Oleh:
Rakhmanto Anugrah Darmawan
Kordiv SDM & Organisasi Panwaslucam Samboja
Pemilu 2024 berdasarkan PKPU 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, telah memasuki masa pencalonan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang akan berlangsung sejak 24 April sampai 25 November.
Pada masa pencalonan bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, masyarakat dapat turut andil dalam memberikan masukan kepada KPU terhadap calon yang mendaftar, pada masa pengumuman daftar calon sementara yang dimulai pada 19 Agustus. Hal ini menjadi penting karena para bakal calon anggota ini merupakan perwakilan kita di parlemen yang kiranya dapat memperjuangkan hak-hak dan aspirasi masyarakat yang diwakilinya melalui proses electoral.
Terdapat satu hal menarik perhatian penulis terkait pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang tercantum dalam Pasal 241 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ayat 1 yang berbunyi, “Partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota”. Ayat 2 yang berbunyi, “Seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan internal partai politik peserta pemilu”.
Dari hal di atas, masyarakat salah satunya dihadapkan dengan bakal calon yang memiliki tingkat elektabilitas tinggi semata, belum tentu dibarengi dengan kapasitas dan kapabilitas diri yang mumpuni untuk menjadi wakil rakyat di parlemen. Kenapa hal ini bisa terjadi, satu hal yang mendasari adalah mekanisme seleksi bakal calon dikembalikan kepada internal masing-masing partai sesuai AD/ART dan peraturan internal partai politik peserta pemilu sebagaimana termaktub dalam Pasal 241 ayat 2 di atas.
Sistem pemilihan secara langsung dengan perolehan suara terbanyak maka akan keluar menjadi pemenang menjadikan tingkat popularitas dan elektabilitas menjadi pilihan. Artis, influencer, dan pengusaha menjadi incaran partai politik untuk menunjang dan menaikkan suara yang akan diperoleh pada setiap gelaran pemilu. Hal ini juga kembali didukung bahwa masih tradisional masyarakat kita dalam memilih calon atau wakil rakyat. Entah dalam hal suku, ras, agama, dan popularitas semata bukan berdasarkan rekam jejak, prestasi ataupun sikap yang jujur berani dan peduli terhadap masyarakat secara utuh.
Elektabilitas, menurut Dendy Sugiono (2008, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hlm 29) adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan dan bisa diterapkan kepada barang, jasa,maupun orang, badan atau partai. Untuk meningkatkan elektabilitas, objek elektabilitas harus memenuhi keterpilihan dan populer.
Mekanisme pemilihan bakal calon seperti pada Pasal 241 ayat 1 dan 2, terasa cukup tidak adil. Tidak terdapat standar seleksi yang ditentukan negara untuk mempersiapkan bakal calon yang benar-benar mumpuni dalam menjalankan tugasnya. Banyak lembaga di Indonesia yang melakukan seleksi terhadap bakal calon pegawainya melalui serangkaian tes yang cukup panjang, demi memastikan bahwa orang-orang yang lulus dan terpilih memiliki kapasitas yang baik dan mampu melayani masyarakat bangsa dan negara dengan baik juga.
ASN, TNI, Polri, KPK, KPU, Bawaslu dan beberapa lembaga lainnya menerapkan standar yang jelas dalam merekrut personal untuk mengampu lembaga yang akan dia masuki, seperti tes wawasan kebangsaan, intelegensi, psikotes, hingga tes kesehatan. Namun, dalam perekrutan bakal calon anggota dewan, mekanisme penyiapan bakal calon dikembalikan ke AD/ART atau aturan internal tiap partai. Seharusnya negara hadir di sana dengan menyiapkan seperangkat tes, baik dari model tes hingga lembaga yang melaksanakan tes tersebut. Jadi bakal calon yang disodorkan kepada rakyat untuk dipilih memiliki standar yang sama, baik segi kapasitas maupun kapabilitas. Elektabilitas merupakan bonus yang dapat menguntungkan partai. Rakyat tidak boleh dikecewakan dengan calon yang tidak mumpuni.
Diharapkan dengan adanya mekanisme seperti yang telah penulis sampaikan di atas, proses pemilihan yang akan dilaksanakan pada hari pemungutan suara tidak hanya berdasarkan pada popularitas, tetapi perang gagasan, rekam jejak, serta kapasitas. Bukan money politic, narasi saling menjatuhkan, black campaign, dan kampanye negatif lainnya yang kerap membayangi pada setiap pemilu di Indonesia. Namun, masyarakat telah yakin bahwa memang nama-nama calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota memang merupakan orang terpilih yang sudah tidak diragukan lagi kapasitasnya. Hingga akhirnya wakil rakyat kita yang menjalankan fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi anggaran dapat bekerja dengan sangat baik, karena memang mumpuni dalam menjalankan tugasnya hingga 5 tahun menjabat. (***/rdh/k16)