JAKARTA–Pemerintah meningkatkan pencampuran bahan bakar minyak (BBM) jenis biosolar. Dari yang sebelumnya campuran 20 persen bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit ke solar atau B20, sekarang menjadi 35 persen. Penerapan penggunaannya berlaku per hari ini (1/2).
“Dibandingkan mandatory biodiesel di seluruh dunia, Indonesia merupakan negara yang tingkat pencampurannya konsisten dalam tujuh tahun terakhir bahkan mencapai 36 persen dari capaian realisasi energi baru dan terbarukan dalam bauran pada 2021,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Jakarta, kemarin (31/1).
Dia menyebut, implementasi kebijakan B35 diharapkan dapat menghemat devisa sebesar USD 10,75 miliar atau berkisar Rp 161,2 triliun. Selain itu, meningkatkan nilai tambah hilir sawit Rp 16,76 triliun. Serta, mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 34,9 juta ton CO2.
Menurut dia, mandatory biodiesel merupakan strategi untuk merespons pembatasan demand minyak sawit di pasar global dengan meningkatkan serapan dalam negeri. “Implementasi program B35 tidak akan mengganggu pasokan minyak goreng untuk konsumsi dalam negeri. BPKPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) sudah menjamin ketersediaan di dalam negeri mencukupi. Pasokan sudah ditingkatkan,” tegasnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan program bahan bakar nabati jenis biodiesel dengan persentase sebesar 35 persen telah lolos uji. “Kami sudah lakukan dua-duanya, kami lakukan uji B35 kami juga lakukan uji B40,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Kementerian ESDM memproyeksikan program B35 akan ada peningkatan keperluan BBM jenis tersebut. Pada 2023, alokasi biodiesel sebanyak 13,14 juta kiloliter atau meningkat sekitar 19 persen dibandingkan tahun lalu yang hanya sebesar 11,02 juta kiloliter.
Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menegaskan, produsen sudah sanggup memenuhi jumlah alokasi B35 tahun ini. “Volume yang kami produksi sampai hari ini kapasitas produksinya 17,5 juta KL (kiloliter). Jumlah alokasi B35 untuk 2023 itu sekitar 13 juta KL, artinya 75 persen dari kapasitas produksi kami. Teorinya ini cukup untuk mendukung program B35,” ungkapnya.
KEPASTIAN PASOKAN
Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohannes Nangoi sependapat bahwa penerapan biodiesel dengan campuran solar dan crude palm oil (CPO) dapat menghemat ratusan triliun devisa. Juga, dapat menurunkan emisi gas buang.
“Kami di industri otomotif sangat concern mengikuti arahan pemerintah bahwa kondisi emisi gas buang menjadi sangat penting. Serta, pemborosan cadangan devisa yang harus mengimpor BBM begitu mahal,” ujarnya.
Nangoi membeberkan, saat ini distribusi kendaraan diesel rata-rata berada di kisaran 23 persen dari volume penjualan setiap tahun. Populasinya sebanyak 5 juta unit dengan rata-rata pemakaian 24 jam.
Namun, catatan dari Gaikindo adalah kebanyakan kendaraan yang akan memanfaatkan B35 adalah kendaraan niaga. Itu artinya alat transportasi itu menjadi salah satu alat ekonomi dan akan bekerja lebih keras dibandingkan mobil biasa. ”Biasanya kendaraan niaga dibutuhkan sebagai alat angkut hingga logistik. Untuk itu kami mengharapkan adanya kepastian pasokan biodiesel dan tidak berhenti di tengah jalan,” tegasnya.
Selain itu, lanjut dia, biosolar yang ada bisa memenuhi standar emisi Euro 4. Pasalnya, BBM untuk mesin diesel yang selama ini tersedia belum mampu memenuhi standar emisi yang ditentukan kecuali untuk pertadex. Apalagi, tahun lalu telah ditetapkan bahwa kendaraan yang diproduksi harus menggunakan standar Euro 4.”Mudah-mudahan pemerintah segera menyiapkan dalam waktu dekat karena jumlah kendaraan akan meningkat," ujarnya.
Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aprtindo) Jatim Putra Lingga Tan mengatakan, implementasi B35 bukan jadi permasalahan berarti bagi pengusaha truk. Tapi, pelaku usaha harus kembali memeriksa bagaimana dampak dari BBM baru tersebut terhadap kinerja mesin. “Selama ini, kami sudah memasang dua filter untuk menyaring. Kalau ditambah lagi, kemungkinan harus menambah filter dan pastinya jadi cost,” ungkapnya.
Menurut dia, saat ini pengusaha truk terlalu banyak beban pikir terjadi dalam satu masa. Yakni, mereka sedang kebingungan untuk mengurusi program subsidi tepat. Di mana, mewajibkan semua kendaraan berbahan bakar biosolar untuk mendapatkan QR code masing-masing jika ingin mendapatkan kuota maksimal. “Seharusnya kalau mau beri kebijakan jangan bertumpuk seperti ini. Kami yang kesusahan,” katanya. (agf/JPG/rom/k8)