Oleh: Arwin Andrew
Alunan lagu sedang menari-nari memenuhi kafe yang berseberangan dari tepian Sungai Mahakam itu. Gesekan biola memulai pertunjukan dengan tempo pelan menghanyutkan ditemani sorot lampu remang yang berusaha menangkap para pengunjung.
Perlahan, alat musik petik lainnya bergabung membentuk harmoni padu menghangatkan malam seusai hujan yang menerpa sepanjang hari. Sang penyanyi memulai untaian lirik dengan tegas, namun mendayu-dayu melalui dialek Kutai-Melayu yang sangat akrab.
Saking hanyutnya, secangkir kopi di meja telah raib menemui takdirnya memuaskan tenggorokanku. Tiba-tiba seorang pelayan berdiri tepat di depan maja tanpa kusadari. “Mas, pesan satu gelas Americano panas, ya!” ujarku pada pelayan yang kebetulan melintas.
Pelayan itu membalas dengan mengangguk kemudian mencatat pesanan. Kadang tergopoh melayani para pengunjung yang bingung mencari tempat duduk. Banyak meja telah terisi penuh, hingga beberapa orang berdiri bersandar pada dinding.
“Hilman?” seorang dengan suara berat menepuk pundakku dari belakang.
Aku tak langsung membalas sapaannya. Lelaki berkumis mengenakan kaus hitam itu langsung duduk di depanku, wajahnya seolah membaca rona wajahku yang bingung akan kehadiran dirinya.
“Joki tugas pas kampus dulu,” ucapnya seolah membaca penasaranku.
“Rio!” aku memastikan. “Lama tidak berjumpa, hampir pangling melihat gaya parlentemu sekarang.”
Ia tertawa kecil seraya menempelkan kepalan tinjunya pelan. Rambut klimis dan cincin emas yang berbaris di jemarinya adalah simbol kemerdekaan, kemenangan atas konsistensi yang diraih selama bertahun-tahun.
“Pastilah ada orang penting, entah itu pejabat atau bos perusahaan, yang membuat kau rela jauh-jauh kemari, kan?” ujarku seusai menyeruput kopi hangat.
Ia menggeleng seraya menyilangkan tangan. “Lagi tugas menemani seseorang, Man,” balasnya tertawa.
Dulu, aku dan Rio berkuliah di fakultas yang sama. Sambil mengisi waktu menyelesaikan tugas akhir, Rio membuka jasa joki tugas kecil-kecilan agar rasa bosan pergi menjauh darinya. Puluhan prestasi memenangkan lomba karya ilmiah menjadi kepercayaan bagi para pemakai jasa yang ditawarkan. Bila waktu senggang datang, biasanya aku akan membenahi logika kalimat atau memeriksa kesalahan tik sepanjang tulisan.
“Oke semua aman. Siap dikirim,” aku menunjukkan jempol.
“Cek plagiasi sebelum dikirim!” katanya mengingatkan.
“Jujur saja mencari referensi tulisan ini tak mudah. Keroncong Tingkilan bukan musik yang populer saat ini.”
“Cari di YouTube, seharusnya banyak muncul selama kata kuncinya tepat.”
Tak berselang lama, Rio mengirimkan makalah itu melalui surel. Tinggal menunggu balasan dari si empunya melalui notifikasi yang kukira timbul dalam hitungan menit.
“Terima kasih, Kak,” sebuah frasa muncul tanda kendala selesai yang berarti bisa bersantai.
***
Selo, cakulele, dan cukulele mengawali intro lagu bersamaan. Lantunan syair lagu Anggrek Bulan dengan iringan gambus sungguh menceriakan atmosfer kafe yang sempat membeku. Sang penyanyi persis sekali membawakan lagu yang pertama kali kudengar kala bertemu perempuan berkacamata tampil di acara pentas seni kampus.
“Kau masih ingat Alya, Man?” nada bicara pria di hadapanku memberat.
Hawa hangat kembali membeku. Mengapa dia menyebutkan nama seseorang yang akan kutemui?
Alya, perempuan berkacamata yang mengawali perkenalanku dengan Congkil–keroncong Tingkilan–dalam sebuah perhelatan acara ulang tahun kampus. Bak seorang pemusik yang merajut nada-nada melalui alat dalam genggaman, perempuan itu mendendangkan Anggrek Bulan dengan anggun juga profesional. Tak ayal, malam itu adalah panggung baginya yang terpilih sebagai juara favorit yang disematkan para juri. Sang diva menghampiri Rio dengan wajah anak kecil yang baru diberi cokelat.
“Tugas esai kemarin dapat pujian dari dosen. Memang tidak salah memakai jasa kamu,” puji Alya.
“Bukan aku yang tulis. Nih penulis cuma pengamat musik amatir yang sabar dan ulet menggarap tugasmu,” jari jempol Rio mengarah pada wajahku.
Alya menebarkan senyuman, menawarkan kepalan tinjunya.
“Alyani Dwirahma. Suka main musik, tapi lebih semangat dalam bernyanyi,” alisnya terangkatnya membuat terang matanya memancarkan keceriaan anak-anak.
Kami bertiga jadi sering berkumpul, mendiskusikan banyak hal tentang musik kekinian sampai musik keroncong. Khusus genre ini, Alya adalah pengamat, sebuah ensiklopedia berjalan dari hulu ke hilir menebarkan nilai tradisi dan keluhuran. Di sela-sela ceritanya, Rio akan mengatupkan mulut menahan rasa kantuk. Alya tak peduli, paparannya akan terus lanjut hingga selesai. Keakraban itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, Alya memutuskan kontak. Semua sosial medianya menghilangkan. Begitu juga Rio.
Rio pun bercerita, Alya adalah anak seorang pengusaha. Ayahnya adalah singa di antara para macan, hiu di antara ikan-ikan besar yang tak ragu melakukan segala cara untuk mendapatkan makanan. Alya menjadi tawanan rumah yang senantiasa patuh dan bergerak berdasarkan aturan. Alya menghibur diri dengan berbagai musik yang dia dengar, sampai ia menemukan kaset lama milik ibunya, musik keroncong yang ia dendangkan dan nikmati.
“Bapakku dan ayahnya adalah kolega bisnis. Bila aku ke rumah, lagu keroncong menggema memenuhi rumahnya yang megah. Cuma kamu yang betah menyimak ceritanya, Man,” jelas Rio.
“Hal ini tak akan terjadi bila kau menceritakannya sejak dulu. Ini bukan persoalan remeh, Rio. Apa yang terjadi padanya?”
Tawa dan canda lenyap melalui kabar kepergian Alya. Dari kabar beredar, Alya berada di luar negeri, bernyanyi mengelilingi kafe-kafe kecil. Seiring waktu, memorinya terbawa arus waktu, meski samar muncul dalam mimpi. Setelah lulus kuliah, aku dan Rio mengambil jalan hidup masing-masing. Ia mendapat tawaran kerja di perusahaan besar bidang mineral dan gas. Aku menjalankan kehidupan sebagai karyawan kantor yang sepanjang hari berkencan dengan layar komputer.
***
Belasan tahun berlalu, bekerja di luar kota tidak sepenuhnya berhasil membuatku lupa keberadaan dirinya. Hingga tiga hari yang lalu, informasi dari surat kabar lokal tentang pertunjukan musik Keroncong Tingkilan muncul, menyebutkan namanya. Aku sempat pangling melihat wajahnya, tidak tanpa kacamata yang melekat di matanya.
“Di sini!” tangan Rio melambai posisi pada seseorang.
Dari atas panggung, perempuan itu menuju meja 08. Rio memeluk perempuan itu, mempersilakannya duduk.
“Ini Ayu, calon istriku. Seorang penyanyi profesional. Aku harap kau datang ke acara pernikahan nanti,” tukasnya bangga.
“Aku ke sini untuk bertemu Alya. Seharusnya ia tampil malam ini,” ungkapku kesal.
“Alya sudah lama pergi, pergi dari dunia ini. Kau tak mendapatkan kabarnya?”
Aku bergeming. Ingin rasanya aku menarik baju Rio dan menjatuhkannya di depan orang banyak.
“Ayu memakai nama panggung Alya Dwirahma, kakaknya. Alya meninggal dalam kecelakaan tunggal menjelang tampil membawakan lagu.”
Sayup-sayup irama keroncong masih terdengar, meski badanku berat seolah ditindih batu besar. Memasuki lirik terakhir, terlalu berat kepalaku menyimak lagu, berujung tersungkur menatap meja. (dwi/k8)
Arwin Andrew, penikmat buku yang bermukim di Tenggarong. Sela-sela waktu mengulas buku dan membuat cerita.