MASYARAKAT umumnya hanya mengenal koperasi sebagai lembaga berkumpul. Mendirikan koperasi hanya sekadar mencari manfaat simpan dan pinjam. Bahkan, cenderung dijadikan sarana pinjaman tanpa risiko. Hal itu yang membuat banyak koperasi di Indonesia termasuk Kaltim banyak yang mati suri bahkan bubar.
Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul) di Samarinda Aji Sofyan Effendi menyebut, dalam perjalanannya terminologi koperasi harus diubah. Bukan lagi sebagai tempat berkumpul orang-orang bernasib sama untuk “pinjam duit”. Namun, kepada pengembangan usaha dan ekonomi layaknya perkumpulan pengusaha menjalankan bisnis yang bersaing tinggi.
“Jangan hanya mirip kumpulan arisan saja. Daftar jadi anggota hanya untuk bisa pinjam uang. Sedihnya, begitu pinjam enggak kembalikan. Pengurus pun enggak bisa berbuat banyak karena tak memiliki sistem yang law enforcement (penegakan hukum),” ungkap Aji, Sabtu (22/7).
Di sisi lain, secara manajemen dirinya melihat belum banyak koperasi yang pengurusnya memiliki kemampuan bisnis dan pengelolaan keuangan. Padahal, itu penting dalam proses pengembangan koperasi.
“Mohon maaf, yang saya lihat kebanyakan pengurusnya itu pegawai atau pensiunan. Sementara, yang diperlukan untuk bisa mengembangkan koperasi ke arah menuju kesejahteraan secara ekonomi anggota adalah mereka yang profesional di bidang ekonomi. Punya jiwa entrepreneur,” imbuhnya.
Dirinya belum melihat daya saing koperasi di tengah pertumbuhan usaha. Sangat sulit menemukan koperasi yang memiliki usaha layaknya perusahaan waralaba. Lebih banyak justru mengandalkan pihak ketiga untuk memasarkan produknya. “Yang buat miris, banyak bangunan koperasi yang justru lokasinya di bawah tangga atau di pojok bangunan. Yang dijual pun apa adanya,” kata Aji.
Padahal, lanjut dia, potensi koperasi sebagai ruang berusaha setara perseroan sangat tinggi. Kesetaraan untuk mendapatkan peluang bisnis pun terbuka. Apalagi secara kelompok, koperasi memiliki kekuatan dari anggotanya. Jadi, tinggal bagaimana koperasi bisa berupaya meningkatkan usaha yang lebih luas, baik secara riil maupun digital.
“Tinggal bagaimana pengelolaannya. Tinggalkan cara ‘bermain’ yang inklusif hanya di antara anggota. Tapi, lebih luas bisa masuk ke pasar. Punya marketplace online misalnya. Bahkan, kalau bisa punya saham di perusahaan-perusahaan. Pegang saham perusda di Kaltim misalnya,” ungkapnya.
Senada, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim Dayang Donna Faroek menyebut, meski banyak bentuk koperasi, namun saat ini yang banyak dikenal masyarakat adalah koperasi simpan pinjam. Padahal, koperasi produksi sangat baik jika masyarakat bisa menjalankan sesuai kaidah-kaidahnya.
“Sehingga, ke depan masyarakat harus lebih jeli memanfaatkan koperasi sebagai badan usaha bukan sebagai media sesaat untuk mencari manfaat,” ujarnya.
Baginya, koperasi merupakan sebuah wadah atau badan usaha yang berisi beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama. Jika kembali pada sejarahnya, koperasi memiliki peran penting dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Contoh pada kelompok tani yang harus menyediakan peralatan pertanian yang mahal.
“Maka melalui koperasi, para petani bisa bergabung dengan koperasi agar bisa menggunakan manfaat dari alat tersebut dengan biaya yang murah karena ia tidak harus menyediakan alatnya sendirian,” sebut Donna.
Maka atas dasar itulah, prinsip koperasi dibangun di atas nilai kekeluargaan dan gotong royong. “Bisa kita simpulkan bahwa koperasi bisa menjadi solusi bagi masyarakat untuk meningkatkan manfaat usaha sehingga kapasitas usaha bisa lebih baik,” imbuhnya.
CIPTAKAN EKOSISTEM
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendorong usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Tanah Air. Tidak hanya meningkatkan populasi, tapi juga kualitas usaha menengah ke bawah dengan ekosistem pemagangan.
Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional (DPN) Apindo Shinta W Kamdani mengatakan, visi kepengurusan 2023–2028 mencakup iklim usaha yang kondusif. Salah satu faktor yang penting adalah ekonomi yang lebih inklusif untuk masyarakat. “Yang jadi masalah, aspek keberlanjutan masih absen di dunia UMKM. Banyak UMKM yang hanya hidup sebentar, lalu mati tanpa berkembang,” tuturnya.
Karena itu, salah satu upaya yang dilakukan adalah menciptakan ekosistem yang bisa melahirkan, mempertahankan, dan mengembangkan UMKM. Ekosistem holistik tersebut melibatkan pelaku UMKM, mahasiswa, serta praktisi bisnis, dan akademik. Nanti ketiga pihak bisa mendapatkan manfaat dari sistem tersebut. “Kami dari sisi perusahaan bakal memberikan CSR yang efektif. Bahkan, mitra potensial di masa depan,” tuturnya.
Ketua Bidang UMKM DPN Apindo Ronald Walla menjelaskan, gerakan UMKM Merdeka terinspirasi dari program magang di kampanye Merdeka Belajar oleh pemerintah.
Selain itu, pihaknya juga mengadakan program lain seperti UMKM Akademi dan UMKM Hub untuk bisa meningkatkan kualitas pelaku usaha menengah ke bawah. “Dalam program-program tersebut, pemilik UMKM bakal diajari untuk memulai ekspor, modernisasi operasional, serta mencari jaringan suplai yang lebih baik,” ujarnya. (rom/k15)