Banjir yang melanda beberapa desa dan kelurahan di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kabupaten Penajam Paser Utara, dinilai tidak hanya karena tingginya curah hujan, tapi juga kerusakan lingkungan yang cukup masif.
BALIKPAPAN–Pekan lalu, tepatnya pada 17 Maret, banjir merendam beberapa titik di kawasan IKN. Meliputi Kelurahan Pemaluan dan Desa Bukit Raya yang masuk Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Juga, di Kelurahan Sepaku dan Desa Binuang yang masuk wilayah Kawasan IKN atau KIKN. Menurut Forest Watch Indonesia (FWI), di keseluruhan kawasan IKN terdapat 83 perusahaan tambang, 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan 4 perusahaan kehutanan.
“Praktik industri ekstraktif ini telah banyak mengubah lanskap hutan dan lahan yang sekarang ditunjuk sebagai kawasan IKN,” kata Agung Ady Setiyawan, juru kampanye FWI dalam keterangan tertulisnya, kemarin (21/3). Dia melanjutkan, setidaknya dalam kurun 2018–2021 telah terjadi kehilangan hutan alam seluas 18 ribu hektare di kawasan IKN. Angka itu dinilainya setara 1,6 kali luas Kota Bogor, Jawa Barat. Adapun saat ini, sambung dia, ditambah adanya pembangunan infrastruktur IKN seperti Bendungan Sepaku Semoi, Intake Sepaku, dan gedung perkantoran, serta aktivitas pembukaan lahan lainnya, tutupan terus mengalami degradasi.
Dia menyampaikan, luas pembukaan lahan dalam enam bulan terakhir mencapai 14 ribu hektare. Tingginya perubahan tutupan hutan dan lahan memengaruhi banyaknya air yang seharusnya disimpan menjadi air tanah, kemudian dibuang menjadi air limpasan (run off). “Banjir yang terjadi di Kecamatan Sepaku (PPU), letaknya berada di DAS Riko Manggar,” katanya. Untuk luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Riko Manggar mencapai 220,8 ribu hektare. Meliputi Kecamatan Balikpapan Barat, Balikpapan Tengah, Balikpapan Utara, yang ada di Balikpapan. Lalu Kecamatan Loa Janan, Loa Kulu, Long Kali, dan Samboja di Kutai Kartanegara (Kukar).
Juga Kecamatan Penajam dan Sepaku. Wilayah KIPP yang terdiri dari Kelurahan Pemaluan, Desa Bumi Harapan, dan Desa Bukit Raya juga berada di dalam kawasan DAS Riko Manggar. “Banjir di Sepaku sangat berkaitan erat juga dengan bagaimana pola penguasaan hutan dan lahan di DAS Riko Manggar. Sebanyak 33 (2 HPH, 3 HTI, 12 kebun sawit, dan 16 tambang) konsesi perusahaan dengan total luas 110,3 ribu hektare telah mengubah lanskap hutan dan lahan di DAS Riko Manggar,” jelasnya.
Mengenai wilayah hulu DAS Riko Manggar yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, letaknya di Kecamatan Sepaku, termasuk KIPP IKN. Menurut dia, wilayah hulu DAS tersebut bahkan telah dikuasai perusahaan perkebunan kelapa sawit seluas 48 ribu hektare atau setara 44 persen DAS Riko Manggar. “Penanggulangan dan penanganan banjir yang keliru jika menggunakan pendekatan administratif bukan DAS,” kritik Agung.
Dia menambahkan, pembangunan IKN yang secara masif dilakukan pada 2022 hingga 2023, telah berdampak terhadap perubahan lanskap hutan dan lingkungan di dalam kawasan IKN. Dari hasil analisis FWI, terdapat inkonsistensi pemanfaatan ruang dari aktivitas pembangunan yang sedang berlangsung saat ini, hingga Mei 2022, telah terjadi pembukaan hutan dan lahan di Kawasan IKN seluas 13 ribu hektare.
Kemudian dari Mei sampai Desember 2022, terjadi bukaan hutan dan lahan di dalam alokasi ruang kawasan perlindungan setempat dan rimba kota. “Padahal secara fungsi, pola ruang dibuat untuk konservasi air dan tanah. Bukan menjadi pendorong terjadinya kerusakan lingkungan bahkan bencana di IKN,” kata Aziz Fardhani Jaya, juru kampanye FWI lainnya. Pada bagian lain, Fathur Roziqin Fen selaku pejabat sementara (Pjs) direktur eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim menuturkan, petani, nelayan, masyarakat adat, dan perempuan juga tidak memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan kelayakan pemindahan dan pembangunan IKN.
Dia memberikan contoh dari proses penyusunan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara atau IKN. Kelompok tersebut menurutnya sangat lemah dari proses partisipasi publik yang bermakna. Hal tersebut menurutnya dampak nyata dari ketimpangan penguasaan hutan dan lahan. “Dengan demikian, pemerintah justru menjadi pihak yang menghambat penyelesaian konflik tenurial. Hingga dampak buruk dari kerusakan lingkungan seperti banjir yang baru-baru ini terjadi,” ucapnya.
Sebelumnya, Sekretaris Otorita IKN Achmad Jaka Santos Adiwijaya mengungkapkan, pihaknya telah mengidentifikasi penyebab banjir di wilayah Nusantara pada 17 Maret lalu. Penyebabnya adalah hujan yang terjadi di bagian hulu dan adanya gorong-gorong yang tidak optimal. Sehingga meningkatnya aliran permukaan, lalu ada faktor erosi, kemudian sedimentasi dan pendangkalan sungai. Jaka Santos menjelaskan, sebelumnya Otorita IKN juga telah mengidentifikasi adanya potensi banjir di beberapa area di Kelurahan Sepaku, karena lokasi banjir di wilayah tersebut adalah daerah dataran rendah yang sudah sering terjadi banjir sebelumnya.
Karena itu, Otorita IKN bersama pemangku kepentingan lainnya sedang membangun infrastruktur untuk mengatasi banjir di kawasan sekitar IKN, khususnya Kelurahan Sepaku. “OIKN (Otorita IKN) telah melakukan berbagai upaya untuk memitigasi banjir, di antaranya dengan membangun bendung, embung, dan retensi kolam-kolam yang dilakukan oleh Kementerian PUPR yang saat ini masih berjalan. Selain itu, dilakukan pembangunan infrastruktur pengendali banjir di daerah aliran sungai dan penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu di IKN dan rehabilitasi hutan dan lahan oleh BPDAS Mahakam Berau,” kata Jaka Santos.
Dia melanjutkan, dari pertemuan dengan para pihak yang digelar Senin (20/3) lalu, telah disiapkan rencana penanganan jangka pendek tiga bulan ke depan, menengah sedang, akhir tahun, dan jangka panjang dalam pencegahan dan penanggulangan banjir. “OIKN akan terus berkomitmen dalam memerhatikan risiko dan penanggulangan bencana termasuk banjir di wilayah-wilayah yang terkena, termasuk di Kelurahan Sepaku. Semua upaya akan terus dilakukan untuk meminimalisir dampak bencana yang terjadi dan menjaga keselamatan masyarakat,” tutup Jaka Santos. (kip/riz/k8)