Karya: Dadang Ari Murtono
Menjelang pukul delapan malam, waktu menyakitinya. Sri Wiyani menekan keningnya dengan kedua telapak tangan. Lantas melepaskannya dengan kasar. Sehelai anak rambut tersangkut di sela jari telunjuk dan jari tengah lalu ikut tercabut. Namun, Sri Wiyani tak merasakannya. Kelopak matanya beranjak hangat. Tenggorokannya kering. Ia bangkit dari tempat duduknya seraya membuang napas besar.
Ia melangkahkan kaki panjang-panjang ke tepi ruangan, lalu balik ke tepi lainnya, dan begitu terus hingga empat kali, dengan sepasang matanya tak lepas dari pesawat telepon yang teronggok di atas meja bonggol jati, pas di sebelah tempat duduknya tadi. Kedua tangannya bertemu di perut, saling meremas hingga masing-masing terasa linu.
Sri Wiyani kemudian berhenti tepat di depan meja, lalu mengangkat gagang telepon. Ia menempelkan benda itu ke kuping kirinya. Dingin merambat ke daun telinganya. Jari telunjuk tangan kanannya menekan nomor telepon, namun buru-buru ia berhenti meneruskan aktivitasnya itu sebelum deretan nomor yang sudah ia hafal itu selesai tertekan. Ia kembali meletakkan gagang telepon pada posisi semula.
Lantas dengan sebal, ia membanting pantatnya ke tempat duduknya. Tempat duduk itu terbuat dari busa yang dilapisi kain beludru. Pada waktu-waktu sebelumnya, Sri Wiyani betah duduk di situ hingga berjam-jam, membaca buku atau sekadar melamun. Tempat duduk itu cukup besar hingga kadang hanya dengan sedikit menekuk kaki, ia bisa tiduran dengan nyaman di atasnya.
Namun kini tempat duduk itu terasa jauh dari nyaman. Sri Wiyani telah mencoba berbagai posisi duduk, mulai dari yang paling sopan hingga ke posisi-posisi yang paling aneh, dan tetap saja ia merasa tidak nyaman. Seakan-akan ada duri atau bara panas di tempat duduk tersebut.
“Sudah hampir pukul delapan,” keluh Sri Wiyani. Ia berharap dengan mengeluarkan kalimat itu, gundahnya akan berkurang, atau seseorang di seberang sana bakal mendengarnya dan teringat apa yang sebelumnya dijanjikan kepada Sri Wiyani dan buru-buru menepati janji tersebut. Sri Wiyani kembali menatap telepon di atas meja. Dan seperti sebelumnya, telepon itu tetap betah membisu.
“Jangan-jangan telepon ini rusak,” pikir Sri Wiyani. Namun, buru-buru pikiran itu ditepisnya sendiri. Kurang dari satu jam sebelumnya, telepon itu berdering. Dengan hati berbunga-bunga, Sri Wiyani mengangkatnya dengan tangan gemetar. Ia sengaja melembut-lembutkan suaranya ketika mengucap ‘hallo’. Namun beberapa detik kemudian, ia menutup telepon tersebut dengan sedikit bantingan. “Tidak ada,” katanya ketus menjawab orang di seberang telepon.
“Dasar pengganggu. Aku sedang menunggu telepon penting. Tidak boleh ada panggilan yang lain,” gerutunya.
Lagi pula, bapaknya memang sedang pergi ke rumah buliknya di dusun sebelah bersama ibunya. Jadi, bagaimana pun dia tidak berbohong ketika menjawab “tidak ada” untuk panggilan yang ia terima tadi. Satu-satunya kekurangannya dalam menangani panggilan itu adalah keketusan yang tidak bisa ia sembunyikan.
Kini sudah pukul delapan malam. Sri Wiyani melihat jam dinding besar dengan hiasan Kakbah di bawah potret presiden dan wakil presiden di tembok. “Apakah dia lupa?” pikiran-pikiran buruk mulai mengganggunya. “Dia berjanji meneleponku pukul tujuh tepat,” gumamnya lagi. Tangannya kembali saling remas. Wajahnya perlahan memucat. Kegelisahan yang mati-matian berusaha ia padamkan, kini malah menampakkan wujud dalam kepucatan mukanya itu.
“Ah, mungkin dia masih dalam perjalanan pulang kerja. Dia sibuk. Ya, dia pasti sedang dalam perjalanan dan sebentar lagi, begitu ia sampai rumah, ia akan segera meneleponku. Aku hanya harus sedikit bersabar,” gumamnya.
Ia berusaha meyakini kalimat yang ia ucapkan barusan, namun ia gagal melakukannya. Keraguan justru tumbuh kian besar. “Dia lupa. Dia lupa kepada janjinya kemarin. Tapi bagaimana dia lupa? Bukankah dia mencintaiku?”
Sri Wiyani yakin lelaki itu mencintainya meski dalam pertemuan pertama mereka, sekaligus satu-satunya sejauh ini, yang terjadi kemarin malam, lelaki itu tidak mengucapkan kata cinta. Namun, lelaki itu mengajaknya berkenalan terlebih dahulu, mengulurkan tangan dan menggenggam tangannya erat-erat.
Sri Wiyani merasakan kehangatan tangan lelaki itu menjalar ke tangannya, lalu ke hatinya, lantas memenuhi setiap pori-pori tubuhnya. Sri Wiyani bahkan sedikit merasa sesak napas akibat kehangatan itu. Bukankah hanya kehangatan cinta yang bisa berdampak sedemikian besar?
Lagi pula, lelaki itu beberapa kali mengedipkan mata sewaktu pandangan mereka bersirobok. Dan setiap kali itu terjadi, Sri Wiyani buru-buru menundukkan wajah. Hanya lelaki yang tengah jatuh cinta yang melakukan hal itu. Dan Sri Wiyani benar-benar terkejut mendapati limpahan cinta yang sedemikian besar. Untuk beberapa saat, ia merasa dirinya terbang.
Lelaki itu kemudian meminta nomor teleponnya. Bagaimana seorang lelaki yang tidak jatuh cinta akan meminta nomor telepon seperti itu? Dan Sri Wiyani tahu kalau lelaki itu sedikit salah tingkah sewaktu meminta. Setelah Sri Wiyani memberikan nomor teleponnya, si lelaki berjanji akan menelepon keesokan harinya, jam tujuh malam tepat.
“Kau juga boleh meneleponku kalau kau mau. Ini nomor teleponku,” kata lelaki itu lagi. Ah, bahkan Sri Wiyani masih ingat dengan pasti susunan kalimat dan intonasi lelaki itu mengucapkannya.
Lelaki itu bilang bahwa Sri Wiyani boleh meneleponnya. Namun bagaimana bisa dia melakukannya? Bagaimana pun kondisinya, tidaklah pantas orang seperti Sri Wiyani yang menelepon seorang lelaki lebih dulu. Tidak, tidak. Sri Wiyani menggeleng-gelengkan kepalanya. Lelaki itu harus yang menelepon, bukan dirinya. Dan untuk itu, Sri Wiyani akan menunggu. Tak peduli selama apapun itu.
Namun, kini sudah jam delapan lebih dan telepon itu tetap saja diam. Apakah terjadi sesuatu yang buruk kepada lelaki itu? Bisa saja ban motornya meletus dalam perjalanan pulang kerja dan tidak ada tukang tambal ban di sekitarnya. Lantas si lelaki terpaksa mendorong motornya hingga beberapa kilometer. Ah, kasihan sekali lelaki itu. Ia seorang pekerja keras. Sri Wiyani bisa tahu itu dari otot-otot yang menonjol di lengan si lelaki, juga bentuk tulang wajah dan sorotan matanya.
“Dia bekerja keras untukku, demi masa depan kami berdua,” gumam Sri Wiyani. Maka Sri Wiyani mulai berdoa semoga lelaki itu baik-baik saja, karirnya sukses, dan lelaki itu bisa segera sampai di rumah untuk meneleponnya.
Namun tiba-tiba bayangan yang lebih mengerikan melintas. Bagaimana bila dalam perjalanan pulang kerja, beberapa pemuda mabuk mencegat lelaki itu, lantas membacoknya dan merampok uangnya serta merampas motornya? Oh, itu menakutkan.
Sri Wiyani seperti melihat leleran darah mengalir dari leher kekar lelaki itu. Dadanya yang bidang robek. Dan dari perutnya memburai usus yang telah mekar terkena udara luar. Sri Wiyani menangkupkan kedua tangannya ke mukanya. Ia terisak-isak. Lantas segera ia menyadari bahwa itu semata khayalannya. Buru-buru ia mengibaskan tangannya, seolah dengan itu bayangan buruk tersebut bisa pergi.
Sri Wiyani kembali memandang pesawat telepon. Dengan ragu-ragu, tangan kirinya kembali terulur untuk mengangkatnya. Namun, sebelum jari-jari tangan kanannya menekan tombol nomor, telepon itu telah kembali ia letakkan. Tidak, tidak. Ia tidak boleh menyerah dan menghubungi lelaki itu lebih dulu. Lelaki itu pastilah tengah menguji kesabarannya. Bila ia menelepon, maka lelaki itu akan menganggapnya seseorang yang agresif dan malah menjauhinya. Namun bila ia bisa bersabar, perasaan cinta lelaki itu pasti kian berkobar.
Sri Wiyani membetulkan pantatnya, lantas bersandar di sandaran tempat duduknya. Sudah setengah sembilan. Kemarin, pada jam yang sama, ia pergi ke dusun sebelah untuk menonton ludruk. Ia tak pernah melewatkan pertunjukan ludruk yang digelar di sekitar tempat tinggalnya. Dengan antusias, ia akan segera menemui para tranvesti ludruk–para waria yang bertugas menari bedayan dan memerankan tokoh perempuan dalam pertunjukan.
Hanya bersama mereka, ia bisa menjadi dirinya sendiri dan merasa diterima. Dan selalu, setelah berada dalam krombongan, ia berganti pakaian seperti perempuan, lantas berkeliaran di sekitar panggung, mencari tempat paling strategis untuk menonton teman-temannya bermain. Kemarin, setelah lelaki itu pergi seusai mendapat nomor teleponnya, ia menceritakan hal itu kepada teman-temannya dan mereka menjawab singkat, “Jangan terlalu berharap ia akan meneleponmu. Ia hanya mempermainkanmu. Coba saja telepon nomor yang ia berikan, pasti palsu.”
Sri Wiyani, yang nama aslinya Sal Wahyudi, kini kembali menatap pesawat teleponnya. Celana panjang dan kemeja yang ia kenakan terasa tidak nyaman di badannya. Benarkah lelaki itu hanya mempermainkannya? Ia menguatkan diri. Ia tepis harga dirinya. Ia angkat pesawat telepon itu. Ia tekan nomor yang diberikan lelaki itu kemarin. (dwi/k8)
Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), dan Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta Penghargaan Sastra dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Saat ini tinggal di Samarinda dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.