KALAU mau cepat ditangani, viralkan dulu kasusnya di media sosial. Sebab, no viral no justice. Ungkapan satir itu mendadak ngetren lagi saat Kementerian Keuangan diramaikan isu gaya hidup mewah sebagian pegawainya.
Fenomena itu pula yang membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani harus berkali-kali menggelar konferensi pers ketika satu per satu gaya hidup mewah pegawainya jadi sorotan di media sosial.
Andai pemerintah maksimal menerapkan aturan pemberian reward bagi masyarakat yang melaporkan atau mengungkap dugaan tindak pidana korupsi (tipikor), fenomena no viral no justice kecil kemungkinan mencuat. Sebab, aturan reward itu memungkinkan masyarakat yang menjadi pelapor mendapatkan premi paling banyak Rp 200 juta.
Aturan itu disebutkan dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 43/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor. Besaran premi yang diatur adalah 2% (dua permil) dari jumlah kerugian yang dapat dikembalikan kepada negara. Pasal tersebut juga menyebutkan premi maksimal adalah Rp 200 juta.
PP itu turunan dari UU 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20/2001. Aturan pemberian reward itu sejatinya sudah berlaku ketika pemerintah mengeluarkan PP 71/2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tipikor pada 2000 silam. PP 71/2000 itu kemudian diubah lagi dengan PP 43/2018.
Penelusuran Jawa Pos, sampai saat ini baru satu pelapor kasus korupsi yang pernah mendapatkan premi tersebut. Penghargaan itu diberikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016 lalu. Setelah itu, belum ada lagi catatan terkait berapa jumlah penerima premi. “Syaratnya rumit,” kata Ketua IM57+ Institute Praswad Nugraha kepada Jawa Pos, kemarin (12/3).
Rumitnya syarat untuk bisa mendapatkan dana apresiasi itu juga ditegaskan Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri pada 2020. Ali menyebut, ada sejumlah kendala yang membuat implementasi PP tersebut tidak optimal. Salah satunya adalah minimnya data yang dimiliki pelapor. Selain itu, kebanyakan kasus korupsi, khususnya yang ditangani KPK, tidak hanya bersumber dari satu pelapor.
Kondisi itu menyulitkan lembaga penegak hukum untuk menentukan siapa pelapor yang memenuhi syarat mendapatkan reward dari negara. “Diperlukan validasi data akurat untuk memutuskan seseorang dapat ditetapkan sebagai pelapor yang memenuhi syarat untuk mendapatkan penghargaan tersebut,” ujar Ali.
Menyambung Ali, Praswad mengakui bahwa ketentuan reward itu memang tidak masuk akal. Sebab, premi maksimal Rp 200 juta itu baru bisa diberikan jika kerugian negara dari kasus yang dilaporkan mencapai Rp 100 miliar. “Karena ada ketentuan 2% kerugian yang dapat dikembalikan ke negara. Itu artinya kasusnya (yang dilaporkan) harus proyek kakap,” terangnya.
Pengalaman Praswad selama menjadi penyidik, kasus dengan kerugian negara besar itu nyaris tidak ada yang bersumber dari laporan masyarakat. Aduan di KPK kebanyakan adalah kasus suap yang kemudian ditindaklanjuti dengan operasi tangkap tangan (OTT). “Tipikal kasus korupsi yang merugikan negara itu biasanya juga butuh waktu lama (menanganinya), bisa lima tahun,” ungkapnya.
Masyarakat sejatinya juga bisa mendapatkan reward ketika melaporkan kasus suap. Premi yang diberikan juga sebesar 2% (dua permil), dihitung dari nilai uang suap atau uang dari hasil barang rampasan (Pasal 17 ayat 3). Maksimal premi yang diberikan adalah Rp 10 juta (Pasal 17 ayat 4). “Tapi, dengan risiko yang tinggi bagi pelapor, premi itu terbilang sangat kecil,” tutur eks penyidik KPK itu.
Prasyarat dan reward yang tidak sebanding itu, kata Praswad, memang harus diubah. Aduan terkait kerugian negara, misalnya, harus dipertegas siapa pelapor yang berhak mendapatkan reward. Penegasan itu untuk memudahkan penegak hukum memberikan penilaian kepada pelapor. Besaran premi juga harus diubah.
“Misalnya, pelapor dengan kerugian Rp 1 miliar, paling minim dapat Rp 20 juta. Pasti banyak masyarakat di daerah yang melapor karena proyek di daerah itu kebanyakan nilainya Rp 4-5 miliar, jarang yang mencapai Rp 100 miliar,” ujarnya.
Begitu pula dengan premi suap, Praswad menyarankan agar hadiah yang diberikan lebih besar. “Pelapor kasus suap mestinya mendapat reward paling sedikit Rp 10 juta, bukan paling banyak Rp 10 juta,” ujarnya.
Praswad meyakini, munculnya fenomena no viral no justice itu merupakan kegagalan negara dalam mengelola manajemen laporan masyarakat. Hal itu diperparah dengan kanal pelaporan yang kurang optimal. “Jangankan masyarakat biasa, laporan dari penegak hukum juga kadang-kadang tidak ditindaklanjuti sebelum viral,” tutur pria yang akrab disapa Abung tersebut.
Pegiat hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar menambahkan, penegakan hukum yang masih tebang pilih dan kurang terbuka membuat kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum mengalami krisis. Itu mendorong terjadinya mobilisasi rakyat di ruang digital untuk menghakimi seseorang yang diduga melakukan pelanggaran.
“Meski kasus yang viral itu juga belum tentu ditindaklanjuti oleh penegak hukum, tapi saya melihat masyarakat puas dengan itu (penghakiman di media sosial),” kata mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tersebut.
Lembaga penegak hukum dan instansi terkait mestinya melakukan evaluasi menyeluruh terkait fenomena no viral no justice tersebut. Haris menyebut, perbaikan tidak cukup dilakukan dengan konferensi pers, tapi juga memperbaiki sistem pelaporan dan reward bagi pelapor. “Perlindungan untuk pelapor juga harus diperhatikan,” terangnya.
Pada bagian lain, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menuturkan, penanganan kasus korupsi yang tidak diketahui perkara pokoknya sebenarnya mudah. Bisa ditangani kejaksaan, KPK, atau Polri. “Kalau saya yang paling pas di Polri,” terangnya. Sebab, pernah ada kasus TPPU yang diputus tanpa perkara pokoknya. Kasus itu terjadi di Tegal, Jawa Tengah. “Saya pernah tangani kasus TPPU itu,” jelasnya.
Menurut dia, KPK bisa menangani kasus Rafael Alun Trisambodo, eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dengan Pasal 11 UU Tipikor soal gratifikasi. “Tidak semata-mata Pasal 5 tentang suap,” paparnya, kemarin. Apalagi, Rafael patut diduga telah “memperdagangkan” pengaruhnya sebagai pegawai pajak. Dalam dunia hukum, hal itu dikenal dengan istilah omisi atau melakukan yang tidak boleh atau tidak melakukan tindakan yang seharusnya.
Menurutnya, Kemenkeu sebenarnya perlu mengondisikan dengan menerapkan UU 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan Perpajakan. Sebelum mengurus wajib pajak, UU tersebut diterapkan dulu ke seluruh pegawai pajak. “Buka semua dokumen keuangannya,” jelasnya. Kalau ada yang mencurigakan, diklarifikasi dan dihentikan dulu untuk bisa melayani pajak. “Kalau sudah pasti pelanggaran hukum, ya dipidana,” paparnya.
Terkait insentif pajak, sebagai pihak yang sering melaporkan kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Boyamin mengaku tidak pernah mengurus insentif tersebut. “Biar menyumbang ke negara saja,” terangnya. Namun, dia mengetahui bahwa insentif pajak itu malah dikurangi oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Sebelumnya, hitungan insentif itu 2 permil dalam setiap kasus. Namun, kemudian diberikan batasan Rp 200 juta. “Untuk kasus yang insentifnya di bawah Rp 200 juta pakai dua permil. Kalau insentifnya di atas Rp 200 juta, ya maksimal Rp 200 juta itu,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Biro Humas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Natsir Kongah mengaku belum bisa berkomentar terkait kesulitan penanganan kasus korupsi. “Untuk sementara belum ada yang bisa saya sampaikan,” paparnya, kemarin. (tyo/JPG/rom/k16)