Dwi Restu
Jurnalis Kaltim Post
BELAKANGAN ramai kasus penganiayaan yang membawa embel-embel orangtua. Bak berlindung di balik “power” orangtua. Berlagak laiknya orang yang tak bisa tersentuh dengan hukum. Anda pasti belum lupa dengan Mario Dandy, anak pejabat di Ditjen Pajak yang tersangkut kasus penganiayaan. Jika yang ramai dan viral ada kasus Dandy, di Kota Tepian juga ada peristiwa mirip-mirip dengan itu.
Ferry Wardana. Seorang oknum tenaga honorer di lingkungan Pemkot Samarinda yang bertugas di DPRD Samarinda. Dia diketahui anak seorang anggota Polri. Dilaporkan ke polisi karena tindakan penganiayaan. Yang justru tak jelas apa musababnya sampai melakukan penganiayaan. Bahkan, dari penuturan korbannya, Ferry sempat berucap dengan nada menekan. Silakan lapor, saya anak polisi.
Meski dalam hak jawabnya Ferry membantah jika dirinya tak sepatah kata pun mengucapkan dia anak seorang polisi. Namun, perbuatannya tetap salah. Dia yang bekerja sebagai honorer pemerintahan seharusnya juga bisa memberikan contoh. Terlebih, dari hasil “kasak-kusuk” lewat jejaring dunia maya, dia adalah honorer protokoler di DPRD Samarinda.
Meski mengakui dirinya khilaf, hal itu tidak dibenarkan. Jika pengakuan korban ada mendengar kata saya anak polisi, hal itu justru bisa mencederai institusi korps baju cokelat. Belum lagi tempatnya bekerja. Keluarga. Bahkan lingkungan tempat tinggalnya. Dampaknya bisa sangat meluas. Dalam kasus penganiayaan yang dilakukan si oknum honorer tersebut, luka-luka yang dialami korban cukup parah. Meski korbannya masih bisa beraktivitas, trauma yang dialami pasti ada. Yang sedikit mengherankan, status Ferry hanya saksi. Bahkan laporan yang dilayangkan ke polisi belum jelas penerapan pasalnya. Masih menunggu bukti visum et repertum (VER).
Catatan ini sengaja dibuat bukan untuk menyudutkan subjek tertentu. Saya pikir harus bisa jadi masukan bersama secara keseluruhan. Bahwa arogansi membawa embel-embel anak pejabat juga tak seutuhnya bisa “selamat”. Ingat, orang yang memiliki pangkat dan jabatan saja tidak bisa lepas dari hukum. Dalam artian, semua sama di mata hukum. Bagi saya, ini jadi poin bagi pemerintah dalam penggunaan tenaga honorer.
Jangan sampai nanti justru muncul hashtag-hashtag yang tak jelas. Itu lah pentingnya menyelesaikan masalah tanpa harus gunakan kekerasan.