Tak ada garansi, jika hidup di provinsi kaya batu bara, rumah bakal terang benderang dengan suplai listrik maksimum. Pada 2021, dari total 610 juta ton produksi batu bara di Indonesia, ada 294 juta ton batu bara diproduksi di Kalimantan Timur (Kaltim). Energi yang bisa menerangi hingga luar negeri, ternyata belum mampu menerangi wilayahnya sendiri. Kaltim pun, masih punya ratusan desa dirundung gelap menahun. Meskipun, ada 26 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di daerahnya.
Nofiyatul Chalimah - Samarinda
Tiga jam sudah mesin perahu menderu. Perjalanan lancar, walau sekali waktu terombang-ambing ketika berpapasan dengan tongkang sarat batu bara. Berangkat dari sungai yang kecokelatan di tepi Kota Bangun, Kutai Kartanegara, perahu kini membelah danau yang warna airnya nyaris seperti kopi. Khas air di lahan gambut. Lalu, gerbang besar bak perisai menyambut, bertuliskan Selamat Datang di Muara Enggelam, dengan jejeran rumah-rumah kayu yang mengapung di atas danau yang disebut Danau Melintang.
Tak ada tanah. Tak ada jaringan listrik PLN. Entah berapa dekade desa di Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara ini mengandalkan genset yang mahal dan terbatas waktunya. Namun, hampir sewindu belakangan, warga mengucap syukur. Sebab lampu bisa menyala 24 jam. Walaupun, tak seleluasa menggunakan listrik seperti masyarakat yang ada di kota.
Ramsyah jadi saksi hidup bagaimana desa ini berjuang bisa terang. Lelaki kelahiran Muara Muntai 1974 itu, sejak usia 1 tahun hidup di Muara Enggelam. Sampai kelas 2 sekolah dasar, ia harus meninggalkan desanya demi pendidikan. Hingga pada 2001, pekerjaan sebagai perawat membawa kembali ke desa tempat masa kecilnya dihabiskan. Ditinggalkan bertahun-tahun, tak banyak perubahan di desa ini kala itu. Secercah harapan baru datang tiga belas tahun kemudian. Saat itu, ada dana mengucur dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Desa ini tak lagi bayar mahal untuk listrik terbatas. Sebab, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan dibangun.
“Waktu itu, 1 Februari 2015 sudah beroperasi. Kemudian dipersiapkan aturan desa dan BUMdes (badan usaha milik desa)-nya. Uji coba gratis satu bulan. Pada 1 Maret 2015 baru kita jalankan,” papar Ramsyah yang kini menjadi Wakil Direktur BUMdes Bersinar Desaku yang mengelola PLTS di Muara Enggelam.
Waktu itu, kapasitas pembangunan PLTS mencapai 30 kilo watt peak (KWp). Jumlah pelanggan ada 160, dari rumah tangga 152 dan delapan sisanya dari fasilitas umum. Rata-rata mereka dapat jatah 350 watt. Kemudian, peremajaan baterai dilakukan pada 2018 dan 2020-2021 ada penambahan kapasitas. Sekarang 41,2 KWp dengan pelanggan 168 rumah tangga.
“Saat ada penambahan kapasitas, ada juga yang tambah daya jadi 700 watt dan 600 watt tarifnya berbeda. Kalau dia 500 watt itu per hari Rp 5 ribu, kalau 700 watt Rp 6 ribu. Tetapi, rata-rata 350 watt Rp 3 ribu,” jelas Ramsyah.
Lebih murah, dibanding genset yang harus membayar sedikitnya Rp 10 ribu per hari untuk setrum 12 jam. Untuk perawatan, sebenarnya tak sulit. Hanya saja, peralatan terbilang mahal. Misalnya, biaya baterai itu saja hampir Rp 10 jutaan untuk satu baterai. Sebab, beratnya 80 kg dan biaya ekspedisi menuju Muara Enggelam mahal.
“Kami dengan pihak penyedia menyarankan kalau ada pelemahan baterai, disarankan pakai litium, sekarang kita pakai baterai gel yang dua volt,” sambungnya.
Masalah lain adalah pencurian listrik. Untuk ini, BUMdes punya aturan tegas. Jika mencuri listrik, bakal kena peringatan, teguran tertulis, jika masih membandel akan di-blacklist. Ada satu orang di Muara Enggelam sudah tak bisa akses listrik karena berulang kali mencuri. Selain itu, cuaca juga berperan penting. Jika dua hari mendung gelap, bisa tiba-tiba di malam kedua cadangan listrik di baterai habis. Sehingga, satu kampung mati lampu.
Kondisi sekarang, masyarakat diakui memang belum puas karena tak bisa menggunakan elektronik lebih leluasa. Dengan 350 watt, mereka hanya bisa menggunakan tiga bola lampu, televisi, dan pengisi daya gawai. Harus irit. Tidak bisa leluasa seperti menggunakan listrik PLN.
“Masyarakat mungkin belum puas. Tapi saat ini ya kita menikmati PLTS saja,” sahutnya.
Apalagi, masyarakat yang mayoritas hidup dari menangkap dan budidaya ikan. Dengan kondisi sekarang, mereka harus sigap mengantar ikan ke Muara Muntai, mengeluarkan kocek lebih untuk beli es dari Muara Muntai, atau mengolah jadi ikan asin.
Ramsyah mengatakan, ada lembaga yang beberapa kali datang menawarkan mau membangun solar cell di lokasi baru. Tapi belum ada info lagi sampai sekarang. Sebenarnya, jika ada yang ingin membangun solar cell, pihaknya membuka lebar kesempatan. Jadi, masyarakat bisa dapat tambahan pasokan listrik.
Tertatih Mengoptimalkan Tenaga Surya
Kondisi terisolasi dan susah akses, jadi alasan ratusan desa di Kaltim belum merdeka dari gelap. Opsi menggunakan energi surya pun dirasa paling ideal untuk desa-desa ini. Hal itu disampaikan Kepala Bidang Kelistrikan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim Sony Mashur.
Kondisi kelistrikan di Kaltim sebenarnya surplus. Daya mampu pasok pada sistem interkoneksi Kalimantan, mencapai 1.703,6 megawatt yang didukung energi batu bara. Namun, beban puncak hanya 1.283,9 megawatt. Artinya, terdapat sisa cadangan 419,7 megawatt. Meski begitu, data di Dinas ESDM Kaltim, dari total desa 1038, masih ada 187 desa yang belum berlistrik. Rata-rata, desa yang belum teraliri PLN itu karena kondisi geografisnya yang terisolir. Jadi, pekerjaan rumah adalah membuat jaringan listrik. Ada juga kasus tertentu seperti Muara Enggelam yang tak punya daratan. Sementara, untuk membuat tiang pancang di rawa gambut, juga berisiko. Dari kondisi ini, Sony mengatakan yang paling relevan adalah membuat pembangkit listrik komunal.

Panel surya di Desa Muara Enggelam. (Dokumen Ramsyah)
“Saat ini, di Kaltim PLTS yang paling cocok. Kalau tenaga air, di sini kurang. Soalnya, debit air masih mengikuti musim,” terang dia.
Di sisi lain, saat ini pemerintah juga mendorong penggunaan energi baru terbarukan. Jadi, lebih baik didorong PLTS komunal. Apalagi, PLTU sudah tak diperbolehkan lagi dibangun. Dalam programnya, tahun ini Dinas ESDM Kaltim akan melakukan revitalisasi dengan anggaran Rp 56 miliar. Untuk saat ini, Dinas ESDM Kaltim memacu PLTS bisa memberikan 700 watt untuk tiap rumah tangga. Dua kali lipat dari standar pemerintah pusat yang hanya 350 watt seperti di Muara Enggelam. Harapannya, masyarakat di desa juga bisa menikmati listrik lebih leluasa. Meskipun, harus bertahap sesuai anggaran yang ada.
“Sekarang Rasio elektrifikasi (RE) di Kaltim masih 93,09 persen. Tetapi target kita 2023 bisa mencapai 95 persen,” papar Sony.
Membangun jaringan dengan kondisi geografis pedesaan di Kaltim, memang jadi pekerjaan yang diakui agak berat bagi PLN. Manajer Unit Pelaksana Proyek Ketenagalistrikan (UP2K) PT PLN (Persero) Kaltim Nurhakim mengatakan, tantangan utama di Kaltim adalah akses. Seperti jalan yang tak memadai dan satu-satunya transportasi mesti lewat air. Sementara, pekerjaan rumah tak hanya membawa peralatan yang besar-besar. Tetapi juga memastikan kontur tanah aman untuk memasang jaringan.
“Tetapi kita berupaya pembangunan di Kaltim. Tahun ini akan ditargetkan 50 desa di Kaltim mendapat sambungan dari PLN. Desa ini tersebar di 7 kabupaten,” jelas Nurhakim.
Dibandingkan tahun sebelumnya, memang target cukup banyak. Sebab, biasanya PLN hanya menargetkan 20an desa dan terkadang realisasinya cuma belasan. Namun, tahun ini dapat anggaran penyertaan modal negara dari pemerintah 3,5 kali lipat dari biasanya. Sehingga, mereka punya anggaran Rp 460 miliar untuk pembangunan listrik. Nurhakim tak bisa memastikan apakah penambahan ini berkaitan dengan Kaltim yang bakal jadi lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, yang jelas ini upaya untuk memeratakan listrik di Kaltim.
“Ada yang buat jaringan baru, ada yang perluasan,” sambungnya. Dia mengatakan, dalam data PLN, dari 1.038 desa di Kaltim, 856 sudah teraliri listrik PLN. Sisanya 182 desa listrik bukan dari PLN. Bisa dari PLTS atau hanya mengandalkan mesin genset/diesel.
“Secara keseluruhan sebenarnya semua sudah berlistrik,” jelas Nurhakim.
Untuk desa yang masih diesel, sebenarnya paling memungkinkan adalah pembangkit listrik komunal seperti pembangkit listrik tenaga surya atau mikrohidro. Namun, untuk tahun ini di Kaltim belum ada program untuk pembangunan pembangkit listrik komunal dari PLN. Tahun ini, fokusnya adalah penambahan jaringan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, dalam lima tahun terakhir, investasi energi terbarukan selalu di bawah target dan kapasitas terpasang. Energi terbarukan hanya tumbuh 300-500 MW per tahunnya. Sedangkan kebutuhan penambahan pembangkit energi terbarukan mencapai 26 GW lebih dalam 8 tahun ke depan atau sekitar 3-4 GW per tahun.
Komitmen pendanaan yang besar dari tim kerja Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dibentuk pemerintah itu, akan dituangkan dalam rencana investasi ini. “Namun, hanya bisa direalisasikan jika hambatan investasi energi terbarukan seperti prosedur pengadaan di PLN, aturan TKDN untuk PLTS yang tidak sesuai dengan perkembangan industri dan subsidi harga batu bara lewat kebijakan harga DMO dapat segera diselesaikan pada tahun ini,” kata Fabby.
Sedangkan, data Kementerian ESDM, dari total 1.763 megawatt di Kaltim. Seribuan megawatt berasal dari batu bara. Sementara, dari PLTS hanya 5,16 megawatt. Lalu, pembangkit listrik tenaga biogas 9 megawatt, dan pembangkit listrik tenaga biomassa 11 megawatt. Padahal, potensi energi terbarukan di Kaltim cukup besar. Dalam catatan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim, provinsi ini menempati urutan kelima dari seluruh Provinsi di Indonesia dengan potensi energi terbarukan terbesar, yaitu dengan total 23.841 MW.
Potensi ini terdiri atas 212 MW PLTB, (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) 5.615 PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), 13.479 MW PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya), 964 MW PLTBio (Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa), 3.562 MW PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro), PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro) dan 9 MW PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Hanya saja, belum bisa dimaksimalkan sehingga belum bisa mengakomodasi kebutuhan rakyat Kaltim. Jadi, harus ada rakyat di ratusan desa di Kaltim yang belum berdaulat atas listriknya hingga 2023. Berharap ke pemerintah juga agak berat. Sehingga warga memilih mandiri menyiapkan energi untuk kampungnya sendiri.