Menjelang berakhirnya waktu pendaftaran hari ini (31/3), baru dua LHKPN milik sekretaris daerah yang dipublikasikan. Yakni milik sekkab Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Barat (Kubar).
BALIKPAPAN-Belum semua Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pejabat di Kaltim periodik 2022 bisa diakses. Khususnya harta kekayaan pejabat tertinggi di kabupaten/kota, yakni sekretaris daerah atau sekda. Untuk LHKPN periodik 2022 milik Sekkab PPU Tohar, telah dilaporkan pada 9 Januari 2023. Tohar memiliki harta kekayaan senilai Rp 11 miliar. Dia memiliki tanah dan bangunan di 23 lokasi di PPU senilai Rp 10,65 miliar. Nilai asetnya itu berkisar Rp 35–930 juta.
Sementara LHKPN periodik 2022 Sekkab Kubar Ayonius disampaikan pada 24 Januari 2023. Ayonius memiliki harta kekayaan senilai Rp 1,15 miliar. Adapun Penjabat (Pj) Sekkab Berau Agus Wahyudi yang saat ini menjabat Asisten Pembangunan dan Perekonomian Setkab Berau telah menyampaikan LHKPN pada 21 Januari 2023. Harta kekayaannya Rp 2,19 miliar. Selebihnya, pada tujuh kabupaten/kota lainnya di Kaltim masih mengacu pada LHKPN periodik 2021.
Sekkab Paser Katsul Wijaya memiliki harta Rp 2,77 miliar. Lalu Sekkab Kutai Kartanegara (Kukar) Sunggono memiliki harta senilai Rp 5,24 miliar, kemudian Sekkab Mahakam Ulu (Mahulu) Stephanus Madang (Rp 5,15 miliar), Sekretaris Kota (Sekkot) Samarinda Hero Mardanus (Rp 3,21 miliar), Sekkot Bontang Aji Erlynawati (Rp 726,28 juta), Sekkab Kutai Timur Rizali Hadi (minus Rp 27,87 juta), dan Sekkot Balikpapan Muhaimin (Rp 2,64 miliar).
Menurut pengamat hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Herdiansyah Hamzah, pejabat di Kaltim masih jauh dari kata patuh untuk menyampaikan LHKPN-nya. Itu karena tidak ada efek jera bagi yang tidak patuh. Semestinya bagi pejabat yang tidak melaporkan LHKPN, untuk dicopot saja dari jabatannya.
“Itu bisa memberi efek jera. Selama ini dicopot pas viral aja,” usulnya. Pria yang akrab disapa Castro ini mencontohkan, di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saja masih banyak pejabat wajib lapor harta kekayaan yang tidak patuh. Padahal mereka harusnya jadi barisan paling depan terkait pelaporan harta kekayaannya. “Itu perumpaannya. Tapi intinya, jangan berhenti dianalisis soal patuh tidak patuh saja. Tapi mau diapakan kalau ada yang hartanya meningkat secara tidak wajar. Karena itu saya mengusulkan untuk segera menjawab kekosongan hukum soal illicit enrichment (peningkatan harta kekayaan pejabat atau penyelenggara negara secara tidak wajar). Dan RUU perampasan aset harus segera disahkan,” terang dia.
Dalam laman resminya, Komisi Pemberantasan Korupsi menyampaikan jika hingga 28 Maret 2023, kepatuhan pelaporan LHKPN mencapai 91 persen. Dari 372.649 wajib lapor, masih ada sejumlah 33.026 wajib lapor (9 persen) yang belum memenuhi kewajibannya melaporkan LHKPN. Dari 34 provinsi di Indonesia, sembilan provinsi telah memenuhi kewajiban pelaporan LHKPN 100 persen. Dari daftar sembilan provinsi itu, tidak terdapat Kalimantan Timur. Sembilan provinsi itu adalah Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Sulawesi Barat, Kalimantan Barat, Aceh, Jawa Barat, dan Bali. “KPK mengingatkan kepada para penyelenggara negara ataupun wajib lapor yang belum menyampaikan LHKPN-nya untuk segera melapor sebelum batas waktu 31 Maret 2023,” demikian pesan KPK dikutip dari laman resminya kemarin.
Pada bagian lain, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengakui masih ada kekurangan dari sistem mekanisme pengawasan kekayaan melalui Laporan Harta Penyelenggara Negara. Terutama sistem LHKPN nihil sanksi bagi yang melanggar. Menurut Pahala, para pelanggar kewajiban LHKPN hanya diberi sanksi administratif. Hal itu, menurut dia, tidak memberikan efek jera bagi pejabat yang tidak melaksanakan kewajibannya lapor LHKPN.
"Sanksi sebenarnya kalau kita berharap di tahun 1999, itu sanksinya jangan hanya administratif," kata Pahala di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu, 1 Maret 2023. Pahala menilai, hukuman bagi pelanggar wajib LHKPN tidak efektif. Sebab, kata dia, semua tindak lanjut laporan pelanggaran wajib LHKPN diserahkan kepada pimpinan instansi masing-masing.
"Yang jadi masalah kalau pimpinannya juga tidak tertarik dengan LHKPN, ya, sudah. Orang terang-terangan bilang saya nggak ngelapor saja nggak diapa-apain," ujar Pahala.
Pahala mengharapkan ke depan ada mekanisme aturan yang tegas mengenai sanksi pelanggar wajib LHKPN. Oleh karena itu, kata dia, KPK mengusahakan koordinasi ke semua lembaga negara terkait penerapan hal tersebut. "Jadi kalau dibilang apakah kita ingin ada sanksi, ya sangat ingin lah," ucap dia.
Pahala juga mengatakan perlu adanya kekhususan terhadap para pelanggar wajib LHKPN. Sebab, kata dia, pelanggaran wajib LHKPN ada berbagai jenis. "Jadi sanksi untuk tidak lapor sanksinya apa, untuk melapor tidak benar sanksinya apa, untuk melapor benar tapi asalnya tidak benar itu sanksinya apa," ujar dia. (kip/riz/k16)