Pada 2003, citra satelit menampakkan hijaunya wilayah Sangasanga. Yang berubah drastis tahun-tahun belakangan ini.
==================
LAGI-LAGI, Udin harus menghela napas panjang. Kebun buahnya disatroni monyet dan tak bisa panen maksimal. Belum juga kelar urusan monyet yang menyambangi kebun buahnya, lelaki paruh baya ini juga dibikin pusing dengan akses air tak seperti dahulu. Tidur pun tak nyenyak, sebab aktivitas pertambangan hanya 250 meter dari tempat dia hidup.
Udin adalah warga Kelurahan Jawa, Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara. Sebuah kecamatan yang dikenal sebagai Kota Juang dan sarat sejarah di Kalimantan Timur. Lelaki paruh baya ini sejak dekade 90-an hidup dari kebun buahnya. Elai, cempedak, dan buah-buahan lain, jadi sumber penghidupannya.
“Dahulu kapal datang, beli buah-buahan. Tetapi, saya terakhir bisa panen sekitar 2019,” cerita Udin.
Tidak hanya Udin, banyak tetangganya juga hidup dari kebun buah. Namun, belakangan berkebun terlalu banyak tantangannya. Mulai dari serangan monyet yang kehilangan rumah, air yang kurang, kebun yang tergenang limbah tambang, hingga desakan pemilik tambang yang hendak membeli tanah karena tergiur cadangan batu bara di dalamnya.
Hidup pun lebih susah. Sebab, dahulu air tinggal dialirkan saja. Jernih dan gratis. Tetapi, sekarang tak bisa. “Perusahaan kasih kita PDAM. Tetapi itu saja keruh dan bulanannya kan tidak ditanggung selamanya,” keluh Udin.
Udin berharap, ada pihak yang benar-benar peduli dengan nasib hidup orang sepertinya yang terancam oleh aktivitas pertambangan. Dia menilai, hidup di Sangasanga tak berarti hidup hanya dari pertambangan. Masih banyak warga yang hidup dari sektor pertanian. Namun, wilayah Sangasanga sudah didominasi pertambangan. Jalan utama pun sempat ambles karena tambang.
Aji Achmad Affandi dari Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) Kaltim memaparkan, penampakan Sangasanga dari citra satelit pada 2003 masih hijau. Namun, berubah drastis pada tahun-tahun belakangan. Pembukaan lahan di mana-mana. Akibatnya, banjir tak bisa dihindari di wilayah ini.
“Air limbah bersama lumpur dari drainase dan akibat perombakan bentang alam karena tambang batu bara ini melimpas membanjiri rumah-rumah hingga sekolah dan melumat ikan-ikan di kolam warga. Laporan ini juga menemukan banjir yang makin meluas dan meninggi. Warga dirampas tidak hanya ruang hidupnya, namun juga waktu, tenaga, pikiran hingga dipaksa mengeluarkan pengeluaran tambahan,” jelasnya pada peluncuran penelitian Jatam Kaltim bertajuk “Dari Wisata Juang, Menuju Kota Limbah Tambang.”
Dia memaparkan, laporan ini menemukan kandungan derajat keasaman (pH) mencapai angka 4 pada aliran air limbah di drainase sepanjang RT 02, Kelurahan Jawa. Hal ini melampaui baku mutu air limbah dalam Perda Nomor 02 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Limbah.
Air yang melimpah dan sebelumnya didapatkan secara gratis dari sumur-sumur yang tumbuh di lereng perbukitan Kelurahan Jawa telah lenyap dan mengering. Enam sumur air di kawasan RT 03 dalam kurun lima bulan terakhir kering kerontang. Sehingga air kini harus dibeli.
Sedangkan, pada tempat di mana air masih memancar, air tersebut mengandung derajat keasaman (pH) yang tinggi yakni 4,38 di RT 01, 4,74 di RT 02, dan 4,35 di RT 06. Semuanya, kata dia, melanggar berbagai peraturan Menteri Kesehatan tentang baku mutu air minum dan sanitasi.
Lalu yang kena dampak, lanjut dia, yang akhirnya berupaya melakukan pemulihan. Ini jalan mereka bertahan hidup. Seperti yang dilakukan Kelompok Tani Setaria. Mereka adalah kelompok tani di Kelurahan Sarijaya, Kecamatan Sangasanga, Kutai Kartanegara, yang luasnya hanya 22,81 kilometer persegi. Tak sampai 10 persen dari total wilayah Sangasanga yang mencapai 233,40 kilometer persegi.
Tetapi sayang, dengan wilayah tak luas itu, tersisa banyak lahan eks tambang, yang ketika ditanam, hanya kecewa didapat. Sutrimo, ketua Setaria, saat ditemui pada Agustus lalu di Sekretariat Kelompok Tani Setaria Jalan Mulawarman, RT 07 Sarijaya, Sangasanga, memaparkan bahwa wilayah eks tambang yang luas, tak semua bisa ditanam.
Masalah yang ditemukan pada lahan eks tambang, kata dia, adalah tanahnya yang padat. Sehingga, air tidak mau meresap. Tanaman pun bakal mati. Dari berbagai percobaannya yang gagal, akhirnya ditemukan metode yang pas untuk lahan tambang.
“Jadi, lahan harus dicampur dengan pupuk kandang. Lalu, dilihat selama sepuluh hingga 14 hari, apakah ada rumput yang tumbuh,” jelas Sutrimo. Jika ada, maka kehidupan bisa dimulakan di situ. (nyc/dwi/k8)