Oleh :
Muhammad Solihin, SPd
Guru MTs Istiqamah Long Ikis-Kabupaten Paser
Hampir satu bulan ini, Ibu Kota Nusantara diguyur hujan setiap harinya. Bagi sebagian orang, musim hujan sering kali dianggap "berkah" dan juga "musibah". Seperti para petani, hujan merupakan sesuatu yang ditunggu kehadirannya. Hujan merupakan berkah dari Tuhan, lantaran padi mereka membutuhkan asupan air.
Tapi tidak bagi penjual es keliling, musim hujan dirasa akan menurunkan omzet penjualan. Begitu halnya orang yang mempunyai hajatan sunatan, pernikahan atau kegiatan keagamaan di ruang terbuka, hujan bisa dikatakan sebagai "musibah"-- merusak rencana yang sudah disiapkan.
Aku sowan dan berbincang banyak bersama Mbah Seger di rumahnya. Lelaki paruh baya (55 tahun) berperawakan cungkring, berambut gondrong dan berjanggut putih. Ternyata musim penghujan menjadi berkah untuknya. Mengapa? karena ia kerap dipanggil orang yang punya hajatan untuk menggunakan jasanya. Bahkan, tidak jarang perusahaan besar tidak ragu-ragu mengontrak dirinya sebagai "pawang hujan". Mbah Seger berprofesi sebagai pawang hujan profesional.
Apa sih "pawang hujan" itu?
Pawang hujan adalah orang yang memiliki kemampuan mengendalikan hujan dengan cara memindahkan atau menggeser hujan ke daerah/tempat lain. Sejatinya, pawang hujan tidak menolak ataupun menghentikan hujan. Mereka hanya memindahkan awan gelap (mendung) dari satu tempat ke tempat lainnya.
Di Indonesia, kemampuan seorang pawang hujan digunakan pada saat penyelenggaraan hajatan besar seperti: sunatan, pernikahan, acara desa dan keagamaan yang menggunakan ruang terbuka. Banyak dari masyarakat Indonesia yang meyakini kesaktian pawang hujan.
Pengakuan Mbah Seger, tarif sebagai seorang pawang hujan cukuplah lumayan. Sekitar Rp 500 ribu hingga Rp 1,5 juta dalam sekali ritual. Sudah barang tentu, harga tersebut bukanlah harga tarif kontrak dengan perusahaan.
Di belahan dunia, ternyata profesi pawang hujan juga ada. Seperti halnya di Afrika Selatan. Pawang hujan dikenal dengan istilah "moroka". Tugasnya pun sama, yakni mampu mengendalikan hujan. Cara ritualnya, memberikan persembahan dan uang sebagai mahar. Nantinya, seorang "moroka" akan memukulkan barang-barang agar menghasilkan bunyi-bunyian khusus, guna menghalau hujan.
Di negara Matahari Terbit, pawang hujan menggunakan boneka berwarna putih (teru-teru bozu) sebagai media dalam memindahkan hujan.
Lain halnya di negara Gajah Putih, Thailand. Pawang hujan haruslah seorang gadis perawan yang masih suci bersih. Ia akan melakukan ritual khusus dan menancapkan "serai" ke tanah dengan cara membalik posisi "serai" tersebut.
Mengapa masyarakat masih banyak percaya "pawang hujan"?
Keberadaan pawang hujan sudah ada sejak zaman dahulu. Tradisi tersebut merupakan warisan turun-temurun kepercayaan para leluhur. Di Indonesia, istilah pawang hujan berbeda-beda. Masyarakat Jakarta mengenal dengan istilah dukun pankeng, di Bali dikenal dengan nerang hujan, di Sumatra dikenal dengan istilah bomoh.
Menurut kepercayaan, seorang pawang hujan akan bekerja sama dengan penguasa air dan angin melalui ritual khusus. Pawang hujan akan menggunakan doa-doa dan rapalan mantra sebagai sumber kekuatan.
Untuk mempertajam kekuatannya, mereka juga menjalankan laku prihatin, seperti puasa mutih, puasa pati geni, puasa nglawong, puasa ngableng serta memanfaatkan penggunaan makhluk gaib untuk bekerja sama menghalau hujan.
Di Indonesia, biasanya pawang hujan dalam menjalankan ritualnya memerlukan media yang disebut sesajen. Ada yang menggunakan ayam panggang, pisang raja, kopi pahit, membakar kemenyan, memasang bawang merah dan cabai yang ditusuk lidi, lalu ditancapkan ke tanah dan masih banyak corak sesajen lainnya. Tentu lain daerah, biasanya lain pula cara dan metode tradisi ritualnya.
Apakah benar hujan bisa dipindahkan?
Sejatinya, hujan merupakan proses yang terjadi akibat perbedaan panas di lapisan udara dan permukaan tanah. Semakin tinggi naik ke atmosfer maka udara panas tadi menjadi dingin, akhirnya uap air yang mengembun mulai membentuk menjadi awan kumulonimbus lalu turun menjadi hujan.
Menurut Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Balai Besar Wilayah III Denpasar, Wayan Suardana. Secara sains, untuk memindahkan awan tebal yang disebut mendung itu memerlukan kekuatan angin yang sangat kuat, sekitar 30 sampai 40 knot. Awan akan bergerak karena adanya dorongan angin. Angin sendiri tercipta akibat adanya perbedaan suhu udara. Angin akan mengalir dari suhu rendah ke daerah bersuhu tinggi.
Logikanya, seorang pawang hujan sah-sah saja mengklaim dirinya dapat memindahkan hujan, jika mereka benar-benar mempunyai kekuatan luar biasa yang mampu memindahkan awan gelap (mendung) ke daerah lain.
Di Inggris, pawang hujan bukanlah perseorangan dengan kesaktian khusus. Akan tetapi, sebuah perusahaan besar dengan bermodal pesawat terbang dan peralatan lainnya. Seminggu sebelum acara diselenggarakan, pesawat akan menyebar partikel "iodida" dan nantinya hujan akan turun lebih cepat sebelum hari pelaksanaan acara dimulai.
Di era digital, apakah jasa pawang hujan tradisional masih diperlukan?
Padahal, untuk mengetahui kondisi cuaca keseharian, kita cukup mengambil gadget dari kantong saku dan membuka aplikasi prakiraan cuaca yang terkoneksi dengan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG). Kita sudah dapat informasi prakiraan cuaca untuk hari ini ataupun seminggu sebelum acara diselenggarakan. Tapi memang benar, prakiraan cuaca tidak bisa dipercaya kebenaran seutuhnya. Namanya saja prakiraan!
Apakah keberadaan pawang hujan masih bisa kita percaya?
Apakah masih berpikir irasionalkah masyarakat Indonesia dengan tetap memercayai kekuatan dan kesaktian pawang hujan di era modern yang serbadigital ini. Tidakkah kita membuang waktu dan biaya dalam menjalankan ritual yang belum tentu pasti keberhasilannya. Jika pun benar tercapai, bisa jadi semua itu hanya sebuah kebetulan saja.
Mbah Seger berucap, seolah ia tahu apa yang aku pikirkan. "Tole, apa yang kamu pikirkan, benar!. Manusia tidak mampu memindahkan awan dengan tenaga dalam sekalipun. Karena sejatinya, kekuatan terbesar itu adalah milik Tuhan. Tuhanlah yang maha mengatur kehidupan ini. Awan hitam dapat berpindah dari tempat lain ke tempat lainnya karena semua campur tangan Tuhan. Manusia tidak punya otoritas untuk itu. Tugas manusia hanya memohon dan berdoa, dan Tuhan lah yang menentukan doa mereka." Ucapan Mbah Seger menyadarkan diriku, bahwa selama ini aku keliru dalam berpikir. Aku lebih mengedepankan logika berpikir hingga mengabaikan keyakinan bahwa keberadaan Tuhan itu adalah segala-galanya dalam kehidupan ini. (***/rdh/k15)