SAMARINDA–Warga Perum Keledang Mas Baru, Kelurahan Sungai Keledang, Kecamatan Samarinda Seberang, mengharapkan penanganan segera pada titik-titik potensi longsor di kawasan mereka.
Sejak tahun 90-an, mereka sudah merasakan pergerakan tanah yang semakin parah, terutama saat gempa di Palu 2018 lalu.
Tim Geologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) yang melakukan kajian di lokasi longsor menemukan bahwa lereng di sana memiliki kemiringan hingga 70 persen, dan tersusun batuan yang mudah lepas dan licin. Selain itu, ada beberapa mata air dan gawir (tebing curam) yang menunjukkan ciri-ciri longsor. “Semua itu diduga dipengaruhi faktor alam, sehingga harus ditangani bersama,” jelas Sekretaris Jurusan Geologi UMKT Syamsidar Sutan, Selasa (6/6).
Menurutnya, penanganan ekstrem yang diperlukan adalah memotong gunung, kemudian membuat teras dilengkapi drainase, sehingga hujan yang jatuh bisa dikendalikan. Selain itu, tanah harus dilapisi dengan geotekstil untuk mencegah limpasan air berlebih ke tanah dan mengurangi jenuh air. “Termasuk melakukan pemancangan dengan metode bore pile di area tersebut. Dan itu yang paling mahal ya,” ujarnya.
Dia menambahkan, timnya sedang mendesain dua asumsi untuk memotong gunung, yaitu dari 70 persen menjadi 30 persen bahkan 20 persen. Itu juga akan dikoordinasikan dengan pihak PT Bumi Samarinda Damai (BSD) selaku pengembang kawasan saat ini.
Dia berharap, penanganan itu juga bisa membantu pihak pengembang, karena area potensi titik rawan longsor, telah ditangani dengan baik, sehingga lebih aman untuk pengembangan kawasan. “Semoga penanganan itu bisa sama-sama membantu, terutama masyarakat terdampak,” jelasnya.
Sebelumnya sudah dilakukan kajian slope stability analysis dari Tim Geologi UMKT pada Sabtu (3/6), dibantu peralatan swadaya warga. Hasilnya menunjukkan bagian atas bukit adalah batu pasir, dan bagian bawah batu lempung, menandakan rawan longsor. “Salah satu solusi penanganan titik terdampak yakni Blok BS, RT 19 dan 20, perlu pemotongan bukit di atas dan pembangunan drainase di bawah,” ujarnya.
Jika terburu-buru, penanganannya dikhawatirkan tidak tepat dan bisa menimbulkan masalah baru. Hal itu sebagaimana saran salah satu peserta rapat dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda yang menyatakan perlu kajian mendalam. “Termasuk dari pengembang harus menyiapkan site plan, untuk memadukan data penanganan dengan pengembangan perumahan,” tuturnya.
Karena masih ada beberapa penyesuaian, pihaknya memberikan waktu ke pengembang dan peserta untuk rapat lanjutan Senin (12/6) mendatang untuk menyampaikan solusi. Namun, pihaknya optimistis penanganan bisa terealisasi karena banyak yang mendukung. “Kami akan usulkan agar 14 bangunan yang juga terdampak bisa dibantu. Yakni uang sewa selama tiga bulan. Sebagaimana saran tim geologi setelah ditangani, kawasan tersebut bisa kembali ditempati,” tegasnya.
Suwarso juga menyampaikan, pihaknya akan mengambil langkah pencegahan dini dengan memasang spanduk kawasan rawan longsor serta meminta bantuan Tim Geologi UMKT memasang perangkat early warning system untuk pemantauan. “Kami berharap, warga turut memantau (ronda) agar ketika terjadi pergerakan tanah bisa diketahui. Pemantauan harus intens,” ucapnya. (dra/k8)
DENNY SAPUTRA
@dennysaputra46