Oleh : Juraidah M.AP
Pemerhati Kebijakan Publik Kota Samarinda
Pedagang kaki lima bisa disebut sebagai usaha mikro. Saat ini memiliki peran yang sangat penting pada sektor ekonomi. Baik sebagai penyedia barang dan atau jasa yang diperlukan oleh masyarakat, sebagai penekan angka pengangguran di suatu daerah, serta dapat menaikan pendapatan daerah.
Sekitar tahun 1816, dikatakan bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Thomas Stamford Raffles ingin melakukan penataan kota sehingga lebih ramah terhadap pejalan kaki, seperti kota-kota besar di Eropa pada saat itu. Raffles kemudian memerintahkan agar rumah-rumah di pinggir-pinggir jalan utama Kota Batavia menyediakan lahan bagi pejalan kaki.
Dimana pada bagian itu ditinggikan setinggi satu kaki dan lebar seluas lima kaki (five feet). Sama seperti trotoar yang diperuntukan untuk pejalan kaki, selebar lima kaki atau 150 centimeter, tinggi satu kaki atau 30 centimeter.
Penduduk asli Kota Batavia, yakni orang-orang Betawi menyebut bagian yang kini bernama trotoar itu dengan istilah hasil terjemahan langsung kata five feet, menjadi kaki lima. Dan orang yang berjualan dipinggir jalan dan diatas trotoar disebut pedagang kaki lima. Istilah kaki lima dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru Indonesia.
Seperti yang diketahui bahwa Pedagang kaki lima adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah maupun swasta yang sifatnya sementara atau tidak menetap. Sehingga dalam menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum harus tidak menimbulkan permasalahan dalam hidup bermasyarakat. Pedagang kaki lima merupakan salah satu jenis perdagangan dalam sektor informal, yaitu operator usaha kecil yang menjual makanan, barang dan atau jasa yang melibatkan ekonomi uang dan transaksi pasar, dimana sering dikatakan sektor informal perkotaan.
Sejak krisis eknomi tahun 1998, banyak sekali kegiatan ekonomi yang beralih dari sektor formal ke sektor informal. Hal ini terjadi karena sifat dari sektor informal yang tidak memerlukan tingkat keterampilan yang tinggi, tidak memerlukan modal yang besar, dengan sarana sederhana, sehingga cukup mudah dijangkau oleh semua lapisan masyarakat maupun mereka yang belum memiliki pekerjaan yang tetap.
PHK yang tinggi saat itu mengakibatkan angka pengangguran meningkat cukup pesat, sehingga mengakibatkan masyarakat dengan ekonomi lemah melakukan suatu usaha untuk mempertahankan hidup. Usaha yang mereka lakukan sesuai dengan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki walaupun dalam keterbatasan, seperti keterbatasan tingkat pendidikan, ekonomi, modal, keterbatasan tentang pengetahuan dalam tatanan atau peraturan yang berlaku, yang mereka lakukan di kota-kota besar untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pedagang kaki lima sudah menjadi bagian dari wajah kota Samarinda serta identitas bagi beberapa daerah tujuan pariwisata. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan pedagang kaki lima merupakan potensi ekonomi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pedagang kaki lima mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar sehingga mampu mencukupi kebutuhan hidup sebagian besar masyarakat.
Namun berkembangnya keberadaan pedagang kaki lima cenderung tidak tertata sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi dari fasilitas umum, ketentraman, ketertiban masyarakat, jalanan menjadi kumuh, menimbulkan kerawanan sosial, kebersihan lingkungan, tata ruang kota yang menjadi tidak teratur sehingga menimbulkan kebisingan dan mengganggu kelancaran lalu lintas, belum lagi masalah limbah atau sampah, sehingga dibutuhkan upaya pengaturan agar
tercipta tertib sosial dan ketentraman masyarakat dengan mengikutsertakan keterlibatan masyarakat.
Fenomena pedagang kaki lima inilah yang telah banyak menyita perhatian pemerintah. Sejak lama pemerintah berusaha menertibkan PKL, tetapi persoalan yang ada belum juga terselesaikan. Walaupun sudah ditertibkan, dan digusur berulang kali, para PKL tetap bersikeras untuk berjualan ditempat yang mereka anggap memiliki keuntungan yang besar. Alasan yang sering digunakan adalah demi menghidupi keluarga, dan tidak menganggur.
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah kota. Pemerintah diharuskan bersikap arif dalam membuat sebuah kebijakan. Pemerintah kota harus membuat serta membentuk kebijakan mengenai penataan pedagang kaki lima agar terciptanya ketertiban sosial, ketentraman, keamanan serta menjaga kepentingan umum di lingkungan masyarakat umum.
Tetapi sebelum kebijakan dibuat, alangkah baiknya jika mempertimbangkan apa saja yang menjadi faktor munculnya Pedagang Kaki Lima yang semakin pesat di kota Samarinda. Dimana menurut Handoko Tanuwijaya, penyebab tumbuh suburnya PKL di kota-kota besar dipengaruhi oleh :
1. Sempitnya lapangan pekerjaan, meningkatnya angka pengangguran akibat minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia memaksa mereka memilih menjadi pedagang kaki lima. Mengingat tidak diperlukannya pendidikan yang tinggi seperti bekerja di instansi pemerintahan maupun perusahaan swasta.
2. Kesulitan ekonomi, krisis ekonomi pada tahun 1998 menyebabkan jatuhnya sektor ekonomi formal sehingga terjadi pemecatan hubungan kerja skala besar yang memaksa mereka beralih kepada sektor informal.
3. Peluang, dengan modal kecil, tidak menyewa tempat, dikelola oleh diri sendiri namun dapat menghasilkan untung yang besar, dibantu oleh konsumtifnya masyarakat akan barang-barang yang dipasarkan.
4. Urbanisasi. Migrasi dari desa ke kota mengakibatkan penyerapan tenaga kerja dalam kegiatan penduduk kota tidak sepenuhnya berpendapat tinggi, melainkan sebagian berpendapatan menengah atau rendah, sehingga mengakibatkan permintaan akan barang dan jasa yang relatif murah menjadi meningkat.
Hal tersebut memacu para pedagang kaki lima memilih tempat-tempat yang mereka pikir akan mendapatkan keuntungan yang besar, seperti pusat kota, tempat keramaian, dan objek wisata. Mereka akan mencari tempat dimana mampu bersinggungan langsung dengan pengunjung ataupun masyarakat pada umumnya.
Pergusuran tanpa memberikan solusi juga tidak pantas dilakukan ditengah sedikitnya lapangan pekerjaan. Pemerintah dituntut untuk segera mencarikan tempat atau alternatif lokasi bagi para PKL dalam menjalankan usahanya. Jangan sampai pemerintah dianggap menelantarkan masyarakatnya serta mematikan usaha dari masyarakat untuk mempertahankan hidup.
Yang menjadi kendala dalam implementasi penataan pedagang kaki lima seperti, kurangnya penyediaan sarana dan prasarana untuk para pedagang kaki lima, tindakan penertiban yang dilakukan kurang mendapatkan efek jera kepada pedagang kaki lima, program pembinaan yang hanya bersifat lisan dan tidak memberikan solusi kepada para pedagang kaki lima dan sosialisasi yang kurang dipahami oleh para pedagang kaki lima.
Dilihat dari kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan fasilitas tempat berusaha di sektor formal sangat terbatas, disisi lain masyarakat berharap mendapatkan peluang usaha yang disediakan oleh pemerintah daerah, sehingga terjadinya ketidakseimbangan antara permintaan dengan fasilitas yang tersedia. Oleh karena itu perlu diciptakan iklim usaha, sehingga mendorong kegiatan usaha termasuk di dalamnya yang saling menguntungkan dengan usaha lainnya serta untuk mencegah persaingan yang tidak sehat, maka perlu disusun Peraturan Daerah tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.
Saat ini yang menjadi sorotan adalah bagaimana pemerintah daerah dalam menangani PKL, dan bagaimana PKL bereaksi atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, tetapi tidak memandang dari sudut pandang konsumen. Kaca mata konsumen juga patut untuk dipertimbangkan dalam membuat sebuah kebijakan. Konsumen pasti memikirkan bahwa tempat yang mereka kunjungi cukup nyaman untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, relasi, dan teman-teman. Mereka pasti menggunakan kendaraan untuk sampai ke tempat tersebut. Jadi apa yang menjadi daya tarik utama ?
Melihat dari ramainya tempat yang dikunjungi sepanjang jalan Gajah Mada, atau sepanjang pinggiran sungai mahakam, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka menyukai view atau pemandangan yang disajikan. Karena ada yang dijual selain dagangan, mengakibatkan menjamurnya para PKL disepanjang pinggiran tersebut. Lokasi yang dianggap dapat memberikan keuntungan yang besar karena banyaknya konsumen yang datang.
Sebenarnya PKL memfasilitasi kenyamanan para pengunjung, hanya saja terkadang adanya unsur kepentingan yang berlebihan yang mengakibatkan berkurangnya kenyamanan baik dari sisi pemerintah maupun sisi konsumen, seperti parkir liar dan premanisme.
Hadirnya masterplan untuk penataan kawasan tepian mahakam, dimana didalamnya direncanakan terdapat kawasan wisata, plaza, kawasan temu warga, pedestrian yang dibagi sesuai blok-blok, sepanjang 6 kilometer. Tujuannya menunjukkan ikonik Samarinda dimana terkoneksi ke pariwisata, ekonomi dan penataan ruang. Sepanjang sungai mahakam akan dibuat lebih bagus dan dapat digunakan secara berkelanjutan oleh semua masyarakat. Konsep ini sudah dibicarakan sejak 2022.
Mengingat perencanaan membentuk wajah kota samarinda memiliki proses yang panjang, maka pergusuran tanpa relokasi juga bukan hal yang baik, alasan lahan yang kurang pun dirasa masih kurang pas. Para PKL harus menghidupi keluarga mereka dari hari ke hari. Selama ini yang diinginkan oleh pedagang kaki lima adalah relokasi ketempat yang layak, artinya kelayakan ini adalah ada nilai lain yang dijual selain dagangan mereka guna menarik kedatangan konsumen.
Pemerintah dapat menyediakan lokasi dimana lokasi tersebut dapat dibuat waduk yang gunanya selain menjadi salah satu cara penanggulangan banjir, juga sebagai pengganti view dari sungai mahakam. Di desaign sedemikian rupa, agar para pedagang dapat berdagang, dan konsumen dengan senang hati datang. Menyiapkan konsep pengendalian premanisme serta parkir liar. Mengedukasi PKL dalam meningkatkan kwalitas produk yang dijual, melalui pelatihan serta pengawasan yang berkelanjutan. Sehingga dapat dikatakan “seluruh” masyarakat samarinda dapat merasakan manfaatnya dan para pkl dapat merasa dimanusiakan. Pemerintah, PKL dan konsumen harus saling bersinergi guna tercapainya tujuan mewujudkan kota Samarinda berperadaban. (**)