JAKARTA–Beberapa tahun terakhir BPJS Kesehatan sudah surplus. Biaya iuran lebih tinggi daripada biaya layanan kesehatan yang diklaim. Meski demikian, diprediksi pada 2024 lembaga ini akan kembali defisit.
Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Mahlil Ruby mengungkapkan, pada 2024, BPJS Kesehatan bisa mengalami defisit. Sebab, perluasan layanan kesehatan dan banyaknya layanan kesehatan yang berbiaya mahal namun tidak diiringi dengan kenaikan iuran.
”Pertambahan faskes, akses layanan kesehatan meningkat. Yang menyebabkan biaya (klaim) semakin meningkat. Kedua, memberikan layanan berbiaya mahal, misal cathlab (untuk jantung) dan kanker,” ungkapnya dalam Diskusi Publik Outlook 2023: 10 Tahun Program JKN, Senin (30/1).
Perluasan layanan ini di sisi lain perlu dilakukan. Ini, menurut dia, untuk menjaga loyalitas peserta. Agar layanan BPJS Kesehatan bisa dinikmati di mana saja dengan standar yang sama di seluruh wilayah.
Namun, di sisi lain perluasan layanan ini menambah kewajiban BPJS Kesehatan untuk meng-cover. “Tetap harus dibayar karena haknya peserta,” tuturnya. Ruby mendukung agar layanan kesehatan dibuka seluas-luasnya. “Namun saat membuka layanan seperti cathlab, tidak membuka di daerah yang sudah ada,” ujarnya.
Untuk itu, perlu dijaga agar pendapatan dari BPJS Kesehatan lebih tinggi daripada klaim yang harus dibayarkan. Dengan kondisi seperti sekarang, menurut Ruby, kondisi keuangan BPJS Kesehatan akan baik sampai 2024 saja. Jika dibiarkan, maka aset neto yang kini senilai Rp 56 triliun akan tergerus tiap bulannya. Untuk itu pada 2025 atau 2026 harus ada kenaikan tarif iuran.
Lebih lanjut dia menyatakan, idealnya cadangan untuk klaim yang harus dipunyai BPJS Kesehatan adalah 1,5 bulan biaya klaim rata-rata. Untuk saat ini, rata-rata biaya klaim BPJS Kesehatan adalah Rp 13 triliun. Artinya, BPJS Kesehatan setidaknya harus punya surplus Rp 20 triliun.
Lalu apa yang bisa dilakukan BPJS Kesehatan? Ruby mengatakan, lembaganya akan mengendalikan utilisasi. Layanan atau obat yang diberikan tenaga medis akan dipelototi. Selanjutnya, optimalisasi layanan di tingkat primer.
“Ada beberapa kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan di tingkat primer,” ujarnya. Dua hal ini merupakan rencana jangka pendek. Jangka panjangnya adalah mengubah kebiasaan masyarakat untuk hidup sehat agar promotif dan preventif berjalan.
Ada biaya yang dikeluarkan karena over-utilitisasi, ada beberapa dokter rumah sakit yang tidak lakukan maka dilakukan. Kedua, tingkatkan di tingkat primer. Ada kasus yang bisa ditangani di tingkat primer. Ketiga, kuatkan promotif dan preventif tapi ini berubah sesuai tingginya tingkat pendidikan. “BPJS ini hanya bisa mengendalikan agar tidak fraud. Kedua, menguatkan primary sehingga tidak jatuh komplikasi,” terang dia.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ghufron Mukti memaparkan, kepesertaan JKN melonjak pesat dari 133,4 juta jiwa pada 2014 menjadi 248,7 juta jiwa pada 2022. Saat ini lebih 90 persen penduduk Indonesia telah terjamin program JKN.
Ghufron mengungkapkan di masa-masa awal beroperasi, BPJS Kesehatan sempat mengalami defisit. Saat ini kondisinya dalam keadaan sehat. Per 31 Desember lalu, BPJS Kesehatan bisa membayar klaim iuran untuk 5,98 bulan ke depan. Atau artinya punya aset bersih senilai Rp 56,51 triliun.
“Saat ini tidak ada lagi istilah gagal bayar rumah sakit. Bahkan, kami bisa membayar sebagian biaya klaim rumah sakit sebelum diverifikasi untuk menjaga cashflow, sehingga rumah sakit bisa optimal melayani pasien JKN,” ujarnya. (lyn/jpg/dwi/k8)