Karya: Intan Nabila Khoirunisa
Ketika awal pembuatan alat penerang, di sana terciptalah rangkaian semu dan wacana dalam diri para insan puitis. Hanya ketika sepasang bola mata redup menatap sebuah lampu yang menyala, berpendar dalam gelap.
Seseorang pernah berkata kepada manusia itu, “Kau tidak akan pernah memahami konsep terang jika kau tidak mengerti tentang konsep gelap, dan sebaliknya. Itu benar terjadi, mungkin saja di dunia ini ada satu tempat yang tidak pernah bertemu dengan titik paling gelap yang dimiliki oleh semesta.”
Naluriku berbisik, sepertinya para manusia yang hidup di suatu tempat itu tidak pernah memahami konsep gelap karena mereka terus menyaksikan pemandangan langit yang terang. Hari-hari mereka yang penuh dengan sisi terang, tak ada kegelapan sama sekali. Aku menyebutnya, kota dengan segala kebahagiaannya.
Ya! Terang adalah kebahagiaan, dan gelap adalah kesengsaraan. Aku menyimpulkannya, tepat di bawah siraman lampu temaram kota ini, aku berpikir dengan sangat keras dan menetapkannya di kepalaku. Jika aku berada di antara gelap dan terang, maka hidupku akan seimbang. Benar, kan?
Tentu saja benar, kenapa tidak? Jika hidup seseorang hanya dipenuhi kebahagiaan, aku yakin sekali setiap harinya ia mengalami hari-hari yang penuh dengan kebisingan. Riuh ricuh orang-orang sekitarnya, tidak ada ketenangan, dan hanya ada kesenangan-kesenangan yang diciptakan bersama orang-orang ramai.
Sementara, seseorang yang hidupnya dipenuhi dengan kegelapan, waduh kasihan sekali. Nelangsa, kesepian, hidup bagai tak hidup. Begitulah hidup seseorang yang dipenuhi dengan kegelapan, dan memungkinkan seseorang itu untuk depresi, juga mengalami gangguan kejiwaan, atau kematian? Ya, semua kemungkinan itu bisa terjadi cepat atau lambat.
Jika sisi terang dan sisi gelap saling beradu, seperti diriku yang berada di antara gelap dan terang sekarang ini. Maka, hidup seseorang akan seimbang. Sisi terang akan membawakan kebahagiaan kepada manusia, dan sisi gelap akan membawakan kesialan, kesengsaraan, dan nelangsa untuk memberikan manusia itu sebuah pelajaran baru untuk menjemput kebahagiaan selanjutnya.
Hei kawan, apa yang aku katakan bisa saja salah, bukan? Ya, karena aku hanyalah manusia biasa, bukan Tuhan yang dapat mengatur segalanya. Namun, pemikiran yang tiba-tiba terlintas di otak setengah berfungsi ini benar-benar logis!
Bahkan, aku tidak sadar bahwa diriku bisa berpikir kritis seperti ini ketika hanya melihat sisi gelap dan terang yang sedang berada di hadapanku. Sisi temaram lampu kota itu begitu suka menghujaniku dengan cahayanya, sementara sisi kegelapan yang mengitariku terasa amat mencekam dan penuh nelangsa yang barangkali akan kupijak dan kulewati untuk sampai di lampu temaram kota selanjutnya.
Perjalanan kaki dari sisi terang ke arah sisi gelap hanya dua langkah. Terbatas oleh sinar temaram lampu kota yang memiliki jarak penerangan dengan diameter 5 meter, dan jika aku berada di tengahnya maka jarak kanan dan kiriku hanya 2,5 meter yang setara dengan dua langkah kaki.
Jarum jam di arloji yang melingkar pada pergelangan tangan kiriku kini sudah menunjukkan angka dua dini hari. Hampir dua jam aku duduk melamun di bawah sinar lampu ini, di atas kursi kayu yang sudah terkelupas catnya, ditambah dengan genangan air yang berada di bawahnya, walaupun tidak menyentuhku sama sekali.
Hela napas, sudah waktunya. Dengan segala niat, aku mendorong tubuhku untuk bangkit dan berjalan. Kali ini, aku akan melewati sisi gelap yang sudah ada di hadapanku. Cepat atau lambat, sisi gelap itu akan datang dan akan kulewati juga. Barangkali sisi gelap itu akan terasa sangat panjang karena beberapa lampu kota di hadapanku ada yang mati, dan untuk mencapai kembali sisi terang yang membahagiakan, kaki ini harus terus melangkah hingga sampai di bawah temaram lampu kota kembali.
Aku melakukannya, langkah demi langkah dan detik demi detik aku lewati, menyambut segala kegelapan hingga kegelapan tersebut memelukku seutuhnya. Membawa diri ini ke dalam nelangsa yang amat dalam dan terasa menyesakkan. Masalah demi masalah berdatangan tanpa henti, namun harus tetap aku lewati demi menempuh hidup ini. Lambat laun, namun pasti. Di depan sana nantinya, aku akan menemukan seberkas cahaya indah, menyambutku dengan hangat dan senyum yang lebar. Kebahagiaan menyambutku, tepat ketika diri ini merasa lelah dan butuh healing.
“Aku berhasil… kegelapan dalam hidup sudah aku lalui, namun ini bukan akhirnya… masih banyak kegelapan yang akan aku lalui dan masih banyak kebahagiaan disinari cahaya temaram yang dipenuhi senyuman menyambutku di ujung sana.” (dwi/k8)

INTAN NABILA KHOIRUNISA, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Unmul. Karya pertamanya novel berjudul “Prince and Princess” diterbitkan oleh Penerbit Catur Media Gemilang. Juga pernah menerbitkan tiga buku antalogi semasa SMA.