Presiden Jokowi kembali membuka keran ekspor pasir laut. Izin tersebut tertuang dalam PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Langkah ini berpotensi besar menimbulkan polemik.
SAMARINDA - Sebelum aturan tersebut terbit, ekspor pasir laut dilarang pemerintah era Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003. Perdagangan dihentikan demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, yakni tenggelamnya pulau kecil. Penghentian ekspor itu ditinjau kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau kecil.
Secara bisnis, potensi ekspor pasir laut memang besar. Sebab, pasarnya tidak banyak diambil negara lain. Belum lagi, permintaan pasir laut cukup tinggi. Tercatat Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Belgia, Malaysia, Singapura, dan lainnya memiliki permintaan yang sangat besar. Sebelum adanya larangan ekspor pasir laut, Indonesia merupakan pemasok utama pasir laut untuk Singapura.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) Kaltim Muhammad Hamzah mengatakan, kegiatan ekspor tentunya memiliki potensi yang besar. Termasuk pasir laut. Potensi ini harusnya tidak dirusak dengan mengabaikan aturan yang ada. Sebab, jika diatur dengan benar dan pelaku usaha mematuhinya maka tidak akan menimbulkan masalah.
“Jika mematuhi metode yang benar, tidak akan menimbulkan polemik. Memang di Kaltim tidak ada penambangan pasir laut, tapi sudah ada konsesi penambangan pasir sungai,” jelasnya, Senin (5/6).
Ekspor pasir laut dinilai potensial karena sebagian pulau-pulau yang tidak timbul tapi posisinya strategis lebih baik direklamasi. Namun memang perlu kerja ekstra, sebab beberapa kementerian terkait dalam penambangan pasir laut sepertinya tidak saling terhubung. Seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
“Potensinya masih bagus untuk ekspor pasir laut, namun pelaku usaha harus mematuhi aturan yang ada,” tegasnya.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim Dayang Donna Faroek mengatakan, secara garis besar dalam catatan dan data Kadin, ekspor pasir laut dan juga penambangan pasir laut tidak ada di Kaltim. “Semoga saya tidak salah, tapi memang belum ada ekspor pasir laut dari Kaltim. Setahu kami, ini kebanyakan terjadi di pulau kecil pesisir barat kepulauan Indonesia,” ungkapnya.
Donna mengatakan, dalam konseptual berbisnis adalah memenuhi kebutuhan hidup orang banyak (prinsip dasar perdagangan), namun pelaku usaha juga tidak boleh serakah. Semua berharap perdagangan ini bisa berkelanjutan, bisa diwariskan ke anak cucu dan perdagangan adalah sumber utama penopang keuangan negara.
“Kaltim setahu saya banyak berkutat di perkebunan, kehutanan dan pertambangan khususnya batu bara dan industri derivatifnya, penambangan pasir yang ada kebanyakan pasir sungai dengan metode konvensional sehingga keseimbangan terjaga,” ungkapnya.
Menurutnya, pulau besar seperti Kalimantan dan Papua punya lahan yang besar dan sumber daya melimpah. Tentunya ini juga harus diimbangi dengan dijaga dan pertahankan kelestariannya. Namun, apabila pengerukan terjadi di pulau kecil, bahaya ekosistem banyak akan terjadi.
“Kita semua tahu sedang menghadapi global warming dan berusaha keras menurunkan pemanasan global ini, dampaknya bila salju di kutub mencair dan permukaan air akan naik,” katanya.
Hal ini membuat banyak wilayah rendah akan tenggelam. Bila penambangan pasir dilakukan dalam skala luas tentu akan berdampak langsung. Belum lagi jika bicara ekosistem alam yang membutuhkan pasir pantai (baik pantai biasa maupun mangrove). Di sana ada kepiting bakau yang punya tugas melubangi dan memberi napas mangrove, lalu ada telur penyu yang punya tugas dalam ekosistem alam.
“Kami melihat bahwa asas manfaatnya ada namun sedikit, semoga pemerintah dapat mempertimbangkan kembali hal ini, kita mau berbisnis namun kita juga mau bisnis yang berkelanjutan dan selaras dengan ekosistem karena kita membutuhkan satu sama lain,” pungkasnya. (ndu/k15)
Catur Maiyulinda
@caturmaiyulinda