Oleh:
Permata Sri Rahayu
Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Universitas Mulawarman
MAHKAMAH Konstitusi menerima pengajuan uji materi atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Uji materi tersebut untuk mengembalikan pemilihan umum (pemilu) legislatif ke sistem proporsional tertutup.
Melansir dari berbagai sumber, proporsional tertutup adalah sistem bagi pemilih hanya dapat memilih partai politik (parpol) dan tidak dapat memilih kandidat seperti yang beberapa periode ini kita jalankan.
Polemik uji materi memanas belakangan setelah pakar hukum tata negara, Denny Indrayana mengaku menerima informasi bahwa MK bakal mengabulkan gugatan tersebut dan mengembalikan proses pemilu legislatif di Indonesia ke sistem proporsional tertutup.
Pernyataan Denny sontak menuai berbagai respons dan memanaskan kondisi politik Indonesia menjelang Pemilu 2024. Bagi sebagian orang di negeri ini, memilih parpol tanpa kandidat bukan hal baru. Pemerintahan di era Orde Baru sudah pernah menerapkan sistem ini.
Hasilnya ketua parpol memiliki kewenangan besar dalam menentukan kader yang akan dikirim ke kursi dewan. Rakyat dibuat tak berdaya, karena tak bisa memilih kandidat yang akan diberi amanah untuk menyuarakan aspirasi mereka. Seluruhnya menjadi hak ketua parpol.
Pemusatan kewenangan ini tentu akan menimbulkan konflik kepentingan antara kader partai dan ketua parpol. Kondisi ini rawan menciptakan politik uang di internal parpol. Lebih jauh, kondisi ini merupakan wujud dari mundurnya demokrasi yang sudah diperjuangkan saat masa reformasi 1998 silam.
Bagaimana tidak, hak rakyat untuk memiliki perwakilan di kursi legislatif dikebiri jika sistem proporsional tertutup kembali diberlakukan. Kader-kader partai yang selama ini duduk dari hasil suara masyarakat cenderung sulit menyampaikan keinginan rakyat.
Istilah “petugas partai” mulai santer terdengar seiring perkembangan isu di tingkat nasional. Respons masyarakat dari berbagai platform media sosial menunjukkan rasa pesimis atas keberadaan anggota dewan dari level kabupaten/kota, provinsi hingga pusat.
Senator yang diberi amanah dianggap lebih mendengar perintah elite partai ketimbang aspirasi masyarakat yang datang ke bilik suara saat pemilu. Padahal, masyarakat secara langsung menitipkan suara mereka lewat proses pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS).
Parpol yang mendukung sistem proporsional tertutup harusnya berkaca pada indeks kepercayaan publik. Hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia awal 2022 lalu, kepercayaan terhadap parpol memiliki angka paling rendah dibanding institusi negara lain seperti Polri, TNI, dan DPR.
Parpol hanya menerima kepercayaan 56,6 persen dari responden yang berjumlah 1.200 orang. Kepercayaan publik yang terus menurun terlihat pada tagar #SayaPilihGolput yang ramai muncul di tengah Pemilu 2019 lalu.
Dalam pemilu terakhir (2019) hasil hitung cepat yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan ada 19,24 persen pemilih di Indonesia memutuskan untuk golput. Angka ini diklaim lebih baik jika dibandingkan data golput yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebesar 30,42 persen atas pelaksanaan Pemilu 2014.
Jika sistem proporsional tertutup benar-benar kembali diterapkan di Pemilu 2024, angka golput diprediksi kembali meningkat. Jika menegakkan prinsip kedaulatan rakyat adalah tujuan utama dalam proses pemilu, semestinya seluruh pihak fokus pada optimalisasi tahapan-tahapan pemilu yang sudah berjalan.
Pemilu dengan sistem proporsional terbuka diyakini lebih mengedepankan hak rakyat dalam memilih wakilnya. Terlebih belum ditemukan hal mendesak berkaitan dengan potensi pelanggaran konstitusi untuk mengubah sistem pemilu ke proporsional tertutup. (*/kri/k16)