Oleh:
Surya Aditya
Jurnalis
Ronggeng Paser salah satu kesenian lokal di lingkaran Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Sebuah tradisi yang dibentuk dari alam.
---
MATAHARI hampir terbenam ketika Abdul Bani tiba di sebuah dermaga di Sungai Pamaluan, Desa Binuang, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara. Duduk di tepi sungai, kakek berumur 83 tahun itu memangku sebuah gambus. Setelah seorang rekan memberi aba-aba, Bani memetik senar-senar alat musik tradisional itu. Nada-nada bernuansa melayu klasik mengalir lembut.
Tak lama kemudian, Safarudin yang duduk di sebelah Bani menabuh gendangnya, mengiringi harmoni yang dimainkan Bani. Selang beberapa saat, lima pemudi datang dan menari di depan Bani dan Safarudin. Kedua tangan remaja berusia belasan tahun ini mengepak lebar. Tubuh mereka turun-naik sambil bergoyang ke kiri dan kanan, seirama alunan musik.
Kelima penari tersebut mengenakan pakaian yang seragam. Kerudung hitam, baju kuning, rok hitam sepanjang mata kaki, dan selendang merah melingkar di leher mereka.
Dari belakang mereka, sejumlah perempuan dewasa, di antaranya bernama Sawiyah, 30 tahun, memerhatikan gerak-gerik para penari. Setelah menari selama semenit, Sawiyah menyanyikan lagu Tirik. Merdu suaranya melantunkan syair-syair berbahasa Paser. Gerakan penari semakin energik.
Para penari, penyanyi, dan pemain gambus tersebut tergabung dalam kelompok kesenian ronggeng Paser bernama Bungo Mekar. Sore itu, Ahad, 12 Maret 2023, mereka tengah berlatih menari ronggeng. Saya diberi kesempatan untuk menyaksikan latihan dari dekat.
“Tirik sebenarnya pantun yang dinyanyikan untuk mengiringi tarian ronggeng Paser. Satu baitnya berbunyi, kami bernyanyi dan menari untuk menghibur handai tolan,” kata Sawiyah kepada saya di sela-sela kegiatan.
Aksi mereka berlangsung selama 10 menit. Selepas menari, para penari tampak ngos-ngosan. Wajah mereka banjir keringat. Mereka rehat sejenak di ujung dermaga menyesap segarnya udara Desa Binuang yang masih dipenuhi pepohonan hijau.
Ada dua tim penari yang berlatih yakni tim berbaju kuning dan merah. Dermaga Desa Binuang makin riuh ketika memasuki tarian ketiga yang menjadi penutup latihan. Para penyanyi hingga pelatih ikut berdendang dan bergoyang bersama semua penari. Hanyut dalam lagu Pulau Pandan, mereka baru berhenti ketika azan magrib berkumandang.
Menggantungkan Asa di IKN
Rahmawati, 43 tahun, adalah pelatih menari anggota Bungo Mekar. Perempuan kelahiran Desa Binuang pada 1980 itu bercerita, waktu kecil, ia bersekolah di sebuah desa di Kecamatan Babulu, PPU. Saat duduk di kelas tiga sekolah dasar, ia belajar menari ronggeng. Sejumlah perempuan suku Paser yang mengajarinya.
Beranjak dewasa, Rahmawati kembali ke kampung halamannya di Desa Binuang. Ia kemudian menurunkan ilmu menari kepada para gadis desa. Akan tetapi, keinginannya melestarikan ronggeng Paser tak berjalan mulus. Para penari mulai ogah-ogahan berlatih ketika mereka menikah. Kira-kira pada 2017, Bungo Mekar vakum total.
“Saat itu, ronggeng Paser belum dikelola secara profesional. Belum ada yang membina kami. Event-event juga masih minim,” beber Rahmawati seraya melanjutkan, “Mungkin, itu yang membuat generasi muda kurang berminat terhadap tarian ini.”
Asa melestarikan ronggeng Paser kembali bersinar ketika Sepaku ditetapkan sebagai Ibu Kota Negara Nusantara pada 2019. Bagi para pegiat ronggeng Paser seperti Rahmawati, kehadiran IKN merupakan peluang besar untuk merawat kesenian dari leluhurnya itu. Pastilah, kata dia, banyak pasang mata yang akan melirik kebudayaan Paser.
Upaya menghidupkan kembali Bungo Mekar mendapat dukungan penuh dari Kepala Adat Paser Desa Binuang, Saparudin. Dialah yang mengumpulkan para pelatih, penyanyi, pemain alat musik, termasuk sejumlah gadis Desa Binuang untuk dilatih menari. Kepada saya, Saparudin mengucap syukur Abdul Bani bergabung ke kelompoknya. Menurutnya, tidak mudah mencari pemain gambus yang bisa memainkan musik Paser.
“Lihat saja kelompok ronggeng Paser yang lain. Rata-rata, mereka menggunakan rekaman musik untuk mengiringi tarian. Hanya kami yang tidak menggunakannya,” ucap pria 53 tahun itu.
Bungo Mekar akhirnya eksis lagi pada awal 2022. Mereka kerap tampil dalam berbagai acara, satu di antaranya saat menyambut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Titik Nol IKN Nusantara, Sepaku, pada Februari 2023. Bagi para anggota Bungo Mekar, Saparudin adalah orang yang paling berjasa atas bangkitnya Bungo Mekar.
“Dia adalah pembina kami. Walaupun kami tidak punya modal, dia selalu bisa mengusahakan,” timpal Rahmawati.
Ronggeng Paser memiliki hubungan erat dengan alam. Berdasarkan informasi yang dihimpun Rahmawati, sejumlah gerakan ronggeng Paser berasal dari tradisi orang-orang suku Paser zaman dulu. Gerakan melebarkan dan memutar-mutar tangan, misalnya, disebut sebagai gerakan menanam padi di gunung.
Orang-orang suku Paser kemudian memainkan ronggeng sebelum dan setelah panen padi. Tujuannya meminta keberkahan dan wujud rasa syukur atas yang diberikan alam. Selain dalam menanam, ronggeng juga dimainkan dalam pengobatan orang sakit.
“Orang-orang Paser dulu meyakini, menari adalah cara untuk mengungkapkan rasa syukur dan memohon pertolongan kepada leluhur kami,” tuturnya. Inilah yang membedakan ronggeng Paser dengan ronggeng lainnya.
Siti Fatimah, 17 tahun; dan Misfa Aulia, 14 tahun, adalah dua penari ronggeng Paser dari Bungo Mekar. Pelajar SMA dan SMP itu masih ngos-ngosan saat saya temui. Mereka pun mengaku senang bisa menarikan ronggeng Paser. Mereka berharap, upaya menjaga eksistensi tarian tersebut mendapat dukungan dari pemerintah. “Tarian ini adalah warisan nenek moyang yang harus terus dilestarikan,” kuncinya. (***/rdh/k8)