SAMARINDA–Kendati PT Migas Mandiri Pratama Kaltim (MMPKT) merupakan Perseroan daerah milik Pemprov Kaltim, status anak usahanya yakni PT Migas Mandiri Pratama Hilir (MMPH) tak demikian. Status anak usaha yang menangani jenis usaha industri hilir migas tersebut menjadi perusahaan swasta.
Hal itu diterangkan Direktur Utama MMPKT Periode 2021–2025 Edi Kurniawan ketika bersaksi di Pengadilan Tipikor Samarinda, Rabu (7/6). “Meski berstatus swasta, pemilik sahamnya PT MMPKT. Dalam laporan tahunan pun, laporan keuangan MMPH akan dilampirkan dalam laporan MMPKT ke pemprov,” tuturnya.
Dia dihadirkan JPU Herman Kondo Siriwa, Rosnaeni Ulva, dan Melva Nurelly untuk dua terdakwa dalam kasus penyertaan modal di MMPKT yang menyeret Hazairin Adha (dirut MMPKT periode 2013–2016) dan Luki Ahmad (direktur MMPH periode 2013–2016).
Dalam kasus ini, penyertaan modal yang digulirkan MMPKT ke MMPH sebagai pinjaman modal pada 2014–2015. Dana yang dikucurkan digunakan untuk tiga kegiatan, yakni penyediaan tenaga kerja atau man power supply di bidang admin pendukung dan produksi dari PT Total E&P Indonesia; pembangunan lokakarya atau SPBU atau gudang penyimpanan BBM di lahan milik Pemprov Kaltim di Kilometer 4, Loa Janan, Kutai Kartanegara (Kukar); dan proyek properti The Concept Business Park atau rumah kantor (rukan) di Jalan Teuku Umar, Karang Asam Ilir, Sungai Kunjang, Samarinda.
Kembali ke Edi. Meski ketiga proyek itu terjadi bukan di masa jabatannya, namun dia mengetahui dari hasil laporan keuangan perusahaan pelat merah tersebut ketika pertama kali menjabat medio Juli 2021. “Ada minus hingga saya menjabat. Khususnya piutang dari MMPH ke MMPKT,” tuturnya.
Ketiga proyek itu bukan segmen bisnis berkelanjutan yang menghasilkan profit berkesinambungan. Pada masa kepemimpinannya, direksi MMPKT periode 2021–2025 hanya fokus pada penagihan piutang yang menggantung sejak 2017 dari ketiga proyek tersebut. Upaya serupa juga ditempuh direksi MMPKT sebelum dirinya.
Dari ketiga kegiatan itu, proyek properti rumah kantor The Concept Business Park yang jauh dari bisnis esensial MMPH. “Karena MMPH itu core business di sektor hilir migas, seperti transportir atau trading BBM industri. Untuk dua proyek lain masih masuk,” sebutnya.
Sejak dibentuk pada 2012, ada dua mekanisme pemberian dana dari MMPKT ke MMPH. Yakni setoran modal sesuai akta pendirian atau peminjaman modal. Keduanya, sama-sama wajib memberikan dividen untuk MMPKT.
“Yang membedakan, setoran modal tak perlu dikembalikan. Terlepas dari untung rugi usaha yang dijalankan menggunakan dana itu. Kalau pinjaman harus dikembalikan. Tapi, keduanya tetap wajib memberikan dividen untuk MMPKT,” jelasnya.
Disinggung JPU terkait adanya jaminan tanah dan bangunan dalam proyek properti The Concept Business Park dan penyediaan tenaga kerja atau man power supply, saksi mengaku baru mengetahui hal itu saat memeriksa hasil kerja satuan tugas piutang yang dibentuk direksi MMPKT sebelum dirinya. Jaminan berupa sertifikat itu pun masih dipegang MMPH.
Kendati begitu, jaminan yang semula dapat digunakan menjadi pengganti kerugian yang muncul. Tanah dan bangunan itu tak bisa dijual karena menuangkan klausul yang rumit dalam kontrak kerja sama MMPH dengan dua rekanan di kedua proyek itu; PT Royal Bersaudara di proyek penyediaan tenaga kerja atau man power supply, dan PT Multi Jaya Concept (MJC) di proyek rukan.
Untuk menjual aset tersebut agar piutang tereduksi, harus ada persetujuan kedua belah pihak, baik MMPH atau kedua rekanan tersebut. Nah, semula opsi menjual sudah ditempuh direksi namun terganjal persetujuan pemiliknya.
“Seperti yang di proyek rukan. Semula MMPKT berupaya menjual aset itu, namun pemilik lahan justru menolak karena harganya tak sesuai dengan yang mereka mau,” akunya.
Soal jaminan lahan yang dalam kerja sama awal MMPH bersama PT MJC yang semula hanya satu sertifikat tanah namun ketika kasus ini mencuat terpecah menjadi lima sertifikat hak milik (SHM). Perinciannya, SHM bernomor 01404 seluas 2.517 meter persegi, SHM bernomor 01405 seluas 2.074 meter persegi, SHM nomor 01406 seluas 3.039 meter persegi, SHM nomor 01407 seluas 3.054 meter persegi, dan SHM nomor 01408 seluas 3.017 meter persegi.
“Soal itu saya enggak tahu. Karena kalau melihat kontrak kerja sama MMPH dan laporan satgas piutang itu memang hanya satu tanah. Belum terpecah jadi lima,” akunya.
Selain Edi, beskal dari Kejati Kaltim menghadirkan empat saksi lainnya ke depan majelis hakim yang dipimpin Ari Wahyu Irawan bersama Jemmy Tanjung Utama dan Fauzi Ibrahim. Mereka, Suriansyah (kabag BUMD dan PMD di Biro Ekonomi Sekretariat Provinsi Kaltim), Hasri Yenni (staf keuangan MMPKT), Irene Devie (bendahara MMPKT), dan Lia Amilatussolikah (keuangan MMPH).
Di persidangan, Suriansyah menjelaskan, pendirian anak usaha dari MMPKT memang diatur di Perda 11/2009 tentang Perseroan Terbatas MMPKT. “Regulasinya memperbolehkan untuk mengembangkan bisnis esensial mereka,” tuturnya.
Pemprov lewat Biro Ekonomi memang akan ikut serta dalam setiap rapat umum pemegang saham (RUPS) MMPKT per tahunnya. Lewat RUPS pula pemprov bisa mengawasi setiap penggunaan uang daerah yang masuk ke perseroan pelat merah itu. Di setiap pengembangan bisnis pun harus disertai kajian yang disampaikan. Jika disetujui, barulah bisnis yang hendak dikembangkan itu dituangkan dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP).
“Untuk MMPH, pemprov tak terlibat karena pemilik sahamnya MMPKT. Jika ada keuangan MMPKT yang digelontorkan atau digunakan ke sana, kami hanya tahu dari lampiran laporan keuangan berkala MMPKT,” akunya.
Sepanjang Januari 2014 hingga Januari 2015, ada gelontoran dana yang ditransfer MMPKT ke rekening MMPH. Nilainya mencapai Rp 29 miliar. Hal ini diterangkan Hasri Yenni ketika dirinya diperiksa.
“Saya biasanya diminta Pak Hazairin (terdakwa dalam perkara ini) untuk mentransfer dana dari rekening perusahaan ke MMPH,” katanya.
Hal senada juga diterangkan Irene Devie. Namun, keduanya mengaku pemindahan sejumlah uang itu tak diketahuinya merupakan pinjaman modal lantaran tak pernah ada dokumen terkait.
“Biasanya saya hanya ngurusin dana untuk operasional kantor. Untuk yang itu (transfer ke MMPH) saya juga sempat tanya ke Yenni. Tapi tak ada dokumen lain, hanya permintaan dirut,” akunya.
Saksi Yenni pun menimpali, jika setiap dirinya diminta mentransfer, dia hanya diberi sebuah blangko yang sudah bertanda tangan dirut dan rekening tujuan. “Jadi saya hanya minta stempel perusahaan ke Devie. Baru ke bank memproses surat itu dan berkoordinasi dengan MMPH apakah uang itu sudah masuk di rekening mereka,” ulasnya.
Sementara saksi Lia mengaku, saat penggunaan anggaran perusahaan medio 2014–2015, MMPH tak pernah membuat RKAP. “Mulai ada RKAP setelah itu,” ucapnya.
Saat tiga proyek itu dijalankan MMPH, semua urusan keuangan atau dokumen terkait seperti surat permohonan dana ke MMPKT atau kontrak kerja sama, diurus kepala keuangan bernama Hari Wijayanto. “Semua Pak Hari. Saya hanya mengurus arsip, operasional kantor, atau pendapatan dari bisnis BBM industri,” sambungnya.
Dua proyek yang bekerja sama dengan pihak ketiga, PT Royal Bersaudara atau PT MJS, nota kesepakatan, dan dokumen lainnya. Gelontoran dana yang masuk ke kas MMPH pun tak sepenuhnya diberikan langsung ke pihak ketiga.
“Biasanya disimpan di rekening perusahaan. Bergantung kebutuhan pihak ketiga. Untuk yang PT Royal saja yang langsung digelontorkan Rp 25 miliar. Untuk yang PT MJS itu bertahap. Kadang minta Rp 4 miliar, kemudian dibayar setengah atau lebih dari nilai yang ditransfer. Kemudian minta lagi. Ini juga membuat laporan yang ada jadi bingung karena nilai total jadi hampir Rp 58 miliar,” akunya.
Dari ketiga proyek itu, JPU menjabarkan ihwal potensi kerugian daerah sebesar Rp 25,2 miliar yang berasal dari Rp 10,7 miliar dalam proyek properti The Concept Business Park, Rp 12,1 miliar dari peminjaman modal ke PT Royal Bersaudara dalam kegiatan pengadaan tenaga kerja, dan Rp 2,32 miliar dari proyek pembangunan gudang penyimpanan BBM di Loa Janan.
Selepas kelima saksi ini diperiksa, majelis hakim menyepakati menggelar kembali persidangan pada 14 Juni mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi lanjutan. (robayu/dwi/k8)