Oleh:
Michael Albert Theojaya
Mahasiswa Teknologi Sains Data Universitas Airlangga, Surabaya asal Berau
PERJUANGAN tumpah darah bangsa Indonesia dalam menjadi bangsa yang merdeka tidak berhenti setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bangsa Indonesia harus kembali menghadapi beragam permasalahan nasional yang berpotensi besar menciptakan disintegrasi bangsa. Belum lagi ketika Indonesia diterjang oleh sebuah fakta pahit bahwa Belanda tidak ingin mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

DELEGASI: K.H. Agus Salim (ujung kanan) dan empat delegasi Indonesia dalam Sidang DK PBB 14 Agustus 1947 di New York, Amerika Serikat. (Sumber: KepoGaul)
Selain kasus Belanda, kemerdekaan Indonesia juga belum diakui oleh negara lain, baik secara de jure maupun de facto. Oleh karena itu, Indonesia harus melakukan upaya diplomasi dalam lingkup internasional untuk membuat negara global mengakui kemerdekaan NKRI secara resmi dan mengurangi pengaruh Belanda terhadap Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia telah mengambil keputusan yang sangat tepat dengan mengirim K.H. Agus Salim (Masyhudul Haq) sebagai delegasi Indonesia untuk misi diplomasi internasional.
The Grand Old Man
K.H. Agus Salim dikenal oleh dunia dengan julukan “The Grand Old Man”. Dikutip dari Britannica Dictionary, julukan ini bermakna: “a highly respected and admired man who had had a long career in a particular field”. Menurut buku H. Agus Salim (1884-1954): Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme (Sularto, 2004), julukan “The Grand Old Man” diberikan secara langsung kepada Agus Salim karena kemahiran diplomasi beliau dalam upaya meraih pengakuan internasional atas kedaulatan RI.
Berkat andil beliau, sayap kemerdekaan Indonesia sukses berkepak perkasa di hadapan negara Asia (melalui Inter-Asian Relations Conference 1947) dan Liga Arab (melalui Sidang Dewan Liga Arab). Sepanjang tahun 1947, Indonesia berhasil meraih pengakuan kemerdekaan resmi secara de jure dari Mesir (22 Maret 1947), Suriah (02 Juli 1947), Arab Saudi (21 November 1947), Libanon, Yaman, dan Afganistan. Adapun India dan Pakistan hanya mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto (Mukayat, 1985). Keberhasilan Agus Salim dan delegasi Indonesia dalam memimpin misi diplomatik RI membuat status kedaulatan RI oleh dunia semakin kuat (Roem, 1972; disadur dari Sermal & Rahma, 2021).
Melihat pergerakan ini, Belanda tidak tinggal diam. Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan aksi agresi militer pertama. Setelah peristiwa ini, Agus Salim dan Sutan Syahrir pergi meninggalkan Indonesia untuk menghadiri Sidang DK PBB 1947 (12 Agustus). Dalam sidang ini, delegasi RI mendapatkan simpati dari dunia. Pandangan dunia terhadap Republik Indonesia telah berubah 180 derajat. Karisma, keberanian, dan keteguhan hati nasionalisme delegasi RI, tidak terkecuali Agus Salim telah menggerakkan hati para pemimpin dunia. Sidang besar ini diakhiri dengan kesuksesan Indonesia setelah meraih dukungan penuh dunia.
Humor Diplomatik Terstruktur
Selain menunjukkan taringnya di hadapan dunia, Agus Salim sebagai orang yang jago berbicara juga memiliki selera humor yang menarik. Pada tahun 1953, beliau menghadiri acara penobatan Ratu Elizabeth II sebagai utusan Indonesia atas perintah Soekarno. Saat hari penobatan tiba, Agus Salim melihat Pangeran Philip, Duke of Edinburgh kurang bercengkrama dengan para tamu asing. Setelah itu, Agus Salim berdiri di samping Pangeran Philip dan menghirup dalam rokok kretek yang beliau pegang. Pangeran Philip tidak suka bau asap rokok kretek dan berkomentar tentang hal itu. Namun, Agus Salim membalas komentar itu dengan cerdas; beliau mengatakan bahwa justru bau rokok ini yang membuat bangsa Eropa pergi ke Indonesia (Wendry, 2015). Mendengar balasan Salim, Pangeran Philip tidak tersinggung. Sang Pangeran menyadari isi pesan yang ingin disampaikan oleh Agus Salim. Oleh karena itu, suasana mencair dan Pangeran Philips mulai bercengkerama dengan para tamu asing dari negara lain. Pada kesempatan lain di hari itu, Pangeran Philips memperkenalkan Agus Salim kepada Ratu Elizabeth II sebagai gentleman asal Indonesia.
Hidup Penuh Kesederhanaan
Siapa yang menyangka bahwa diplomat kelas internasional seperti Agus Salim lebih memilih hidup sederhana dibandingkan dengan hidup mewah penuh harta. Padahal, dengan prestasi elit yang telah ia raih, beliau bisa hidup tajir seumur baya. Akan tetapi, Agus Salim menolak jalan hidup itu. Beliau tinggal di rumah sewa (kontrak) yang kumuh. Rumah yang beliau huni terletak di pinggiran gang yang basah dan sempit. Selain itu, Agus Salim juga menjejaki hidup nomaden; beliau selalu hidup berpindah tempat tinggal. Beliau tidak pernah punya tempat tinggal secara resmi.
Menurut pandangan penulis terhadap perspektif Agus Salim, hidup sederhana merupakan gaya hidup cukup (minimalis) tanpa mengedepankan unsur kemewahan untuk membangun kesejahteraan diri. Saking sederhana hidup yang beliau tempuh, penulis buku “100 Tahun Haji Agus Salim”, Kasman Singodimejo (1996; disadur dari alhikmah.ac.id) mengungkapkan prinsip “Leiden is Lijden” yang bermakna memimpin itu menderita, meski kenyataan berkata lain. Agus Salim adalah tokoh bangsa paling melarat yang paling bahagia.
Berdasarkan kisah perjuangan di atas, banyak hal yang bisa diteladani dari seorang Agus Salim. Selain karena beliau adalah intelektual yang handal (dapat berbicara sembilan bahasa), beliau juga memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Agus Salim tidak pernah mengabdikan diri kepada bangsa asing. Seluruh perjuangan yang beliau lakukan murni untuk bangsa Indonesia. Dengan kesederhanaan yang bersahaja, Agus Salim memimpin tanggung jawab besar demi memperjuangkan pengakuan kemerdekaan bangsa yang beliau cintai. Merdeka! (***/rdh)