Oleh: Dr Salamia
Iro-Society Balikpapan
Guru MTs 1 Balikpapan
Membaca sebagai bagian literasi bagi masyarakat Indonesia belum menjadi prioritas sebagai sumber informasi atau ilmu pengetahuan. Minat membaca masyarakat tergolong rendah. Tahun politik 2023 menghendaki terciptanya budaya literasi yang baik dari masyarakat agar terhindar dari hoaks yang menyesatkan dan merugikan.
Berbagai upaya mendekatkan buku kepada masyarakat telah dicanangkan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan dan pembiasaan budaya literasi. Namun, sering mengalami hambatan, sehingga belum berjalan maksimal dan berkesinambungan.
Penguatan literasi masyarakat harus selalu dilakukan untuk menumbuhkan cinta budaya literasi. Mencintai budaya literasi merupakan bagian dari upaya untuk membangun masyarakat literat. Tumbuhnya budaya literasi masyarakat akan diikuti tumbuhnya beberapa kemampuan literasi, antara lain; literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan yang digolongkan dalam literasi dasar.
Membangun masyarakat literat mutlak harus dilakukan agar masyarakat memiliki kemampuan mengidentifikasi positif dan negatif informasi yang diterima. Kemudian mampu memaknai informasi yang diterima berdasarkan hasil bacaannya.
PENGUATAN LITERASI
Kemendikbudristek menjelaskan bahwa literasi tidak hanya kemampuan membaca dan menulis. Literasi mencakup kemampuan atau keterampilan secara individu dalam memahami, mengakses, dan menggunakan kecerdasan melalui aktivitas membaca, menyimak, melihat, berbicara, dan menulis.
Dalam buku panduan Gerakan Literasi Nasional, dikemukakan enam komponen literasi dasar yaitu literasi baca dan tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Literasi dasar tersebut telah disepakti World Economic Forum pada 2015.
Literasi dasar merupakan bagian dari keterampilan abad ke-21 yang sangat diperlukan dan harus dimiliki seluruh kalangan masyarakat. Artinya, literasi dasar tersebut termasuk dalam keterampilan abad ke-21 selain karakter, keterampilan menyelesaikan masalah, berpikir kritis, kreatif, kolaborasi, dan komunikasi.
Literasi masyarakat yang rendah menjadi masalah serius dan mendasar yang berdampak luas terhadap kemajuan suatu bangsa. Dampak yang ditimbulkan akan berantai, mulai rendahnya produktivitas, pertumbuhan ekonomi, tingkat kesejahteraan, sampai pertumbuhan per kapita.
Dampak-dampak tersebut akan berkontribusi terhadap peningkatan pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Sebab itu, penguatan literasi mutlak harus dilakukan.
Penguatan literasi masyarakat telah dilakukan Kemendikbudristek dalam beberapa bentuk gerakan nasional. Diawali dengan Gerakan Indonesia Membaca (GIM), Gerakan Literasi Masyarakat (GLM), dan Gerakan Literasi Nasional (GLN). Sasarannya, lembaga pendidikan, pendidikan keluarga, dan pendidikan masyarakat.
Penguatan literasi dengan sasaran yang berbeda-beda itu digagas dengan nama yang berbeda pula yaitu literasi sekolah, literasi keluarga, dan literasi masyarakat. Literasi sekolah, literasi keluarga, dan literasi masyarakat adalah kemampuan sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk memahami pengetahuan dan mengakses berbagai aspek penunjang dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.
Urgensi penguatan literasi berkaitan langsung dengan upaya meningkatkan sumber daya manusia. SDM berkualitas pasti memiliki kemampuan literasi memadai, termasuk di dalamnya keterampilan dan kemampuan cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan aspek kehidupan manusia secara global.
Untuk itu, urgensi penguatan literasi menjadi sebuah upaya yang utama untuk dilakukan. Sasarannya, mulai anak-anak, remaja, dewasa, sampai orang tua. Mereka harus menguasai enam literasi dasar.
Strategi penguatan literasi merupakan rencana pelaksanaan kegiatan penguatan literasi yang mencakup tujuan, kebijakan, dan rangkaian kegiatan menyeluruh menjadi satu kesatuan utuh. Dalam hal ini, strategi penguatan literasi yang dimaksud adalah strategi penguatan literasi dasar yang telah disebutkan sebelumnya.
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) terintegrasi dengan kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pelaksanaannya dapat di luar kelas dan dalam kelas, serta didukung oleh orang tua siswa dan masyarakat.
Lalu, Gerakan Literasi Keluarga (GLK) fokus pada penguatan pemahaman anggota keluarga tentang pentingnya literasi bagi keluarga. Keluarga merupakan komunitas pendidikan awal anak, di mana seluruh anggota keluarga ikut berpartisipasi untuk memberi contoh kegiatan literasi dalam keluarga dan menyediakan bahan bacaan untuk keluarga.
Kemudian, Gerakan Literasi Masyarakat (GLM) dilakukan dengan menyediakan fasilitator literasi untuk masyarakat, perluasan akses sumber belajar, dan melibatkan publik (masyarakat) dalam berbagai bentuk kegiatan literasi.
MASYARAKAT LITERAT DI TAHUN POLITIK
Masyarakat literat adalah masyarakat yang memiliki kemampuan memahami sesuatu karena membaca informasi dengan tepat dan melakukan sesuatu berdasarkan hasil pemahaman atau interpretasi terhadap isi bacaan. Menginterpretasikan bacaan sebagai hasil membaca tentu memerlukan keterampilan khusus agar interpretasi yang dilakukan benar dan berkualitas.
Sebab itu, masyarakat literat memiliki banyak pengetahuan dan mampu mengimplementasikannya dalam menyelesaikan masalah dari waktu ke waktu untuk seluruh ranah kehidupan, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Lebih lanjut, masyarakat literat adalah masyarakat yang memiliki ilmu pengetahuan yang baik dan sadar akan kemajuan sehingga terhindar dari kemiskinan ilmu pengetahuan, sosial, dan politik.
Keterampilan abad ke-21 dapat dipastikan akan tecermin pada masyarakat literat, karena mereka mampu melakukan sesuatu berdasarkan pemahamannya terhadap ilmu pengetahuan secara kritis berdasarkan isi bacaan atau informasi yang diperoleh. Manusia yang sudah literat sejak lahir tentulah tidak ada, artinya masyarakat literat tidak muncul begitu saja.
Masyarakat literat diperoleh melalui proses pembelajaran baik di rumah, sekolah, dan masyarakat. Usaha dan kerja keras diperlukan sejak dini, dan adanya kerja sama dari berbagai pihak untuk mewujudkannya.
Masyarakat literat, pasti memiliki kesadaran untuk selalu berupaya meningkatkan pengetahuan dengan berjiwa literasi dalam berperilaku sehari-hari terutama literasi dasar. Bangsa Indonesia memerlukan masyarakat literat agar dapat menjadi bangsa yang bermartabat, dihargai, dan dihormati oleh bangsa lain di dunia.
Ciri-ciri masyarakat literat seharusnya tecermin pada seluruh tatanan kehidupan masyarakat. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang literat bukan sekadar penting, namun sangat mendesak. Masyarakat yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam menerima perbedaan, memahami realitas, dan tidak menjadi “budak” media sosial serta gadget.
Mengutip tulisan Syarif Yunus, ada lima ciri-ciri masyarakat literat, yaitu: (1) terhindar dari berita hoaks dan ujaran kebencian, (2) berlaku ramah dan sopan santun kepada sesama, (3) menjadikan ilmu pengetahuan lebih bermanfaat untuk orang lain, (4) membangun semangat kebersamaan untuk maju, dan (5) memiliki empati dan peduli kepada sesama dan lingkungan.
Lebih lanjut, masyarakat literat adalah masyarakat yang adaptif, kontributif positif, dan solutif serta membudayakan literasi membaca dan menulis. Masyarakat literat mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya dan perkembangan zaman.
Jika ciri-ciri masyarakat literat telah tecermin dalam masyarakat Indonesia, akan tercipta iklim kehidupan yang menyenangkan, sehat, aman, nyaman, dan bahagia di tahun politik 2023 dan tahun mendatang.
Membangun masyarakat literat memerlukan proses panjang serta sarana dan prasarana yang lengkap dan kondusif. Prosesnya diawali dari lingkungan keluarga, kemudian pengembangannya dibantu lembaga pendidikan sekolah/madrasah, lingkungan pergaulan, dan lingkungan pekerjaan.
Membangun masyarakat literat tidak lepas dari pengembangan budaya literasi, apalagi di tahun politik 2023. Budaya literasi akan terbentuk atas kerja sama berbagai pihak sesuai kapasitas masing-masing. Budaya literasi dapat diperoleh di bangku sekolah/madrasah. Kemampuan akademis yang tinggi sangat mendukung seseorang akan lebih literat. Sebab, jembatan menuju masyarakat literat, pada dasarnya adalah kepekaan dan daya pikir kritis yang baik seseorang terhadap lingkungan sekitar.
Kepekaan dan daya pikir kritis yang baik terhadap permasalahan, kehidupan sosial, ilmu pengetahuan, dan informasi yang diterima akan mampu mencegah reaksi yang bersifat emosional. Reaksi yang bersifat emosional akan berpengaruh terhadap kenyamanan hidup bermasyarakat.
Terbentuknya masyarakat literat pada aspek membaca dan menulis merupakan tujuan awal dan pertama dalam membangun masyarakat literat, kemudian disusul dengan literasi-literasi lainnya. Namun, semua aspek literasi dasar tersebut harus terbentuk pada diri seluruh masyarakat Indonesia.
Pada 2015 UNESCO menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah, dengan perbandingan 1.000 banding 12, yang berarti bahwa dari 1.000 orang hanya 12 orang yang gemar membaca.
Pernyataan ini sangat memprihatinkan karena kemampuan literasi membaca dan menulis akan membuka cakrawala dunia. Terbentuknya masyarakat yang memiliki budaya literasi membaca dan menulis yang berkualitas adalah tujuan yang paling utama untuk membangun masyarakat literat. Jika budaya literasi membaca telah terbentuk, literasi-literasi dasar lainnya terbentuk dengan mudah dan sangat diperlukan di tahun politik 2023 menjelang Pemilu 2024.
Gerakan literasi mengalami berbagai hambatan sehingga tidak berjalan sesuai harapan. Beberapa hambatan GLK antara lain ketidakmampuan finansial dalam penerapan literasi keluarga, tingkat intelektual anggota keluarga, karakter dari masing-masing keluarga, minimnya pemahaman anggota keluarga tentang pentingnya budaya literasi dalam kehidupan, dan lain-lain.
Sedangkan hambatan pada implementasi GLS antara lain kurangnya dukungan dari orangtua siswa, kurangnya minat siswa, belum ada kebiasaan membaca siswa sejak dini, fasilitas pendidikan yang masih minim khususnya fasilitas pembudayaan literasi membaca, masih kurangnya produksi buku, dan jumlah buku yang tersedia di perpustakaan masih kurang.
Selanjutnya, implementasi GLM mengalami hambatan pada berapa aspek. Di antaranya, kurangnya minat membaca masyarakat, tingkat pendidikan yang mutunya belum merata, kurangnya ketersediaan media baca di lingkungan masyarakat, mahalnya harga buku, kuatnya budaya menonton, malas membaca buku terutama buku yang berisi ilmu pengetahuan, anggapan masyarakat bahwa membaca itu hanya berlaku untuk orang-orang berpendidikan tinggi, membaca bikin pusing, membaca bikin pikiran tambah sumpek, membaca membuat mata jadi ngantuk, dan lain-lain.
Mari kita berkontribusi, berkolaborasi, berinovasi, dan kreatif untuk menghilangkan hambatan-hambatan dalam membangun masyarakat literat. (dwi/k16)