Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) masih menyisakan persoalan pembebasan lahan. Warga yang lahannya terdampak proyek, kurang mendapat informasi yang utuh dan proporsional.
BALIKPAPAN - Warga yang bermukim di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN, Desa Bumi Harapan dan Kelurahan Pemaluan, merasa ada ketidakadilan dengan besaran nilai ganti rugi yang diberikan pemerintah. Uang ganti rugi Rp 225 ribu per meter dianggap tidak mampu menggantikan rumah maupun tanah mereka yang harus tergusur keberadaan ibu kota negara baru di Kaltim.
Salah satu bentuk ketidakpuasan warga itu disampaikan melalui spanduk yang dibentangkan di pinggir jalan pada area yang hendak dibebaskan pemerintah dalam KIPP IKN. Adapun isi spanduknya, warga yang terdampak pembangunan ring 1 KIPP, tidak menolak pembangunan IKN. Namun hanya menolak harga yang diputuskan sepihak oleh pemerintah. Salah seorang warga yang harus menelan pil pahit itu adalah Edy Dalimunthe (45). Warga Desa Bumi Harapan itu terpaksa merelakan tanah miliknya yang berada di pinggir jalan ring 1 KIPP dibayar tidak sesuai keinginan.
Menurut Edy, nilai yang dibayarkan pemerintah bahkan disamakan dengan lokasi lahan yang jauh dari tepi jalan ring 1 KIPP. Edy pun sempat menyatakan keberatan. Dia meminta waktu karena belum sepakat dengan nilai ganti rugi itu. “Kami tidak diberi tahu rinciannya. Sekian tanam tumbuhnya, sekian harga tanahmu. Langsung nominalnya sekian di amplop itu,” cerita Edy. Pelbagai upaya dilakukan agar mendapatkan besaran nilai ganti rugi yang layak tapi tak membuahkan hasil. Seakan tak berdaya, Edy pun harus menerima pembayaran lahan yang jauh dari harapannya.
Dia pun diberi amplop berisi uang dan disuruh menandatangani bukti pembayaran uang ganti rugi. Apabila menolak, uang yang seharusnya diterima akan dititipkan pemerintah di pengadilan.
“Kami merasa takut, dan enggak tahu soal hukum. Mau enggak mau, harus kami ikuti lah. Bukan kami menolak, cuma yang kami keluhkan perjalanan pembayaran itu yang kurang transparan,” ungkapnya. Tidak transparannya proses pembayaran itu, lanjut dia, karena satu per satu warga yang lahannya akan dibebaskan dipanggil ke sebuah ruangan. Kemudian diperlihatkan nominal uang yang harus mereka terima.
Di dalam ruang tersebut, ada aparat penegak hukum dan kementerian yang bergelindan dengan urusan proyek pembangunan IKN.
Para pemilik lahan ditenggat harus menerima pembayaran sampai Desember 2022. Apabila melewati batas waktu itu, mereka akan kesulitan menerima uang ganti rugi lahan dengan kepemilikan segel sejak 2013. “Jadi kami dipanggil satu per satu. Lengkap semua di situ,” ungkapnya. Warga lainnya yang merasa takut mengalami hal sama adalah Sarina Natalina Gultom (60). Dia memiliki lahan yang akan dibebaskan untuk pembangunan infrastruktur KIPP IKN.
Akan tetapi, belum dipanggil Tim Pengadaan Lahan untuk mendapat informasi besaran nilai uang ganti rugi yang akan diterimanya. “Saya belum dipanggil. Namun, kata jaksa, kalau menolak, silakan langsung pengadilan. Seperti ada intimidasi dan ancaman kepada warga, supaya mau segera menerima uang ganti rugi,” ujar dia. Sarina menuturkan, warga RT 10, Desa Bumi Harapan, sepakat tidak menerima besaran uang ganti rugi yang ditetapkan. Namun, sebagian warga terpaksa menerima dengan harga Rp 190 ribu sampai Rp 200 ribu per meter. Bahkan, warga yang menolak, menuntut nilai ganti rugi Rp 2 juta per meter agar dapat membeli lahan kembali di wilayah sekitar IKN.
“Kalau mau ganti beli lahan lagi, dengan harga Rp 200 ribu per meter, sangat jauh sekali. Tolong lah diperhatikan kami. Yang kami tuntut adalah, minta harga yang sesuai dengan yang disampaikan dirjen. Kami diberi ganti rugi Rp 650 ribu sampai Rp 1 juta per meternya,” harap dia. Dikonfirmasi terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Setkab PPU Nicko Herlambang menerangkan, pembebasan lahan KIPP IKN dilaksanakan langsung Kementerian PUPR. Keterlibatan pemerintah daerah, dalam hal ini Pemprov Kaltim, hanya untuk penerbitan penetapan lokasi (penlok). Sementara itu, Kementerian PUPR mengajukan peta lahan yang akan dijadikan lokasi pembebasan lahan kepada gubernur Kaltim. “Untuk kemudian ditetapkan dan disosialisasikan. Jadi memang, masyarakat banyak yang mengira penetapan harga dilakukan Pemkab PPU. Itu salah. Karena yang menetapkan harga itu adalah appraisal,” katanya kepada Kaltim Post.
Pemkab PPU, kata dia, sudah beberapa kali menyampaikan kepada warga. Yang terpenting adalah harga ganti rugi lahan yang berkeadilan untuk masyarakat. Agar hak atas lahan warga yang dibebaskan untuk pembangunan IKN bisa dinilai secara adil dan proporsional. Oleh karena itu, pada pembebasan lahan, tidak boleh dilakukan secara paksa. Harus melalui kesepakatan harga yang dilakukan kedua belah pihak.
“Harapan kami, jangan sampai proses ini dipaksakan. Artinya warga enggak setuju, langsung masuk penitipan ke pengadilan, supaya selesai. Makanya kami menginginkan, agar masyarakat diberikan pemahaman yang betul-betul soal harga ini. Terutama mengenai appraisal yang menetapkan harganya. Beserta alasannya,” harap Nicko.
Diakuinya saat ini masyarakat menganggap Pemkab PPU yang menjadi pihak yang bertanggung jawab terhadap penetapan besaran uang yang dibayarkan. Bahkan untuk penerbitan penlok menjadi kewenangan Pemprov Kaltim. “Masukan ke pemerintah pusat adalah warga mendapat ganti rugi yang berkeadilan. Artinya harus benar-benar proporsional,” tegasnya. (riz/k16)