Catatan:
Kiftiawati
(Pengajar Sastra Indonesia, FIB Unmul, kandidat doktor Kajian Tradisi Lisan FIB UI)
Pada Minggu, 14 Mei 2023, tradisi Nutuk Beham, pesta prapanen padi pada masyarakat Kutai Adat Lawas di Desa Kedang Ipil, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, usai digelar.
PAGELARAN tahun ini, terasa istimewa dibanding tahun-tahun sebelumnya karena menjadi pagelaran pertama setelah Nutuk Beham ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional melalui Surat Keputusan Mendikbudristek RI Nomor 414/0/2022, tanggal 21 Oktober 2022 lalu.
Jika merujuk pada sejumlah literatur, tradisi Nutuk Beham memang layak ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda karena lahir dari rahim masyarakat yang memiliki sejarah panjang. Tim Ekspedisi Tempo menyebut, Desa Kedang Ipil sebagai desa tua yang memainkan peran penting di abad lampau. Yakni, menjadi tempat pelarian para brahmana ketika terjadi perang besar antara Kerajaan Kutai Kartanegara dan Kerajaan Martadipura, pusat ilmu kanuragan, dan desa yang sangat disegani terkait tradisi berperang (Chamim, 2007). Daftar pemimpin desa yang berhasil didokumentasikan Warsono dkk menegaskan ketuaan itu. Desa Kedang Ipil telah eksis setidaknya sejak tahun 1460 Masehi (Warsono dkk, 1999).
Seturut dengan ketuaan itu, Nutuk Beham merupakan tradisi tua yang berakar pada religi lokal masyarakat Kutai Adat Lawas yang salah satu konsepnya adalah memuliakan alam. Itulah sebab, pagelaran Nutuk Beham sejatinya adalah bentuk kesyukuran terhadap entitas Tuhan yang mereka sebut sebagai Sunghyang atas hasil panen yang akan segera dituai.
Di sisi lain, tradisi ini lahir sebagai bentuk penghormatan masyarakat atas dewi padi yang mereka sebut sebagai Pantahun. Posisi Pantahun sebagai dewi padi sangat sakral bagi masyarakat Kutai Adat Lawas di Kedang Ipil. Masyarakat percaya, bahwa padi yang mereka tanam dan makan berasal dari Pantahun atau dewi padi sehingga diperlakukan penuh rasa hormat. Manifestasi rasa hormat dan pemuliaan itu dapat kita jumpai pada larangan atau pantangan membuang nasi atau melempar nasi ketika hendak membuang nasi yang basi. Mitos tentang Pantahun ini membawa kita pada pemahaman bahwa cerita Dewi Sri sebagai dewi padi tidak lagi menjadi cerita tunggal terkait asal-mula padi karena di Tanah Kutai juga ada mitos dewi padi dengan nama dan cerita yang berbeda.
Nutuk Beham berarti ‘menumbuk padi yang disangrai’. Secara umum, tradisi Nutuk Beham terdiri atas empat bagian. Yakni tahap persiapan, acara menumbuk beras ketan yang kemudian langsung diolah menjadi makanan siap santap, upacara ritual, dan diakhiri dengan makan bersama. Sebagai tradisi menjelang panen raya, sepintas Nutuk Beham mirip dengan tradisi panen di daerah lain. Namun, yang membedakannya adalah kuatnya suasana kegotongroyongan, kebersamaan, keramahan, dan religiusitas.
Kegotongroyongan tradisi Nutuk Beham dapat kita lihat dari kesigapan semua penduduk Kedang Ipil dalam menyiapkan dan menyelenggarakan tradisi ini. Semua orang ambil bagian, mulai dari menyumbang beras terbaik yang akan ditumbuk bersama, menyiapkan semua bahan dan peralatan, merendam beras, menyangrai, menumbuk, mengolahnya menjadi makanan siap santap, dan merapikan kembali semua peralatan.
Kebersamaan tecermin dalam keriangan yang terus tercipta selama kegiatan berlangsung. Bunyi lesung yang bertalu-talu tanpa henti selama tiga hari tiga malam menunjukkan keriangan, kebersamaan, dan semangat hidup itu terus berdenyut dalam suasana kekeluargaan dan egaliter. Keramahan dapat kita jumpai pada ritual penyambutan tamu. Semua orang yang datang disambut dengan Tari Pupur. Interaksi antara penari dan tamu dalam aktivitas saling mencorengkan bedak di wajah telah membangun keakraban, keterbukaan, dan keriangan, sekaligus penghormatan pada tuan rumah dan tamu.
Religiusitas terasa kuat dengan hadirnya ritual di awal dan akhir kegiatan untuk mengingatkan manusia bahwa semua anugerah yang dikecap sejatinya adalah dari Sang Pemilik Kehidupan. Kesyukuran itu harus dibuktikan dengan sikap yang baik pada sesama dan memuliakan alam. Atas dasar itu, tradisi Nutuk Beham sejatinya adalah wajah asli Indonesia, masyarakat yang mengedepankan kegotongroyongan, kebersamaan, keriangan, dan religiusitas.
Tradisi Nutuk Beham telah menjadi acara tahunan yang digelar setiap bulan Mei. Konsistensi ini tentu menjadi cermin atas sinergi berbagai pihak, masyarakat Kutai Adat Lawas, perangkat adat, perangkat desa, dan instansi pemerintah daerah terkait. Kehadiran kepala daerah juga anggota dewan di acara ini dapat dimaknai pula sebagai dukungan atas pelestarian tradisi ini. Ini tentu hal yang menggembirakan dan patut diapresiasi bahwa perhatian konkret berbagai pihak membuat tradisi tua ini terus berdenyut di abad digital.
Ke depan, sinergi itu membutuhkan strategi yang lebih tajam mengingat Kalimantan Timur akan beroperasi menjadi ibu kota negara. Kita tentu tidak menginginkan budaya asli Kalimantan Timur (Kutai, Dayak, Paser, Berau, dan sebagainya) mengalami nasib seperti Betawi yang terpinggirkan secara spasial, struktural, bahkan kultural di tanahnya sendiri. Budaya asli Kalimantan Timur harus menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri. Tradisi, sebagaimana Catherine Bell katakan, akan selalu mengalami transformasi karena zaman terus berubah namun tetap perlu diupayakan agar tidak keluar dari pakem dan standar yang ada (Bell, 1994). Itulah sebab, strategi budaya, langkah pemertahanan, juga pewarisan nilai-nilai dan filosofi tradisi kepada generasi muda harus segera dirumuskan.
Eksis dan konsistennya Nutuk Beham lengkap dengan dukungan dari berbagai pihak jelas merupakan helaan napas lega bagi kita semua karena tradisi tua di Kedang Ipil masih terjaga dengan baik. Namun, menghadapi derasnya tantangan zaman, perkembangan teknologi yang begini pesat, dan posisi Kaltim sebagai ibu kota negara perlu sinergi yang lebih kuat lagi dari berbagai pihak.
Akhirnya, sudah sepatutnya kita sampaikan terima kasih kepada tetua adat, perangkat desa, juga masyarakat Kedang Ipil yang secara konsisten menghidupkan tradisi tua ini setiap tahunnya. Di tengah erosi nilai-nilai kehidupan di abad digital ini teladan atas kegotongroyongan, kebersamaan, keriangan, dan religiusitas menjadi sangat penting. Terima kasih pula atas dukungan berbagai pihak semisal pemerintah daerah, instansi terkait, juga sejumlah pejabat penting sehingga tradisi tua ini dapat diakses dan diresapi kita semua, terutama generasi zaman now. Selamat atas suksesnya penyelenggaraan tradisi Nutuk Beham kali ini. Ke depan, semoga filosofi dan tradisi tua di Kaltim dapat terus dilestarikan dan diwariskan pada generasi muda. (far/k15)