Oleh: Royyan Fadh
(Penyedia layanan pustaka sewa buku Balikpapan)
Kelas telah disesaki mahasiswa, tetapi dosen yang bertugas tidak kunjung hadir. Cici menyandarkan dagu di atas punggung telapak tangannya. Sesekali perempuan yang selalu menunjukkan lengkung di wajahnya itu menguap.
“Jadi, kita kuliah atau tidak, nih?” celetuk salah satu mahasiswi, mewakili puluhan lainnya yang belum mendapat kepastian.
Seorang ketua kelas bernama Ari tampak meninggikan bahunya. Sejenak, ia melirik ponsel pintarnya yang hening lalu kembali membolak-balikkan halaman sebuah novel. “Belum dijawab dosennya.”
Mendengar itu, Cici lanjut merebahkan kepalanya di atas sandaran kursi lipat. Dengan pergelangan tangan sebagai bantal, ia tertidur. Lengkungan di wajahnya memudar.
***
Suara tawa seperti tercekik terdengar dari samping. “Sudah, biarkan saja.”
“Jangan. Kasihan.”
Seorang teman menggoyang-goyangkan tubuh kurus perempuan berkerudung hitam itu. Ia pun bangkit. Dengan mata setengah terbuka, Cici menatap sekeliling. Kelas sudah sepi.
Orang itu memandangi sosok Cici dengan wajah datar. “Maaf membangunkanmu. Dosennya tidak bisa hadir. Sudah tahu tugasnya?”
Cici menggeleng sembari mengucek matanya yang berair.
“Cek di grup.” Telunjuk perempuan yang berada di hadapan Cici itu mengarah ke ponsel pintarnya.
Dengan tampang yang masih mengantuk, Cici kemudian mengangguk dengan mimik senyum. Merasa sedikit heran, orang itu lalu pergi begitu saja meninggalkannya sendiri.
Tangan Cici segera meraih ponsel pintarnya. Dilihatnya grup obrolan kelas virtual telah ramai. Jemarinya bergerak secara berayun menyingkirkan deretan tulisan di layar ponsel sampai pada obrolan terakhir; tugas dikumpulkan di pertemuan selanjutnya.
Tanpa pikir panjang, Cici segera melangkah cepat membawa tas punggung kecilnya. Agak jauh dari gedung kampus, langkah perempuan itu melambat. Ia kemudian duduk di sebuah pondok kayu.
Pandangannya celingak-celinguk. Terdapat banyak orang yang tampak sibuk berlalu-lalang di hadapannya. Namun, tidak ada satu pun yang dikenalinya. Kebanyakan dari mereka terlihat sedang memikirkan banyak hal hingga wajahnya tampak lelah.
Merasa jenuh akibat pemandangan wajah orang-orang lesu itu, Cici selanjutnya segera pulang ke indekosnya yang cukup dekat dari kampus. Dalam kamarnya, demi menyingkirkan ingatan pada wajah lelah orang-orang tadi, ia menonton banyak video yang berisi orang-orang yang tampak bahagia melakukan aktivitasnya. Detak jam dinding tak lagi terdengar. Perempuan semester dua itu menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar ponselnya.
Malam harinya, terdapat sebuah pesan virtual masuk secara personal dari Ari, si ketua kelas. “Kamu belum membuat kelompok?”
Cici menjawabnya dengan santai. “Kelompok apa?”
Emotikon sedih muncul sebagai balasan dari Ari.
Sementara ketua kelas itu tampak lanjut mengetik, Cici bergeming. Alis matanya hampir bersinggungan menatap emotikon sedih itu.
Tidak lama kemudian, notifikasi muncul, dari si ketua kelas. “Kalau begitu kamu bisa ikut di kelompokku, aku sudah bagi tugasnya. Sisa satu poin lagi yang belum. Informasi batas waktu dan lain-lain juga sudah kutulis di situ.”
Cici segera memberi stiker jempol, juga ditambah emotikon senyum dengan pipi kemerahan. Setelah membaca sedikit pesan dari ketua kelas, ia baru sadar itu adalah tugas barusan. Ia pikir pertemuan selanjutnya masih panjang tetapi ternyata besok; ia lupa.
Wajah lelahnya terpancar pada senyumnya yang tetap melekat. Tak sempat sampai larut malam, perempuan itu tertidur.
Raut marah ketua kelas menyambut pagi harinya di kampus. “Kenapa kamu tidak kerjakan bagianmu?”
Cici menunduk. “Hehe, maaf ya,” jawabnya tenang dengan menepuk pelan lengan Ari.
Si ketua kelas berusaha menurunkan suaranya. “Aku jadi harus buru-buru selesaikan sendiri karena kamu. Pokoknya, namamu sudah kucoret dari anggota kelompok. Aku tidak bercanda!” tegas Ari.
“Aku sudah coba cari," ujar Cici sambil menutupi bibirnya dengan jari-jarinya, “tapi tidak sempat ketemu.”
Ari mengerutkan keningnya. Ada ketimpangan dari ucapan dan mimik perempuan itu. “Kenapa malah tersenyum?”
“Tidak,” ucap Cici pelan. Ia lalu menutupi lengkung bibirnya dengan kedua tangan. Namun, lengkung di matanya yang menunjukkan senyum, masih terlihat.
“Ini serius! Tapi, kenapa kamu tetap tersenyum?” Ari melangkah lebih dekat. Cici berhadapan dengan bagian dada pria bertubuh tinggi itu.
Cici lantas menutup seluruh wajahnya dengan kedua tangan; menyembunyikan senyumnya yang melekat kuat. Ari hanya menatap bingung pada perempuan yang tampak aneh itu. Karena kehadiran dosen, percakapan mereka pun terhenti.
***
Selepas mata kuliah usai, Ari berlari mendekatinya. “Baru saja kamu dapat nilai nol, Ci. Tidak sedih?”
“Tidak apa-apa. Hehe,” tawanya datar.
Ari merasakan sebuah kegetiran tentang sebab lengkung di wajah perempuan itu. Itu jelas palsu; topeng belaka. Sudah cukup banyak manusia bertopeng yang sering dijumpainya. Ada wajah manis yang menghalalkan cara najis, ada juga rupa sedih agar memiliki dalih. Namun, semua orang-orang yang bertopeng seperti itu punya tujuannya masing-masing; berbeda dengan perempuan aneh di hadapannya. Untuk apa topeng senyumnya itu?
“Ci... kamu benar baik-baik saja?”
“I.. ya.” Sudut bibir Cici semakin meninggi bersamaan dengan matanya yang semakin menyipit. Kepalanya tidak ikut mengangguk.
Ari membuang napasnya pelan. “Ci, apa kamu sadar kalau yang kamu lakukan itu aneh?”
Cici terdiam dengan kelopak matanya yang mekar.
“Sejujurnya, senyumanmu itu aneh, Ci,” ucap Ari melanjutkan.
Perempuan itu menyaksikan wajah Ari yang berkerut setelah menyampaikan kejujurannya. Sejenak, suasana keduanya lengang.
Dua sudut bibir perempuan itu mengendur.
Ari kembali membuang napas. “Maaf.”
***
Hari itu, lengkung senyum di wajah Cici tenggelam. Ia terus dibayang-bayangi perkataan Ari; aneh.
Ponsel Cici yang sebelumnya redup di atas kasurnya tiba-tiba menyala dan berdering; panggilan dari ibunya.
“Halo..., Bu?” ucap Cici lembut.
“Ci, ibu sudah transfer uang buat Cici. Ibu masih ada kerjaan lain. Ibu mau sampaikan itu saja dulu. Cici pokoknya harus bahagia di sana. Jangan sedih-sedih, ya. Sudah dulu,” ucap ibunya terburu-buru.
Cici mengangguk pelan. “Iya, Bu.”
Suara perempuan itu membuat Cici mengenang wajahnya serta bagaimana keras perjuangannya untuk membesarkannya seorang diri. Sering kali ibunya berucap padanya bahwa ia akan bahagia saat melihat anak gadisnya bahagia. Karena itu, Cici telah membiasakan diri menjadi anak yang pandai mengukir senyum di wajahnya. Tak ada niatan lain, lengkungan di wajahnya itu hanya agar ibunya turut bahagia.
Sejenak, ia menarik bibirnya untuk tersenyum lebar meskipun ibunya sedang jauh dari hadapannya. Mengingat kembali perkataan lelaki yang sempat berujar jujur, lengkung senyum di matanya serta di bibirnya mengendur. Ari secara tidak langsung telah berhasil menghancurkan pandangannya tentang kebahagiaan. Tercetus tanya di pikirannya kali ini, jika senyum bukan berarti bahagia, melainkan bisa jadi keanehan juga, lalu bahagia sejati itu seharusnya seperti apa? (dwi/k8)