SAMARINDA–Prahara dugaan pelecehan seksual menggelayuti institusi pendidikan di Kaltim. Polemik itu mencuat ketika Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, dimintai keterangan di Polsek Samarinda Ulu, Samarinda, pada 20 Maret lalu.
Namun permintaan keterangan itu justru bukan terkait kasus pelecehan tersebut. Melainkan kasus dugaan fitnah dan pencemaran nama baik. Kasus yang dilaporkan oknum dosen yang diduga melakukan pelecehan itu. “Satgas sama sekali tak tahu alasan laporan itu,” ungkap Ketua Satgas PPKS Unmul Haris Retno Susmiyati selepas dimintai keterangan kepolisian, Senin (20/3). Dia tak menepis jika Satgas PPKS memang tengah menangani dugaan pelecehan seksual yang dilakukan pelapor kasus fitnah dan pencemaran nama baik ini yang berinisial ZA.
Tugas itu merupakan perintah langsung rektor Unmul dalam surat bernomor 9094/UN17/KP/2022. Selama satgas bekerja, lanjut dia, informasi soal dugaan pelecehan itu tak pernah dibeber ke publik. Alasannya, tugas pokok dan fungsi satgas memang tak bisa asal membeber dugaan yang ditangani. Karena itu, menurut Retno, tuduhan pencemaran nama baik atau fitnah yang dilayangkan pelapor jelas tak benar adanya.
Seorang sumber di lingkungan Unmul menyebutkan, dalam kasus ini, korban dugaan pelecehan lebih dari satu orang. Serta dugaan pelecehan itu terjadi ketika ZA memberikan bimbingan di Kutai Timur. ZA, lanjut sumber ini, berasal dari Fakultas Pertanian Unmul. Surat tugas rektor untuk menangani dugaan pelecehan itu pun baru terbit medio November-Desember 2022. “Akhir tahun antara November-Desember, mereka (Satgas PPKS) dapat tugas itu,” jelasnya. Soal sejauh mana penanganan satgas soal dugaan pelecehan itu, sumber ini enggan membeber.
“Kasus itu masih di satgas. Belum dilaporkan ke kepolisian, masih ditangani. Tiba-tiba si terduga pelaku malah melaporkan pencemaran nama baik. Jelasnya (penanganan dugaan pelecehan) konfirmasi ke satgas atau rektorat saja,” singkatnya. Kembali ke Haris Retno. Dia memahami proses hukum yang ditempuh kepolisian dalam menangani laporan yang dilayangkan ZA itu. Namun, menurut dosen Fakultas Hukum Unmul ini, merujuk UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, khususnya Pasal 28 beleid itu, pendamping berhak mendapat perlindungan hukum selama mendampingi korban dan saksi di semua tingkat pemeriksaan.
Korban dalam kasus seperti ini, kata dia, berhak mendapat perlindungan dari tuntutan pidana atau perdata jika muncul upaya hukum dari pihak lain. “Semoga polisi objektif menjalankan tugasnya,” katanya. Ditambah, keberadaan satgas merupakan perintah pusat lewat Peraturan Menteri Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. “Pada dasarnya, kami tak pernah melakukan apa yang dituduhkan pelapor. “Kami tidak pernah membocorkan atau menerbitkan laporan dugaan itu secara terbuka,” tutupnya. (ryu/riz)