. Jadi banyak juga yang menggantungkan pendapatan dari jualan suvenir khas Dayak kalau ada tamu yang datang,” ujarnya.
SEJARAH MUARA KAMAN
Tidak lama rombongan singgah di Desa Lekaq Kidau. Sejam kemudian, perjalanan pun dilanjutkan menuju Kecamatan Muara Kaman, Kukar. Matahari baru saja tenggelam ketika kapal bersandar di dermaga dekat alun-alun kecamatan.
Di sini, BPK Wilayah XIV Kaltim Kaltara memberikan panggung kepada kelompok pelaku seni dan budaya yang ikut rombongan. Untuk menampilkan tarian adat, monolog hingga musik sape. Malam itu, ratusan rombongan dan warga setempat berbaur di depan panggung yang membelakangi Monumen Muso Salim, pahlawan kemerdekaan dari tanah Kutai. Pertunjukan berlangsung hingga hampir tengah malam.
Keesokan harinya (27/7), rombongan diajak ke Museum Muara Kaman. Belajar sejarah dan mengunjungi makam dan peninggalan dari salah satu kerajaan tertua di Indonesia, Kerajaan Martapura. Dari sekian banyak artefak dan peninggalan, yang paling terkenal dari kerajaan Hindu tersebut adalah prasasti Yupa. Monumen batu bertulis yang ditemukan dua tahap, pada 1879 dan 1940.
“Tapi yang di sini (Museum Muara Kaman) hanya replika. Aslinya ada di Museum Nasional, Jakarta. Hanya ada satu yang masih ada di sini adalah lesong batu yang juga peninggalan Raja Mulawarman,” ucap perwakilan BPK Wilayah XIV Edy Gunawan.
MAHAKAM JANTUNG PERADABAN
Kepala BPK Wilayah XIV Kaltim Kaltara Titik Lestari menjelaskan, membentang sepanjang 980 kilometer, Sungai Mahakam sejak dulu telah menjadi jantung kehidupan masyarakat Kaltim. Kehidupan itu melahirkan keberagaman kebudayaan. Sejak zaman prasejarah sampai sekarang. Karena itu, BPK Wilayah XIV Kaltim Kaltara melaksanakan Jelajah Budaya Kaltim 2023.
“Jelajah Budaya Kaltim memang bertujuan untuk menumbuhkan minat generasi muda mencintai sejarah dan kebudayaan baik benda maupun tak benda. Dengan cara memperkenalkan keragaman budaya yang ada di sepanjang aliran Sungai Mahakam. Karena sungai merupakan salah satu tempat munculnya peradaban besar di masyarakat,” jelas Lestari.
Sebagai generasi yang akan menjadi pionir bagi negeri ini pada masa depan, pihaknya ingin generasi muda mampu mempertahankan kebudayaan Kaltim sehingga kebudayaan lokal tidak tergerus oleh kebudayaan dari luar. Sungai Mahakam bagi BPK Wilayah XIV adalah sumber kebudayaan di Kaltim bahkan Indonesia pada umumnya. Dari hulu hingga hilir, BPK mencatat keragaman kebudayaan benda dan tak benda. Hingga sejumlah lokasi oleh pemerintah dijadikan cagar dan lokasi wisata.
“Dalam prosesnya upaya perlindungan dilakukan oleh pemerintah termasuk di dalamnya BPK Wilayah XIV. Karena kami melihat ada ketimpangan dalam pertukaran antara budaya lokal dengan budaya global. Di mana Indonesia selama ini cenderung menjadi konsumen budaya luar,” tutur Lestari. (rom/k15)
Penulis:
M Ridhuan
[email protected]