Oleh:
Lendl Wibisana
Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Universitas Mulawarman
Indonesia saat ini memiliki dua generasi produktif, yang dikenal dengan nama kaum milenial dan generasi Z (Gen-Z).
---
Kedua generasi ini tengah memasuki usia produktif, yang dianggap sebagai generasi kunci dari kemajuan bangsa. Cita-cita untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 pun disebut-sebut bergantung pada kesuksesan kedua generasi ini.
Namun, tantangan besar berjalan beriringan di tengah kedua generasi ini. Salah satunya sikap apatis yang terbentuk melalui beberapa faktor.
Sikap apatis di kalangan milenial dan Gen-Z didukung oleh kemajuan teknologi, yang memberikan akses untuk menerima informasi dengan sangat mudah. Sembari berbaring, dengan ponsel pintar di tangan, kedua generasi ini bisa dengan cepat mengetahui apa yang terjadi di belahan dunia lain. Termasuk kondisi terkini di seluruh daerah di Indonesia.
Keadaan ini memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan sifat individualis yang kian subur berkembang. Kemajuan teknologi, dan berbagai kemudahan yang disuguhkan menipiskan garis komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lain.
Contoh paling sederhana yang dapat dirasakan adalah proses transaksi jual beli. Bahkan untuk sekadar membeli makanan, kedua generasi ini tak perlu repot-repot pergi ke warung dan berinteraksi dengan penjual. Mereka hanya perlu membuka berbagai aplikasi, memilih makanan yang mereka mau, dan menunggu pesanan mereka untuk diantar, sambil bersantai di atas kasur.
Lewat kemajuan zaman, ada sekian tahap komunikasi antar-umat manusia yang terputus, dan digantikan oleh teknologi. Bahkan, dalam kegiatan tatap muka, banyak orang yang lebih fokus dengan ponsel mereka, ketimbang berinteraksi dengan manusia lain. Sikap apatis kian menyebar di tengah milenial dan Gen-Z.
Kemudahan akses untuk menerima informasi juga membuat nyaris tak ada lagi rahasia di jagat maya. Masyarakat kini dengan mudah dapat mengetahui perkembangan zaman, dan isu terkini di ranah pemerintahan. Baik-buruknya langkah yang diambil pemangku kebijakan dipertontonkan lewat media-media online yang rutin memberitakan isu-isu terkini.
Publik pun dibuat tak habis pikir dengan fakta yang berseliweran. Walhasil, integritas pemerintah pun dipertanyakan.
Media sosial banjir dengan narasi tidak percayanya publik atas kebijakan yang diambil negara. Keran demokrasi yang dibuka lebar, didukung dengan kemajuan teknologi membuat publik leluasa menyampaikan pendapat mereka.
Untuk yang satu ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat tak sepenuhnya apatis.
Namun, kondisi ini mengantarkan masyarakat pada rasa pesimis akan keberhasilan negeri ini. Publik atau netizen menertawakan pemerintah seolah sedang menonton lawak. Rasa pesimis yang terus dipupuk membuat masyarakat kini tak lagi peduli dengan kondisi bangsa ini. Bak berlayar di atas kapal yang bocor, masing-masing penumpang dan awak sibuk menyelamatkan diri masing-masing.
Ini terlihat dari banyaknya generasi yang menempuh studi di luar negeri, dan urung pulang.
Bahkan, ratusan penerima beasiswa dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), masih berada di luar Indonesia setelah menyelesaikan studi mereka. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam berbagai sumber keras memperingatkan 400-an penerima LPDP untuk lekas pulang pasca- menyelesaikan studi.
Pemerintah tak boleh menutup mata pada fenomena ini. Jika ingin serius dalam mewujudkan Indonesia Emas, seluruh lini dan sektor harus mendapat perbaikan yang serius. Sebagai bagian dari pemerintahan, kepercayaan publik memiliki peran besar dalam menyukseskan program-program yang sudah disusun. (pms/luc/rdh/k8)