BALIKPAPAN–Usulan revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN), masih memunculkan pro dan kontra. Salah satunya dari Gubernur Kaltim Isran Noor. Menurut dia, UU IKN tidak perlu direvisi lagi. Cukup diperkuat melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), atau melalui Keputusan Presiden (Keppres).
“Saya sarankan UU IKN tidak usah direvisi. Karena akan mengalami kesulitan. Sekarang, ada yang mengubah pendirian. Dulu mendukung sekarang tidak mendukung,” katanya. Untuk diketahui, tidak semua fraksi di DPR RI menyetujui usulan revisi UU IKN yang merupakan usulan pemerintah, untuk masuk Prolegnas Prioritas Tahun 2023. Ada dua partai di luar pemerintahan yang menolak usulan revisi UU IKN, yakni Fraksi Partai Demokrat dan PKS. Sisanya, atau mayoritas partai pendukung pemerintah setuju. Yakni PDIP, Partai Gerindra, Partai Golkar, PKB, PAN, PPP. Hanya Partai NasDem yang menyatakan abstain atau tidak menentukan sikap.
“Jadi dibuat saja PP, keppres atau perpres. Cukup. Karena IKN ini adalah urusan khusus. Dan menurut saya, jangan diberlakukan dengan aturan-aturan yang berlaku. Lambat nantinya,” terang ketua DPW Partai Nasdem Kaltim ini. Selain itu, dalam tahapan pembangunan IKN yang sudah dimulai sejak pertengahan tahun lalu, pemerintah masih melakukan pembahasan mengenai skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Pembahasan tersebut, untuk memberikan kepastian kepada para investor, terkait dengan modal yang akan digunakan untuk membangun infrastruktur di ibu kota negara baru.
“Untuk pembangunan yang akan menggunakan skema KPBU, swasta, BUMN, dan investor asing sedang dibahas. Di tingkat kementerian terkait. Karena ada masalah terkait dengan para investor yang ingin mendapatkan jaminan yang kuat dari aspek UU 3/2022 (UU IKN),” kata Isran. Sementara itu, pengamat hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah menilai, usulan revisi UU IKN yang baru berumur setahun ini, mengonfirmasi jika UU tersebut memang dibuat dengan cara ugal-ugalan. Selain itu, UU yang disahkan pada 18 Januari 2022, dibuat dengan tergesa-gesa atau fast track. Tanpa perencanaan yang baik.
Menurut pria yang akrab disapa Casto ini, hal itu menggambarkan betapa politik hukum legislasi Indonesia, memang benar-benar buruk. “Saya menduga motif utama revisi UU ini berkaitan erat dengan pendanaan IKN,” ucapnya kepada Kaltim Post kemarin. Motif utama revisi UU IKN yang berkaitan erat dengan pendanaan IKN ini, menurut Castro, mencakup dengan dua hal. Yakni agar lapak jualan proyek IKN menarik bagi investor. Dalam pandangannya, jika perlu, pemerintahan akan melakukan obral murah kepada para pemilik modal. Agar mereka tertarik masuk untuk berinvestasi di IKN.
Mulai iming-iming hak atas tanah hingga jangka waktu sampai 180 tahun. Bahkan, agar lebih mendapat kepercayaan dari investor, hak atas tanah, bisa menjadi hak milik bagi investor. “Ini kan gagasan konyol yang seolah menggadaikan kedaulatan bangsa atas Tanah Air kita sendiri. Kita kan sama-sama tahu, kalau pembiayaan IKN lagi bermasalah. Bisa disebut macet di tengah jalan, karena investor enggan berinventasi untuk proyek ambisius tersebut,” kritiknya. Hal lainnya adalah pembiayaan IKN akan dipaksa banyak menggunakan APBN. Padahal janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) dulu, pembangunan IKN tidak akan membebani postur APBN. Karena itu, menurut Castro, pernyataan yang selama ini disampaikan terkait dengan pembiayaan IKN, adalah lip service belaka.
“Dan yang pasti, pemaksaan pembiayaan IKN melalui APBN, lagi-lagi hanya akan mengorbankan rakyat. Revisi UU IKN ini menjadi semacam stempel legitimasi yang memperlihatkan wajah rezim sesungguhnya. Yang hanya ingin mengakomodasi kepentingan investasi, tapi abai dengan kepentingan rakyatnya sendiri,” tegas pria berkacamata ini. Castro juga menerangkan motif revisi lainnya selain soal pendanaan, adalah soal keberlanjutan proyek IKN. Konstelasi politik menjelang Pemilu 2024. Menurut dia, pasti menjadi pertimbangan terkait dengan revisi UU IKN ini. Karena ada kekhawatiran pemerintahan saat ini, akan gagal menang pada pemilu mendatang. Dan konsekuensinya adalah proyek pemindahan IKN akan terancam dihentikan.
Lantaran adanya perbedaan perspektif dengan pemenang pemilu mendatang. “Karena itu, rezim saat ini, butuh untuk merevisi UU IKN akan bisa memastikan keberlanjutannya siapapun yang terpilih nanti,” ungkapnya. Karena itu, dosen Fakultas Hukum Unmul ini menegaskan, proses revisi UU IKN harus diusulkan oleh pemerintah saat ini. Agar legitimasinya lebih kuat dan tentu saja tidak gampang diubah. Menurut dia, apabila ketentuan perubahan itu, diatur melalui perpres ataupun PP, maka kapan saja bisa diubah. Tergantung selera pemerintah yang berkuasa. “Karena perubahannya cukup lewat presiden. Tanpa persetujuan DPR. Di samping itu, perpres dan PP juga terbatas. Sebab hanya bisa mengatur hal yang didelegasikan oleh UU,” pungkas Castro. (riz/k8)
Rikip Agustani
[email protected]