Sawit pelan-pelan kembali primadona. Belakangan, harga CPO merangkak naik. Angin segar bagi petani dan pengusaha di Kaltim.
BALIKPAPAN-Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) belakangan terus mengalami kenaikan. Meski tidak terlalu signifikan, namun kondisi itu menjadi pertanda sentimen positif pasar dunia bagi industri sawit di Indonesia khususnya Kaltim.
Merujuk data Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim, meski tren harga CPO sempat mengalami penurunan pada Februari, yakni Rp 11.425 per kilogram dibandingkan Januari sebesar Rp 11.490 per kilogram. Namun pada Maret, harga CPO meningkat di angka Rp 11.870 per kilogramnya.
Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim, Azmal Ridwan menyebut, kenaikan harga CPO saat ini merupakan hal yang wajar dan normal. Menurutnya, harga yang terbentuk saat ini lebih kepada menyelesaikan persoalan yang belum tuntas setelah kebijakan pemerintah melarang sementara ekspor CPO tahun lalu.
“Akibat larangan ekspor, sempat membeludak itu (pasokan). Makanya sekarang lebih ke penyelesaian masalah. Masalahnya sementara masih menangani stok yang membengkak,” ungkap Azmal, Kamis (30/3).
Penerapan larangan sementara ekspor yang berlaku selama periode April-Mei 2022 lalu tersebut membuat produksi sawit dan CPO tidak lantas berhenti. Sementara, begitu keran ekspor kembali dibuka, pengusaha tidak serta-merta bisa melakukan ekspor.
“Kendaraan buat mengeluarkan barang (CPO) itu tidak bisa disamakan dengan angkot (angkutan kota). Yang di depan berhenti masih ada yang di belakang bisa angkut,” sebutnya.
Kata Azmal, perlu waktu dua bulan setelah pencabutan larangan ekspor sampai akhirnya produksi di Kaltim bisa diekspor ke luar. Itu pun dengan jumlah pengiriman yang berkurang akibat minimnya transportasi.
“Banyak pihak yang kecewa. Perjanjiannya bisa kirim enam kali, tapi yang bisa dikirim hanya empat. Akhirnya, kami harus melakukan pendekatan ulang. Atur lagi soal transportasi CPO-nya. Karena dampak larangan itu, banyak transportasi CPO yang dipakai ke yang lain. Itulah yang sampai sekarang kami masih selesaikan masalahnya,” bebernya.
Bagi pihaknya, jika masalah itu tidak diselesaikan, maka stok CPO hasil produksi terus membengkak. Sementara, panen jalan terus dan transportasi yang ada terbatas.
Terkait peremajaan sawit, Azmal menyebut Kaltim hingga kini masih berhitung. Berapa banyak dan berapa luas lahan yang akan diremajakan. Menurutnya, program peremajaan sawit rakyat (PSR) yang disorong pemerintah di Kaltim masih memerlukan keputusan dari daerah.
Apalagi bukan untuk tahun ini saja, namun peremajaan sawit rakyat tahun ini juga harus mampu menyelesaikan sisa atau utang PSR tahun-tahun sebelumnya. “Pusat masih menunggu dari Kaltim maunya berapa. Kalau sudah ada datanya berapa, tinggal bagaimana pusat setuju berapa. Nanti April, data dari provinsi baru kelihatan. Dan (data) itu bukan hanya buat tahun ini saja. Namun, utang-utang tahun sebelumnya juga mengikuti. Akumulasi tersebut harus diselesaikan tahun ini,” ucapnya.
DBH SAWIT
Perjuangan mendapatkan dana bagi hasil (DBH) di sektor kelapa sawit di Kaltim pada akhirnya berbuah manis dengan rencana kucuran DBH sawit oleh pemerintah pusat tahun ini. Meski DBH sawit belum masuk batang tubuh APBD Kaltim 2023, namun pada sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, Pemprov Kaltim melalui Badan Pendapatan Daerah meyakini ada potensi tambahan hampir Rp 3 triliun dana transfer dari pusat dari sektor kelapa sawit kepada daerah penghasil sawit.
Pengamat ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Aji Sofyan Effendi menyebut, tambahan DBH sawit sebenarnya belum memiliki formula khusus seperti dana alokasi umum (DAU). Sehingga, belum bisa diketahui seberapa besar dana yang akan masuk ke Kaltim dari sektor sawit melalui DBH.
“Kalau saya melihat (DBH sawit) merupakan political will dari pemerintah pusat ke daerah. Karena begitu derasnya desakan pembagian dana bagi hasil oleh daerah-daerah penghasil sawit, termasuk di Kaltim,” ungkap Aji, Kamis (30/3).
Itu karena secara aturan pun, meski usulan DBH sawit diakomodasi pemerintah pusat melalui Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD), namun sifatnya tidak diperkuat peraturan pemerintah.
Sehingga menurutnya, DBH sawit hanya bersifat sementara, sampai diputuskan formula yang utuh atau peraturan turunan dari UU HKPD. “Tapi itu realistis, mampu menambah kapasitas fiskal. Sayangnya, pertambahan kapasitas fiskal itu mengancam besaran DAU yang akan diterima Kaltim ke depan. Karena formula DAU, semakin tinggi kapasitas fiskal sebuah daerah, maka semakin rendah DAU yang akan ditransfer pusat,” ujarnya. (rom/k15)
M RIDHUAN
[email protected]