SAMARINDA–Kebijakan pemerintah membatasi domestic market obligation (DMO) kelapa sawit tampaknya mesti dievaluasi. Sebab, kebijakan tersebut membuat harga tandan buah segar (TBS) di level petani semakin tertekan. Pada periode 16–31 Mei lalu, harga di setiap kelompok umur mengalami penurunan. Hal ini terjadi sejak awal Mei.
Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Ahmad Muzakkir mengatakan, pada periode 1–15 Mei 2023 harga TBS tertinggi mencapai Rp 2.298,99 per kilogram, kini hanya Rp 2.281,40 per kilogram atau turun Rp 17,59. Penurunan dipengaruhi faktor internal, yakni turunnya harga crude palm oil (CPO) dan inti sawit (kernel) hampir di seluruh perusahaan.
“Penurunan harga CPO tersebut sudah pasti memberi dampak kepada harga TBS di tingkat petani sawit di Kaltim,” jelasnya, Jumat (2/6). Dia merinci, harga TBS bagi pekebun yang telah bermitra dengan pabrik sawit pada periode 16–31 Mei 2023, untuk TBS yang dipanen dari pohon umur 3 tahun dengan harga Rp 2.011,97 per kilogram.
Kemudian umur 4 tahun Rp 2.149,71 per kilogram, umur 5 tahun Rp 2.159,12 per kilogram, umur 6 tahun Rp 2.181,50 per kilogram. Lalu di umur 7 tahun Rp 2.194,07, umur 8 tahun Rp 2.210,99, dan umur 9 tahun Rp 2.254,68. Sedangkan umur 10 tahun ke atas, harga TBS mencapai Rp 2.281,40 per kilogram.
“Kami berharap, adanya kerja sama kelompok tani dengan pihak pabrik minyak sawit (PMS) bisa membuat harga TBS petani sesuai dengan harga normal dan tidak dipermainkan lagi oleh para tengkulak. Sehingga kesejahteraan kelompok tani kelapa sawit melalui kerja sama ini hendaknya dapat terwujud,” pungkasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kaltim Daru Widiyatmoko mengatakan, kembali menurunnya harga TBS pada Mei ini menegaskan masih sangat sulit mengembalikan harga seperti awal 2022.
“Sampai saat ini belum ada indikasi harga bisa kembali pada harga Rp 3.000 per kilogram. Sebab berbagai kebijakan yang dilakukan pemerintah belum mampu mendongkrak harga TBS,” ungkapnya.
Salah satunya kebijakan pemerintah yang menetapkan untuk membatasi domestic market obligation (DMO). Pembatasan DMO ini membuat ekspor menurun sehingga harga kembali merosot. Saat ini, produksi panen petani swadaya sedang naik di tengah penurunan harga.
Pemerintah menggulirkan empat kebijakan baru terkait minyak goreng dan ekspor minyak sawit mentah atau CPO dan tiga produk turunannya. Empat kebijakan yang menganulir kebijakan lama itu bertujuan menjaga keseimbangan ekspor CPO, dengan kebutuhan minyak goreng domestik, serta memperbanyak porsi minyak goreng kemasan untuk rakyat.
“Alasannya ekspor dikurangi dan DMO ditambah untuk bahan baku minyak goreng dan biosolar. Seharusnya membuat peningkatan harga tapi malah menurun, ini aneh tapi nyata,” pungkasnya. (ndu/k8)
Catur Maiyulinda
@caturmaiyulinda