JAKARTA-Irjen Pol Teddy Minahasa hanya terdiam saat jaksa membacakan tuntutan hukuman mati untuknya. Sesekali dia membenarkan kerah baju yang sebenarnya sudah rapi. Ya, Teddy menjadi orang kedua di jajaran petinggi Polri yang dituntut hukuman mati. Orang pertama adalah Ferdy Sambo yang terlibat kasus pembunuhan Brigadir Yosua.
Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan terhadap Teddy dimulai sekitar pukul 09.00. Teddy mengenakan batik yang didominasi warna pink. Dia masuk ke ruang sidang dan langsung duduk di kursi terdakwa. Setelah dipersilakan hakim, jaksa penuntut umum (JPU) membacakan tuntutannya. JPU mengatakan, Teddy Minahasa Putra bin Haji Abu Bakar terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana. ”Jaksa meyakini tidak ada hal pembenar dan pemaaf atas perbuatan terdakwa melanggar Pasal 114 Ayat 2 UU Nomor 35/2009 tentang Narkotika Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP,” papar JPU.
Jaksa menyebut, terdapat delapan poin yang memberatkan hukuman untuk Teddy. Antara lain, perbuatan terdakwa sebagai kapolda Sumbar telah mengkhianati perintah presiden dalam penegakan hukum pemberantasan peredaran gelap narkotika. Selanjutnya, perbuatan Teddy yang saat itu menjabat kapolda Sumbar tidak mencerminkan perilaku penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas narkotika. ”Malah melibatkan diri dan anak buah, menggunakan jabatan, untuk mengedarkan narkotika. Sangat kontradiksi dengan jabatannya sebagai kapolda,” paparnya.
Jaksa juga menyebut, Teddy telah menikmati keuntungan dari hasil penjualan barang bukti berupa sabu-sabu. Hal memberatkan lainnya, JPU menilai bahwa Teddy berbelit-belit selama memberikan keterangan dalam persidangan. Dia juga selalu menyangkal dan tidak mengakui perbuatannya. ”Perbuatan terdakwa telah merusak kepercayaan publik,” ujarnya. Ulah Teddy juga membuat nama baik Polri rusak. Yang terakhir, perbuatan terdakwa menunjukkan tidak mendukung program pemerintah untuk memberantas peredaran gelap narkotika. ”Untuk hal meringankan, tidak ada,” tegas JPU.
Setelah pembacaan tuntutan, Ketua Majelis Hakim Jon Sarman Saragih bertanya kepada kuasa hukum Teddy apakah akan mengajukan pledoi atau pembelaan. Hotman Paris, salah seorang tim kuasa hukum Teddy, mengatakan bahwa pihaknya mengajukan waktu dua minggu untuk menyusun pledoi. ”Agar waktu yang diperoleh sama dengan waktu JPU menyusun tuntutan,” jelasnya. Hotman mengklaim bahwa hakim telah menjanjikan akan memberikan waktu yang sama saat persidangan dua pekan yang lalu. ”Majelis hakim kan sudah berjanji untuk memberikan waktu dua pekan juga,” ujarnya.
Namun, Hakim Jon tidak mengabulkan permintaan tersebut. Dia hanya menawarkan waktu sebelas hari. ”Jadwalnya pembelaan 10 April, seminggu nanti 17 April itu replik. Tanggal 27 April duplik. Duplik itu diberikan waktu 10 hari lagi. Putusan direncanakan 4 Mei. Bisa diterima?” tanyanya. Hotman lantas menjawab bahwa terdapat tanggal merah atau hari libur pada 7 April. Karena itu, dia berharap majelis hakim mempersingkat waktu duplik. “Agar waktu penyusunan nota pembelaan dapat diperpanjang,” ujarnya. Hakim Jon lantas mengabulkan permintaan tersebut. JPU juga menyetujui keputusan tersebut.
Di luar persidangan, Hotman mengatakan bahwa pihaknya telah menerka tuntutan berat untuk kliennya tersebut setelah tuntutan 20 tahun penjara terhadap AKBP Dody Prawiranegara. ”Tapi, tetap tensi darah naik saat JPU membacakan tuntutan hukuman mati untuk Teddy,” paparnya. Dia mengatakan, naiknya tensi itu wajar karena dia masih memikirkan kliennya. Walau begitu, pihaknya mengaku telah menyusun strategi pledoi atau pembelaan untuk Teddy. ”Strateginya tetap menyoroti surat dakwaan yang seharusnya batal demi hukum. Kelemahan dalam hukum acara,” jelasnya.
Tim kuasa hukum Teddy akan berfokus ke arah pelanggaran hukum acara yang serius. Yang menurut Undang-Undang Hukum Acara tidak boleh dilanggar. ”Pesan WhatsApp yang ditujukan ke Teddy bukan alat bukti yang sah,” terangnya. Seharusnya, pesan WhatsApp itu ditunjukkan ke persidangan dengan memuat konteks secara menyeluruh. Namun, justru yang menjadi alat bukti hanya penggalan-penggalan chatting. ”Dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang ITE disebutkan harus utuh. Tidak boleh barang bukti itu dipenggal-penggal,” paparnya.
Menurut Hotman, strategi yang dilakukannya itu untuk jangka panjang. Sebab, masih ada proses banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK). Dalam persidangan tingkat pertama ini, menurut Hotman, hakim akan kurang kuat untuk menerima tekanan-tekanan publik. ”Dalam semua perkara, tekanan publik dan opini publik memengaruhi. Di tingkat pengadilan negeri itu sering terjadi,” urainya. Karena itu, lanjut dia, banyak kasus yang putusannya berubah di tingkat banding, kasasi, dan PK.
Dia mengatakan, seharusnya pelanggaran hukum acara itu mengakibatkan dakwaan batal. Semua pendapat ahli hukum, bahkan ahli hukum dari JPU menyebut batal demi hukum. ”Maka, tinggal hakim apakah akan condong ke hukum acara atau hukum substansi. Kalau hukum acara tidak boleh ditafsirkan, tapi hukum substansi boleh ditafsirkan. Hukum acara itu filternya keadilan,” tegasnya.
Bahkan, dia yakin untuk di tingkat selanjutnya, strategi tersebut akan membuat Teddy bebas. ”Karena secara hukum acara, harusnya batal demi hukum,” terangnya. Sementara itu, pengamat kepolisian Bambang Rukminto menuturkan, tuntutan hukuman mati terhadap Teddy memiliki semangat yang sama dengan hukuman mati pada Sambo. Harapannya menimbulkan efek jera. Tapi, sebagian orang berpikir bahwa kasus Teddy terungkap karena faktor apes saja. ”Pelanggaran semacam ini akan terus terjadi karena peluangnya terus ada, sekaligus belum ada perbaikan substansial yang menyentuh sistem,” ujarnya.
Dia mengatakan, setelah kasus Sambo dan Teddy, dirasakan belum ada perbaikan tata kelola dan sistem kontrol dan pengawasan yang baik di internal kepolisian. ”Siapa mengawasi siapa itu penting. Kalau masih polisi yang mengawasi, kalau tertangkap muncul konsep apes. Serta adu pintar antara yang mengawasi dan diawasi, yang sering terjadi juga kongkalikong, kerja sama untuk menutupi pelanggaran,” paparnya. (idr/oni/jpg/riz/k16)