JAKARTA - Pemerintah terus menggenjot program hilirisasi tambang sebagai upaya mendukung program transisi energi untuk menuju target emisi nol bersih. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang tambang pun didorong untuk mempersiapkan program hilirisasi. Namun, Kementerian ESDM mencatat baru belasan perusahaan yang telah berkomitmen dan sudah mempersiapkan proyek hilirisasi batu bara mereka hingga tahun 2030.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira menyebutkan, masih tingginya harga komoditas dan minimnya pembiayaan menjadi tantangan hilirisasi batu bara di Indonesia. ”Mengenai hilirisasi dari strategi pengelolaan batu bara, banyak cara, kita bisa gasifiksi, DME dan sebagainya. Tapi PR-nya investasinya besar," ujar Anggawira.
Di sisi lain, skema pembiayaan juga masih terbatas. ”Faktanya seperti ini. Ada potensi bisnis baru, tapi kalau gak ada dukungan dari pembiayaan kan sulit, kecuali memang ada dukungan dari pemerintah,” tambahnya.
Pengamat Energi Amrul Hakim menyebutkan, Indonesia tidak memiliki industri manufaktur untuk mengonstruksi fasilitas pengolahan dan pemurnian hilirisasi batu bara. ”Saya kira ini tantangan kita yang paling berat," ujarnya.
Sebagai informasi, Kementerian ESDM memproyeksikan Indonesia memiliki sumber daya batu bara sebanyak 91,6 miliar ton dengan cadangan mencapai 31,7 miliar ton. Pada 2021 realisasi produksi dalam negeri mencapai 614 juta ton atau 98,2 persen dari target 625 juta ton. Sedangkan, realisasi pemanfaatannya tercatat sebanyak 133 juta ton atau 96,7 persen dari target 137,5 juta ton.
”Upaya hilirisasi tentu terus didorong untuk menambah nilai tambah industri. Pemerintah harus menyediakan beberapa hal seperti penyediaan infrastruktur industri, penciptaan lingkungan usaha industri yang kondusif, menerbitkan insentif fiskal, tentu juga mendorong agar SDM-nya bisa mengikuti perkembangan teknologi,” beber Amrul. (agf/dio)
--