Oleh: Muh Shadiqul Fajri AF, ME
(Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Samarinda)
Fenomena flexing (pamer) harta kembali menjadi buah bibir setelah munculnya beberapa kasus keluarga dari penyelenggara negara yang bergaya hidup mewah. Ini bukan kali pertama perilaku flexing yang berdampak ke ranah hukum.
PADA 2022, Indra Kenz yang merupakan seorang content creator yang juga sebagai afiliator investasi bodong sebuah platform harus dijebloskan ke penjara karena kasus penipuan. Indra Kenz kerap memamerkan kekayaan di media sosial yang disinyalir sebagai upaya untuk meyakinkan calon korban bahwa kekayaan yang diperolehnya berasal dari investasi di platform tersebut. Cara itu dinilai berhasil karena korban dari kasus tersebut sebanyak 144 orang dengan total kerugian korban mencapai Rp 83 miliar.
Perilaku flexing kemudian menjadi semakin marak dengan adanya media sosial, utamanya Instagram dan TikTok. Dengan jumlah pengikut setia yang mencapai angka ratusan ribu hingga jutaan, maka konten yang bernuansa flexing akan semakin mudah menjadi trending topic di berbagai kanal media sosial. Ditambah lagi dengan dukungan media cetak dan elektronik yang menjadikan hal tersebut ke dalam rubrik pemberitaan sehingga perilaku flexing menjadi lebih mudah viral.
Era disrupsi saat ini membawa perubahan yang sangat signifikan di dalam kehidupan masyarakat. Orientasi kehidupan mengarah kepada pencapaian eksistensi diri dengan menjadikan kekayaan sebagai alat ukurnya. Hasrat dalam menggapai kekayaan tidak lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga untuk mendapatkan status sosial. Hal tersebut tentu akan memaksa seseorang untuk menambah “kantong” penghasilannya, ditambah lagi dengan mudahnya mendapatkan pinjaman tanpa jaminan secara instan.
Pada era pencitraan saat ini, perilaku flexing kemewahan yang haus akan pengakuan sosial diprediksi akan berlangsung pada skala yang lebih luas, bahkan lebih vulgar. Hampir tidak ada momen kesenangan dalam kegiatan sosial yang tidak dipamerkan kepada orang lain. Selain ingin berbagi informasi, tujuan lainnya adalah untuk menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan sosial.
Praktik flexing atau pamer telah menjadi budaya di tengah masyarakat bagaikan virus sosial yang menyebar ke mana-mana. Virus flexing tersebut semakin kuat seiring dengan kuatnya pengaruh media sosial dan tergerusnya nilai-nilai spiritual. Akibatnya, kebahagiaan dan kenikmatan tidak lagi terlihat dari ekspresi rasa syukur dalam diri melainkan diposisikan sebagai kenikmatan yang bergantung pada pandangan orang lain terhadap dirinya.
Para psikolog di Indonesia menjelaskan, bahwa mayoritas orang yang gemar selfie, baik dalam mobil, pesawat, restoran, dan posting foto makanan adalah orang-orang yang membutuhkan pengakuan bahwa mereka adalah orang berada. Maka tidak mengherankan jika selfie telah menjadi budaya baru dan sebagai media sharing simbol strata sosial seseorang. Hal ini menjadikan perilaku konsumsi bukan hanya untuk menghabiskan nilai guna dari suatu barang melainkan untuk mengomunikasikan nilai sosial yang tersembunyi di dalamnya.
Rasionalitas perilaku konsumsi kini telah mengalami pergeseran. Mayoritas manusia yang hidup di era post-modern tidak lagi menghargai nilai guna dari sebuah komoditas, namun hanya kepada penciptaan kesan sosial dan fantasi terhadap sebuah gaya hidup mewah. Mereka tidak lagi membeli barang atas dasar kebutuhan atau kenikmatan, tetapi untuk mendapatkan strata sosial dari harga dan brand dari barang tersebut. Bahkan pola hidup tersebut telah merambat ke seluruh strata kelas sosial yang ada di dalam masyarakat. Sehingga, tidak mengherankan banyak orang yang bergaya konglomerat meskipun mereka bukan dari golongan konglomerat. Bahkan, tidak sedikit yang membeli barang branded dari modal pinjaman.
Orang-orang yang suka pamer itu mungkin lupa bahwa orang kaya yang sungguhan tidak ingin menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian. Ada pepatah yang menyebutkan “poverty screams, but wealth whispers” artinya kemiskinan itu biasanya menjerit, namun kekayaan hanya akan berbisik. Orang kaya yang sesungguhnya tidak akan pamer karena semakin kaya seseorang maka semakin membutuhkan privasi dalam kehidupannya.
Itulah sebabnya, orang yang benar-benar kaya akan tampil lebih sederhana. Mari membaca kembali profil kehidupan orang-orang terkaya dunia saat ini, seperti Warren Buffett, Bill Gates, Jack Ma, Mark Zuckerberg, dan lainnya. Mayoritas dari mereka hidup dalam kesederhanaan bahkan dikenal sebagai orang yang dermawan. Kualitas hidup tidak ditentukan oleh banyaknya harta yang dimiliki dan kesederhanaan tidak akan menjatuhkan kualitas hidup seseorang. (far/k15)