Singkat, namun berkesan. Perasaan itu yang dirasakan mayoritas peserta familiarization trip alias famtrip gagasan Dinas Pariwisata Kaltim, awal pekan ini. Rombongan yang berasal dari berbagai kalangan itu menyambangi tiga danau terbesar di Bumi Etam.
FAMTRIP kali ini memakan waktu dua hari satu malam. Dimulai pada Senin (29/5). Ini merupakan formula baru. Tahun-tahun sebelumnya, perjalanan diatur berdurasi 3-5 hari. “Pola ini kami coba untuk memfasilitasi wisatawan, terutama yang domestik, karena minimnya waktu liburan, yang membuat mereka kesulitan menjangkau destinasi wisata seperti tiga danau ini,” urai Kabid Promosi Pariwisata Dispar Kaltim Restiawan Baihaqi.
Benar saja, karena waktu yang diatur demikian singkat, itinerary juga menjadi padat. Rombongan memulai perjalanan dari Samarinda pada 07.00 Wita. Menuju pelabuhan penyeberangan di Desa Kayu Batu, Kecamatan Muara Muntai, menghabiskan sekira lima jam perjalanan, termasuk jeda istirahat sekira 60 menit.
Perjalanan seharusnya bisa lebih singkat. Namun, lubang yang menganga di beberapa titik jalan poros membuat kecepatan akselerasi kendaraan rombongan harus beberapa kali menurun. Untuk famtrip dengan durasi singkat seperti ini, kendala itu tentu lumayan mengganggu, kenyamanan maupun ketepatan waktu. Kondisi itu harus jadi perhatian pemerintah bila memang ingin mengembangkan potensi wisatanya.
Dari pelabuhan penyeberangan Kayu Batu, rombongan langsung bertolak ke Desa Muara Enggelam. Menggunakan perahu ketinting ataupun longboat, perjalanan memakan waktu sekira dua jam.
Desa Muara Enggelam terletak di tengah-tengah perairan Danau Melintang. Danau air tawar berluas sekira 11 ribu hektare dan berkedalaman hingga delapan meter. Desa tersebut menjadi begitu unik lantaran “berdiri” di atas perairan, alias tidak ada daratan sama sekali di kawasan itu. Masyarakat mendirikan rumah di atas log atau membangunnya dengan sistem panggung menggunakan pancang kayu yang panjang.
Karena tidak ada tanah dan hidup di antara perairan, mayoritas masyarakatnya menghidupi diri dengan menjadi nelayan. Ada pula yang menggeluti industri rumahan seperti ikan asin ataupun kudapan berbahan ikan. Dua komoditas itu juga yang kerap menjadi buah tangan sepulang dari sana.
Menurut keterangan pendamping tur, fase tersulit masyarakat Desa Muara Enggelam ketika Danau Melintang mulai mengering saat kemarau. Mereka akan jadi sulit ke mana-mana. Danau yang mengering hanya menyisakan air setinggi lutut dewasa. Untuk ditapaki, apalagi dilewati kendaraan, hampir tidak mungkin, karena di bawahnya hanya ada lumpur.
Rombongan tiba di Desa Muara Enggelam ketika matahari mulai tergelincir ke barat. Sempat mampir di sana sejenak, untuk istirahat dan salat. Beberapa juga berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
Sebelum berlabuh di Desa Muara Enggelam, rombongan diajak melihat pohon rengas yang unik. Sebab, pohon tersebut tetap bisa berdiri subur di tengah danau. Akrab disebut warga sekitar sebagai Pohon Setia Raja.
Melihat karakter kedalaman danau, bisa diperkirakan pohon itu memiliki batang yang menjulang panjang hingga ke dasar danau. Mungkin keeksotikannya baru akan terlihat ketika danau mulai mengering. Namun, jangan terlalu dekat dengan pohon tersebut. Sebab, getahnya bisa mengakibatkan gatal hingga iritasi pada kulit.
Nah, setelah puas berinteraksi dengan masyarakat di Desa Muara Enggelam, rombongan melanjutkan perjalanan ke Danau Semayang.
Dua danau tersebut letaknya bersebelahan. Ketika air sedang pasang, keduanya akan menjadi satu perairan. Secara wilayah administrasi pun berbeda. Danau Melintang terletak di wilayah Kecamatan Muara Wis, Danau Semayang berada di Kecamatan Kenohan. Masih di wilayah administrasi Kutai Kartanegara. Luasnya pun tidak jauh berbeda. Semayang disebut-sebut memiliki luas hingga 14 ribu hektare.
Nah, di Danau Semayang, karena waktu sudah mendekati petang, rombongan hanya sempat menyambangi jembatan ulin panjang. Jembatan itu menghubungkan dua desa. Yakni Desa Semayang dan Desa Sebemban di Kecamatan Muara Wis. Setelah puas mengabadikan foto di sana, rombongan ke wilayah hilir, melintasi beberapa desa.
Rombongan tiba di perkampungan di Muara Muntai. Di sana, penyelenggara tur menyediakan dua penginapan untuk mengakomodasi urusan istirahatnya rombongan. Pada saat itulah, akhirnya rombongan bisa menikmati kuliner dengan lauk khas air tawar yang menjadi andalan masyarakat sekitar.
Ikan patin bakar yang gres dan renyah, berpadu dengan kesegaran sayur asam ubi, makin lengkap dengan cocolan sambal terasi yang menggoyang lidah, menutup padatnya agenda perjalanan pada hari pertama. (ndy/k8/bersambung)