SAMARINDA-Nilai tukar petani (NTP) Mei 2023 sebesar 127,81 atau turun 2,49 persen dibandingkan NTP April 2023. Penurunan itu disebabkan menurunnya kemampuan beli petani.
Pada Mei, dua subsektor mengalami penurunan, yaitu subsektor tanaman perkebunan rakyat (-4,95 persen) dan subsektor peternakan (-0,50 persen). Penurunan daya beli petani tanaman perkebunan disebabkan rendahnya harga jual tandan buah segar (TBS) kelapa sawit saat ini.
Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Yusniar Juliana mengatakan, NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan. NTP dihitung dengan membandingkan antara perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib).
“NTP juga menunjukkan term of trade (daya tukar) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Sehingga, semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan petani,” ungkapnya, Kamis (8/6).
Sumber data untuk penghitungan NTP adalah dari hasil kegiatan survei pemantauan harga-harga di enam kabupaten, yaitu Paser, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Berau, dan Penajam Paser Utara. Berdasarkan hasil survei tersebut diperoleh NTP Kaltim pada Mei 2023 sebesar 127,81.
NTP Mei 2023 turun 2,49 persen terhadap bulan sebelumnya. Penurunan itu disebabkan karena indeks harga yang diterima petani (It) turun 2,23 persen. Sedangkan indeks harga yang dibayar petani (Ib) mengalami peningkatan 0,27 persen terhadap bulan sebelumnya.
Sementara itu, jika dibandingkan NTP bulan yang sama tahun lalu, NTP Mei 2023 secara umum mengalami peningkatan 5,16 persen.
Diwawancarai terpisah, Sekretaris Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kaltim Daru Widiyatmoko mengatakan, penurunan daya beli petani perkebunan rakyat disebabkan harga komoditasnya yang menurun. Penjualan menurun, maka kemampuan menurun. Harga TBS kelapa sawit periode 1-15 Mei 2023 sebesar Rp 2.298,99 per kilogram. Kini, hanya Rp 2.281,40 kilogramnya.
“Kembali menurunnya harga TBS menegaskan masih sangat sulit untuk mengembalikan harga seperti awal 2022. Belum ada indikasi harga bisa kembali pada harga Rp 3.000 per kilogram. Sebab, berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah belum mampu mendongkrak harga TBS,” ungkapnya.
Menurutnya, salah satunya kebijakan pemerintah yang menetapkan untuk membatasi domestic market obligation (DMO). Pembatasan DMO itu membuat ekspor menurun sehingga harga kembali merosot. Saat ini, produksi panen petani swadaya sedang naik di tengah penurunan harga. Itu karena pemerintah membatasi DMO dan ekspor CPO.
“Rendahnya harga TBS tentunya membuat penghasilan petani menurun. Sehingga, kemampuan petani perkebunan rakyat menurun, dan berpengaruh ke NTP Kaltim,” pungkasnya. (rom/k15)
CATUR MAIYULINDA
@caturmaiyulinda