Romdani
Pemimpin Redaksi
PASAR tradisional memang identik dengan kesemrawutan, kepadatan, dan kemacetan. Tiga K. Tanpa itu rasanya kurang lengkap. Seninya berbelanja di pasar yang memang demikian. Seperti sudah jadi tradisi atau malah membudaya. Hampir semua pasar tradisional di Kaltim demikian. Susah untuk diatur.
Pemerintah daerah bukan tanpa tindakan. Kepala daerah atau kepala organisasi perangkat daerah (OPD) bahkan sudah menurunkan petugas. Menata pasar. Tapi ya seperti penyakit. Selalu kambuh. Beberapa hari sempat tertata baik. Hari berikutnya kembali ke “setelan pabrik” he-he-he. Ibarat kepala daerah itu dokter, mungkin resep obatnya tidak begitu manjur.
Seperti Pasar Pandansari Balikpapan. Pekerjaan rumah pemerintah kota memang berat. Bagaimana memindahkan keramaian di luar ke dalam. Dulu. Dulu sekali. Upaya itu pernah dilakukan. Pedagang dipindah ke kios di dalam pasar. Bangunannya juga permanen. Lebih tertata. Tidak kumuh. Bahkan lebih bersih. Walau tidak bersih-bersih amat.
Tapi sayang, tidak bertahan lama. Satu demi satu pedagang kembali berjualan di luar pasar. Akhirnya yang di dalam kurang diminati. Bukan barang atau sayur-mayurnya yang tak dilirik. Tapi lokasinya yang “jauh”. Padahal enggak jauh-jauh juga.
Mungkin bisa jadi ini semua karena budaya. Budaya malas. Warga maunya praktis. Tapi maunya praktis itu karena ada pilihan. Warga tak perlu membeli keperluan pokok di dalam pasar, sudah bisa mendapatkan di luar. Warga juga tak perlu memarkir kendaraan di lapangan parkir. Bagi yang naik sepeda motor, cukup transaksi di atas motor. Tanpa turun. Semacam drive thru.
Apalagi semua keperluan sudah ada di luar pasar. Tanpa pembeli ke dalam pasar. Kecuali pedagang ikan. Dari dulu sampai sekarang konsisten di dalam. Celakanya, pilihan bisa membeli dengan cara “drive thru” itu merugikan pedagang di dalam pasar. Lambat laut, pembeli di dalam berkurang.
Pedagang yang tadinya berjualan di lapak-lapak di dalam pasar, berputar haluan. Kembali berjualan di luar. Akhirnya jalan raya yang mestinya jadi lalu lalang kendaraan disesaki pedagang kaki lima (PKL). Jualannya macam-macam. Sayur-mayur hingga ayam potong. Hampir semua keperluan ada. Kalau sudah sebegitu lengkapnya, ngapain ke dalam pasar.
Biasanya setiap pergantian kepala daerah, penataan pasar dilakukan. Belum lama ini, setelah Rahmad Mas’ud dilantik sebagai wali kota Balikpapan. Pasar Pandansari tertata baik. Personel Satpol PP dikerahkan. Menertibkan para PKL yang berjualan di pinggir jalan. Jalanan begitu lengang. Bahkan Pemkot Balikpapan mendirikan posko. Menempatkan personelnya untuk berjaga. Agar PKL tidak berjualan di pinggir jalan.
Pos penjagaan itu berdiri di jalan yang lengang. Tapi kini, saya tak lagi melihat pos tersebut. Yang ada PKL yang berdiri di jalanan. Bahkan memanjang. Mungkin ada petugas yang berjaga. Tapi tidak di lokasi pos yang sudah kembali bersalin PKL.
Dalam sebulan, saya bisa tiga atau empat kali ke pasar itu. Untuk membeli makanan iguana yang saya pelihara. Tak sedikit juga keperluan dapur di rumah, saya yang belanja. Di Pasar Pandansari. Jadi tahu benar, bagaimana perubahannya.
Yang terbaru, dipasang median jalan. Di tengah-tengah jalanan yang juga berdiri PKL. Persis di depan Pasar Pandansari. Niatnya bagus. Agar mengatur alur lalu lintas kendaraan. Tapi sayangnya, para PKL itu tidak ditertibkan. Masih dibiarkan berjualan di badan jalan.
Akhirnya jalanan di depan pasar itu menyempit. Padahal jalan itu mungkin memiliki lebar sekitar 8–10 meter. Celakanya para PKL seperti tak menggubris median jalan yang dipasang. Adanya PKL berjualan ditambah median jalan, maka jalan yang bisa dilewati mungkin tidak sampai 6 meter.
Mungkin, maksud dari Pemkot Balikpapan menempatkan median jalan itu adalah memberi kode. Agar para PKL pergi dari situ. Karena keberadaan PKL itu bikin sempit jalan. Justru yang terjadi sebaliknya. Di grup sebuah media sosial, para pedagang mengeluhkan adanya median jalan. Menurut mereka itu bikin sesak jalanan. Roda empat pun tak bisa melintas lagi. Kesemrawutan pasar pun makin terlihat. Terutama pada akhir pekan atau hari-hari besar nasional.
Menata pasar memang sukar. Tapi yang pasti, pembeli akan mengikuti aturan main. Bila memang benar-benar diatur. Pembeli drive thru, pasti mau tak mau harus sedikit repot, karena tidak ada ruang untuk dipilih. Tidak ada PKL berjualan. Semua pedagang berjualan di dalam. Tidak ada ruang bagi pedagang jualan di luar pasar. Pembeli pun mau tak mau masuk ke pasar. Membeli segala keperluan di sana. Lebih fair. Tidak ada pedagang yang dirugikan. Karena semua berada di dalam.
Memang perlu sedikit otoriter untuk menata pasar. Memang bakal dicap tak populer. Tapi yakinlah, pasar yang tertata, pengunjung pun akan menikmati berbelanja. Jadi jangan takut kehilangan pendukung. Bila perlu berantas premanisme di pasar.
Oya, saya juga harus mengucapkan selamat Hari Pers Nasional yang jatuh hari ini. Semoga para jurnalis tetap kritis. Tentu memberikan dampak positif kepada masyarakat. Dari karya jurnalistik yang dibuat. (rom/k8)